Uni Eropa ”Mengunci” Inggris (1)
Setelah Inggris keluar dari Eropa, negosiasi antara Inggris dan Uni Eropa tentang perdagangan dan arus keluar dan masuk orang berlangsung alot. Uni Eropa memberi syarat yang berat bagi Inggris.

Simon Saragih, wartawan senior Kompas
Eropa sedang sibuk dengan kemelut Brexit, sebutan bagi Inggris keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Sampai sekarang belum tercapai kesepakatan tentang bentuk hubungan Inggris-UE setelah Brexit, dengan jadwal pisah 31 Desember 2020. Ada banyak persoalan di balik kebuntuan Brexit hingga mustahil rasanya mencapai Brexit yang mulus. Jika kesepakatan tercapai, Brexit juga tetap berisiko. Mengapa demikian? Masalah itu dituliskan lewat tiga tulisan bersambung berikut.
Eropa harus bersatu. Jangan biarkan tragedi terulang. Biarkan Eropa bangkit dengan poros Jerman-Perancis. Inggris dari luar akan mendukung kejayaan Eropa demi masa depan kawasan yang lebih baik. Demikian lebih kurang isi pidato Winston Churchill di Universitas Zurich, Swiss, pada 19 September 1946.
Pidato ini setahun setelah Perang Dunia II berakhir. Saat itu Churchill berstatus sebagai oposisi Inggris dari Partai Konservatif. Namun, Churchill adalah perdana menteri yang sudah pernah memimpin Inggris periode 1940-1945 dan kemudian menjadi PM lagi periode 1951-1955.
Churchill mengingatkan sejarah Eropa yang terjebak dua perang dunia karena ego nasionalisme. Dia menyerukan agar rasa nasionalisme tidak menghalangi kekompakan Eropa, kawasan sumber ilmu, nilai, dan peradaban besar, kata Churchill. Dalam pidato itu, Churchill sekaligus menyerukan pembentukan Eropa, seperti Amerika Serikat, United States of Europe. Dia orang pertama yang menyebut istilah itu (Winston Churchill Europa-Rede in der Universität Zürich am 19 September 1946).

Presiden Komisi Eropa Ursula Von der Leyen berpidato di Parlemen Uni Eropa, 16 September 2020.
Pidato Churchill itu diingatkan lagi oleh Presiden Komisi Uni Eropa (UE) Ursula von der Leyen saat berbicara di London School of Economics, London, 7 Januari 2020. Ursula mengenang kalimat Churchill setelah Inggris resmi keluar dari keanggotaan di UE, 1 Januari 2020.
Ini kelanjutan hasil referendum pada 23 Juni 2016 ketika 52 persen warga Inggris menyatakan keluar dari UE. Tentu Brexit bisa adalah kontradiksi dan menisbikan pidato Churchill.
Pembicaraan buntu
Akan tetapi, Brexit sudah terjadi dan prosesnya berlanjut. Sepanjang 2020 disebut sebagai masa transisi Brexit disertai pembahasan. Ini bertujuan menata seperti apa kelak hubungan UE-Inggris setelah Brexit, dengan jadwal paling akhir adalah 31 Desember 2020. Setelah tahun 2020 berakhir, bentuk relasi Inggris dan UE tergantung dari kesepakatan yang dicapai selama pembahasan di masa transisi.
Ada dua garis merah relasi Inggris-UE ke depan. Pilihan pertama, relasi tetap mirip seperti saat Inggris berada dalam UE. Saat Inggris berada di dalam UE, tidak ada tarif dan kuota ekspor-impor. Paspor tidak diperlukan setiap kali warga melintasi perbatasan UE-Inggris. Pihak UE dan Inggris menginginkan pilihan pertama ini. Namun, ada beberapa persyaratan dari UE yang harus dipenuhi Inggris.

Staf Dewan Uni Eropa menyingkirkan bendera Inggris dari gedung Dewan Eropa di Brussels pada 31 Januari 2020.
Pilihan kedua, jika hubungan status quo (kategori pertama) tak tercapai, hubungan Inggris dan UE akan sama saja seperti hubungan UE dengan negara-negara lain. Dengan demikian, relasi perdagangan UE-Inggris diatur lewat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam skema ini, akan berlaku tarif, kuota ekspor-impor, dan pemeriksaan kepabeanan. Lalu lintas warga Inggris-UE harus dengan menggunakan paspor serta izin tinggal menjadi terbatas dan wajib memakai visa.
Pembahasan sepanjang 2020 ini membahas relasi pilihan pertama, bukan kedua. Selama perundingan sebenarnya tidak terlihat hambatan. Namun, pembicaraan mendadak buntu dalam pertemuan 9-11 Desember di Brussels, Belgia, markas UE. Negosiasi juga tetap gagal dalam pertemuan-pertemuan pada hari berikutnya.
Sejumlah tuntutan UE
Penyebabnya, Inggris tidak bersedia memenuhi sejumlah tuntutan UE. Apa saja? UE meminta Inggris memberikan keleluasaan bagi para nelayan UE agar tetap beroperasi di perairan Inggris minimal hingga 10 tahun setelah Brexit. Ini mengejutkan Inggris. Dalam istilah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, tuntutan tersebut merupakan pengingkaran UE terhadap kedaulatan Inggris.
Akan tetapi, bagi UE ini bukan soal kedaulatan semata. Inggris mengekspor lebih dari 75 persen produk kelautan ke UE. Dan, sekian lama para nelayan UE telah menikmati bisnis kelautan di wilayah Inggris dengan omzet sebesar 600 juta poundsterling per tahun. Ini tidak boleh hilang. Jika Inggris menolak tuntutan ini, UE berhak menerapkan tarif dan kuota terhadap ekspor Inggris alias hubungan akan berada di bawah aturan main WTO.

Hal lain, UE meminta Inggris tunduk pada jurisdiksi hukum European Court of Justice (ECJ), termasuk wilayah Inggris. Apa pun masalah hukum kemudian antara Inggris dan UE, semuanya akan ditangani ECJ. Apapun yang diputuskan ECJ, Inggris harus taat.
PM Johnson lagi-lagi mengatakan tujuan Brexit adalah agar negaranya terlepas dari sistem hukum UE. Namun, UE tidak mengizinkan hal itu terjadi. Inggris harus taat pada keputusan ECJ jika Inggris menginginkan akses yang bebas ke pasar UE.
Tuntutan lain UE disebut sebagai level playing field, permainan dan peraturan di Inggris dan UE harus setara. Sebagai contoh, UE sangat ketat soal standar kelestarian lingkungan. Ada aturan yang meminta bisnis menaati standar lingkungan. Inggris juga harus menerapkan aturan serupa dengan yang diterapkan UE di kawasannya, 27 negara.
Soal aturan ketenagakerjaan, UE ketat memberlakukan perlindungan terhadap hak-hak para pekerja. Hal serupa harus diterapkan Inggris. Demikian halnya soal pemberian subsidi bagi pebisnis, Inggris tidak akan mudah memberikan fasilitas kepada pebisnis jika UE tidak menerapkan di kawasannya. Jika UE memodifikasi peraturan terkait bisnis, Inggris juga harus mengubah peraturannya.

Kapal sedang merapat ke Pelabuhan Dover, Inggris selatan, 12 Juni 2020. Perdagangan dan arus masuknya warga Inggris ke Eropa menjadi isu yang belum selesai dibahas seusai berpisahnya Inggris dari Uni Eropa.
Inggris dikunci
PM Johnson menolak semua tuntutan UE, yang dia katakan akan mengunci Inggris. Johnson mengatakan, dengan sejumlah tuntutan itu, tidak mungkin terjadi kesepatan seperti ditargetkan, yakni 31 Desember 2020. Sudah hampir bisa dipastikan kesepakatan untuk mencapai relasi, seperti kategori pertama akan gagal.
Akan tetapi, PM Johnson menyatakan sudah siap menghadapi situasi di mana kesepakatan tidak ada. Dengan demikian, relasi kategori kedua berlaku, relasi Inggris-UE diatur lewat aturan WTO.
Kebuntuan ini sebenarnya tidak mengherankan. Sejak Ursula von der Leyen menjabat pada awal Desember 2019, dia sudah memperingatkan Johnson. ”Perundingan kemungkinan akan berlangsung sulit,” kata Ursula.
Ucapan Ursula ini merespons ucapan Johnson yang awalnya optimistis melihat bentuk baru kemitraan Inggris dengan UE setelah Brexit. PM Inggris ini berbangga hati dengan kedaulatan negaranya. Dia harapkan UE akan menjadi mitra yang setara, tidak didikte dan tidak mendikte.

Dalam handout file ini, foto yang diambil dan dirilis pada 28 April 2020 oleh 10 Downing Street, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson terlihat memajang kartu Get Well Soon yang dikirim oleh anak-anak ketika ia sakit dengan novel coronavirus Covid-19, di kantornya di 10 Downing Street, London pusat.
Johnson tidak akan pernah merasakan hal positif dalam kenyataannya sepanjang kariernya dalam kaitan dengan perundingan bersama UE tentang Brexit. Namun, Johnson orang yang sangat percaya diri.
Bahkan, jika hal positif tidak dia dapatkan, Johnson berulang kali mencanangkan apa pun yang akan terjadi, kemakmuran Inggris akan tercapai setelah Brexit. Ketidakmulusan Brexit pun, dalam ucapan Johnson, tidak akan menghalangi potensi kemajuan Inggris.
Ucapan Johnson ini pengulangan dari ucapan pendahulunya, PM Theresa May (2016–2019). Dalam pernyataannya, PM May tergolong keras terhadap UE dan kukuh soal Brexit yang akan membuat Inggris lebih makmur. Namun, PM May juga tidak pernah berhasil meloloskan proses Brexit di parlemen Inggris. PM May akhirnya memilih mundur setelah menunggu pemilu dan PM Johnson tampil sebagai PM baru.
Kisah Brexit yang menjadi kemelut ini dipicu pendahulunya, PM David Cameron, juga dari Partai Konvervatif. Cameron menjanjikan plebisit untuk Brexit dan berhasil. Namun, Cameron juga mundur sebagai PM sebelum pemilu. Bisa disebutkan, sudah tiga PM Inggris, semuanya dari Konservatif, gagal mewujudkan Brexit. (Bersambung)
Tulisan berikutnya: Nasib Brexit Terkatung-katung 4,5 Tahun (2)