Pengembangan rudal hipersonik menandai majunya teknologi yang dicapai oleh manusia. Namun, pada saat yang sama, kehadirannya memunculkan kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·5 menit baca
Di tengah hiruk-pikuk dan keprihatinan dunia yang tengah bergulat dengan pandemi Covid-19, pada 7 Oktober 2020 Rusia berhasil menguji coba rudal jelajah baru, yaitu Tsirkon. Rudal itu diluncurkan dari fregat Admiral Groshkov yang berlayar di Laut Putih, utara Rusia, dan berhasil menghantam target yang berada di Laut Barents, pada jarak sekitar 450 kilometer.
Yang menarik adalah setelah keluar dari silo di lambung Groshkov, Tsirkon melesat dengan kecepatan Mach 8 atau delapan kali kecepatan suara. Presiden Vladimir Putin, yang tengah merayakan ulang tahunnya ke-68, memuji keberhasilan uji coba itu dan menyebutnya sebagai ”peristiwa besar” bagi Rusia.
Sebelumnya, pada Februari 2019, Putin mengatakan, Tsirkon mampu melesat hingga sembilan kali kecepatan suara dan memiliki jangkauan hingga 1.000 kilometer. Bagi Rusia, keberhasilan itu memberi keunggulan atas Amerika Serikat yang hingga saat ini belum memiliki rudal seperti itu.
Tak pelak, setelah mendapat laporan keberhasilan uji coba Tsirkon dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata Rusia Jenderal Valery Gerasimov, Putin dengan percaya diri mengatakan, Tsirkon dalam jangka panjang meningkatkan kemampuan pertahanan Rusia.
Selain dapat diluncurkan dari kapal perang, rudal-rudal sejenis yang dimiliki Rusia, seperti Avangard dan Kinzhal, juga dapat diangkut dengan pesawat tempur dan pembom strategis. Kremlin kini tengah mengembangkan pengebom siluman PAK DA yang diproyeksikan mampu menggotong rudal-rudal hipersonik itu.
Selain Rusia, China adalah negara yang juga telah mengoperasikan rudal hipersonik, yaitu DF-17. Bahkan, DF-17 yang dikembangkan China disebut-sebut mampu membawa hulu ledak nuklir. Negara lain yang tengah mengembangkan rudal hipersonik adalah AS, Australia, dan India.
Momok baru
Tak bisa dimungkiri, fakta itu memunculkan ”momok” baru bagi keamanan dan stabilitas global. Bukan saja karena kemampuannya membuat bergidik, kehadiran rudal itu berpotensi memicu perlombaan senjata baru.
Secara teknis, ancaman yang dihadirkan oleh rudal hipersonik memang tidak main-main. Dari beragam sumber, salah satunya laman www.grc.nasa.gov, rudal hipersonik mampu melesat minimal lebih dari 3.000 mil (5.556 km) per jam.
Pada Juni 2019, majalah New Times memuat laporan yang menggambarkan kedahsyatan senjata itu, judul laporan itu adalah ”Hypersonic Missiles Are Unstoppable. And They’re Starting a New Global Arms Race. The new weapons—which could travel at more than 15 times the speed of sound with terrifying accuracy—threaten to change the nature of warfare”.
Dalam laporan itu disebutkan, rudal hipersonik menimbulkan ancaman yang berbeda dari rudal balistik biasa. Teknologi antirudal yang ada saat ini mampu mengatasi ancaman rudal balistik karena lintasan dan kecepatannya yang terprediksi. Hal itu berbeda dibandingkan dengan rudal hipersonik yang mampu bermanuver untuk menghindari terkaman rudal pencegat serta memiliki kecepatan lebih dari lima kali kecepatan suara, jauh di atas kecepatan umumnya rudal balistik yang ada saat ini—umumnya di bawah Mach 5. Salah satu dari dua prototipe rudal hipersonik yang dikembangkan oleh AS bahkan mampu melesat hingga Mach 15 dan Mach 20 atau lebih dari 11.400 mil (21.113 km) per jam.
”Ini berarti bahwa ketika ditembakkan oleh kapal selam atau pengebom AS yang ditempatkan di Guam, secara teori mereka dapat menghantam pangkalan rudal darat China, seperti Delingha, dalam waktu kurang dari 15 menit,” tulis R Jeffrey Smith, redaktur pelaksana untuk isu keamanan nasional, The New York Times.
Kemampuan itu menyebabkan rudal-rudal hipersonik sulit diantisipasi. Namun, bukan hanya persoalan teknis yang membuat kehadirannya menjadi ”menakutkan”.
Dalam laporan itu, Smith memberi catatan serius, yaitu hingga saat ini belum ada perjanjian internasional yang mengatur tentang bagaimana dan kapan rudal hipersonik dapat digunakan. Selain itu, belum ada satu negara pun di dunia yang menginisiasi isu tersebut. Sebaliknya, pengembangan rudal hipersonik oleh sejumlah negara telah mendorong ”lahirnya” perlombaan senjata.
Salah satu sekutu AS di kawasan Indo-Pasifik, yaitu Australia, tampaknya tertarik untuk mengembangkan rudal hipersonik. Alasan yang melatarbelakangi niat itu tak lain adalah China. Belum lama ini, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengalokasikan anggaran hingga 185 miliar dollar AS untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara itu, salah satunya dengan mengembangkan kemampuan serangan jarak jauh.
”Kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita telah pindah ke era baru yang strategis dan kurang ramah,” kata Morrison sembari menambahkan, Australia perlu menyiapkan diri menghadapi dunia pascapandemi yang disebutnya lebih berbahaya dan lebih tidak teratur.
Selain mengakuisi sistem rudal antikapal jarak jauh AGM-158C dari AS, Canberra—dengan dukungan AS—berniat mengembangkan rudal hipersonik. Pengembangan itu menandai perubahan signifikan dalam postur pertahanan Australia sekaligus penegasan posisi Australia di Indo-Pasifik.
”Kami ingin kawasan di mana semua negara, besar dan kecil, dapat terlibat secara bebas satu sama lain, berpedoman pada aturan dan norma internasional,” kata Morrison.
Meski Morrison tak menyebut China dalam pernyataannya, Direktur Program Keamanan Internasional Lowy Institute Sam Roggeveen melihat, Beijing-lah yang dirujuk Canberra. Dan, pengembangan itu, menurut dia, akan mengundang tanggapan dari China.
Benar saja, setelah Canberra mengumumkan penguatan pertahanan itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, berharap Australia dapat berbuat lebih banyak untuk membangun stabilitas kawasan.
Situasi ini yang dikhawatirkan oleh Thomas M Countryman, sebagaimana dikutip R Jeffrey Smith dalam laporannya di The New York Times, ialah tentang potensi munculnya perlombaan senjata. Countryman, yang saat ini menjadi Ketua Asosiasi Pengendalian Senjata, mencemaskan kegagalan mengatur senjata baru itu di tingkat internasional berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak dapat diubah.
Melihat itu semua, tak lagi dapat ditunggu inisiatif global untuk menahan laju pengembangan rudal yang super cepat itu….