Menembus Batas melalui Teknologi di Tengah Pandemi
Pandemi membatasi aktivitas penduduk dunia. Namun, teknologi justru membuat penduduk menembus batas melalui dunia digital yang nirkontak.
Selama pandemi Covid-19 hampir setahun ini, teknologi memainkan peran yang krusial dalam menjaga berbagai aktivitas masyarakat tetap berjalan dengan aman, termasuk menggerakkan kembali perekonomian yang terdampak hebat oleh pandemi.
Forum Ekonomi Dunia mencatat, ada beberapa tren pemanfaatan teknologi selama pandemi yang sangat mungkin akan bertahan lama dan menjadi kebiasaan baru pascapandemi.
Beberapa di antaranya adalah belanja daring, termasuk layanan pesan antar oleh robot dan dompet digital, bekerja dan belajar daring, telehealth, hiburan daring, rantai pasok 4.0, robot dan pesawat nirawak (drone), jaringan 5G, dan teknologi informasi lainnya. Semuanya bertujuan untuk meminimalkan kontak langsung dengan orang.
Ketika semua orang mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak keluar rumah demi mencegah penyebaran Covid-19, kebutuhan esensial, seperti membeli makanan dan obat, bisa dilayani melalui layanan jasa pesan antar lengkap dengan pilihan pembayaran digital.
Bahkan, April lalu, sebuah aplikasi pengiriman di China, Meituan Dianping, meluncurkan inisiatif ”pengiriman nirkontak” menggunakan robot. Robot yang dilengkapi dengan roda itu akan mengirimkan pesanan dari toko kepada konsumen di Distrik Shunyi, Beijing.
Baca juga : Tommy dan Ivo yang Tak Kenal Lelah Merawat Pasien
Masih pada April 2020, sebanyak 191 negara mengumumkan penutupan sekolah dan universitas sehingga berdampak pada hampir 1,6 miliar pelajar dan mahasiswa. Kelas jarak jauh dengan pembelajaran daring pun menjadi pilihan populer untuk tetap menjalankan proses belajar-mengajar. Berbagai aplikasi komunikasi dan telekonferensi pun dalam sesaat menjadi bagian tak terpisahkan dari mayoritas penduduk dunia, sampai-sampai ada yang merasa ”kewalahan” dan ”kelelahan” akibat banyaknya rapat atau diskusi secara daring.
Akan tetapi, telekonferensi itulah yang membuat sebagian aktivitas kita tetap berjalan meski memang tidak maksimal. Itulah bentuk adaptasi selama pandemi.
Seperti dikutip The Strait Times, 10 September 2020, Direktur Pelaksana Microsoft Singapura Kevin Wo mengatakan, pandemi dan krisis ekonomi yang ditimbulkannya membuat kita menghadapi tantangan baru dan perubahan dengan kecepatan dan skala yang belum pernah kita alami sebelumnya.
”Inovasi bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan esensial untuk bisa bertahan dan meraih sukses,” ujar Kevin.
Pada Desember dan Januari 2019 (sebelum pandemi) serta Juli 2020 (saat pandemi), Microsoft dan perusahaan riset pasar IDC Asia Pacific melakukan survei tentang inovasi terhadap 202 pengambil keputusan bisnis dan 219 pekerja di berbagai bidang, termasuk layanan kesehatan, manufaktur, perbankan, dan ritel, di Singapura.
Hasilnya, pada survei Juli 2020, sekitar 80 persen perusahaan menyatakan bahwa inovasi sangat penting dalam strategi menuju sukses, naik dari 67 persen saat survei sebelum pandemi.
Sebagai negara yang mengandalkan sektor jasa sekaligus menjadi hub di kawasan, Singapura berupaya memanfaatkan teknologi tidak hanya untuk mendukung upaya pengendalian pandemi Covid-19, tetapi juga untuk membantu memulihkan perekonomiannya dengan cara yang aman.
Dalam kunjungan singkat ke Singapura untuk menghadiri TravelRevive, sebuah pameran dagang industri pertemuan, insentif, konferensi, dan pameran (MICE), akhir November lalu, Singapura terlihat benar-benar memanfaatkan teknologi untuk menggerakkan kembali perekonomiannya melalui model industri MICE yang aman.
Baca juga : Singapura Kembangkan Model MICE Aman di Tengah Pandemi
Acara yang diadakan di Sands Expo and Convention Center itu digelar secara hibrida, tatap muka sekaligus virtual. Jumlah peserta yang hadir langsung di lokasi dibatasi dan harus menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, serta menjalani tes cepat antigen sebelum memasuki ruangan, yang hasilnya bisa disampaikan melalui pesan singkat hanya dalam 20 menit.
Selain tatap muka, diskusi juga digelar secara virtual. Bahkan, salah satu sesi menghadirkan pemateri secara hologram dengan memanfaatkan kecerdasan buatan. Konsep ini mirip dengan konser musisi legendaris Indonesia, Chrisye, tahun 2012 yang bertajuk Kidung Abadi dan konser musisi Jepang, Misora Hibari, yang meninggal tahun 1989, tahun lalu.
Sesi diskusi pun ada yang menghadirkan pembicara langsung di lokasi, ada juga yang kombinasi menghadirkan pembicara langsung plus pembicara secara telekonferensi dari beberapa negara di dunia.
Untuk mendukung keperluan pameran dan acara hibrida itu, Sands Expo & Convention Center bahkan membangun studio khusus untuk ”menghadirkan” narasumber dari jauh dan mampu mengakomodasi hingga 50 orang untuk mengadakan pertemuan langsung dalam format hibrida.
Selain memaksimalkan manfaat teknologi dalam industri MICE, Singapura juga mengintroduksi teknologi untuk menunjang penelusuran kontak kasus Covid-19.
Baca juga : Bepergian ke Singapura Kini Tak Semudah Dulu
Ketika mendarat di Bandar Udara Internasional Changi, setiap peserta pameran diberi peranti yang wajib dibawa ke mana pun pergi, yaitu token TraceTogether. Alat ini menggunakan sinyal bluetooth untuk mendeteksi keberadaan token lain di sekitar kita. Ketika menemukan ada token lain di dekat kita, kedua peranti itu akan bertukar identitas anonim yang terenkripsi.
Apabila ada seseorang pemegang token yang teridentifikasi positif Covid-19, identitas anonim itu bisa dipakai untuk melacak kontak erat dengan orang tersebut sehingga penelusuran kasus positif bisa dilakukan lebih mudah.
November lalu, belum semua warga Singapura diberi token tersebut. Akan tetapi, mereka tetap memanfaatkan teknologi TraceTogether melalui aplikasi yang diunduh di telepon genggam. Aplikasi ini mempunyai cara kerja yang sama dengan token.
Kode QR yang ada pada token juga bisa dipindai untuk masuk (check-in) ke tempat-tempat umum. Sementara warga yang memakai aplikasi, sebaliknya, harus memindai kode QR pada pintu masuk setiap gedung yang dimasuki. Dengan begitu, pusat data akan merekam keberadaan orang tersebut pada hari dan jam tertentu di lokasi tersebut.
Sands Expo & Conference Center juga menganalisis pola kerumunan peserta pameran melalui token yang harus dibawa oleh setiap peserta selama berada di lokasi pameran. Pola tersebut akan jadi bahan dalam mengembangkan model penyelenggaraan acara yang minim risiko penularan Covid-19 ke depan.
Direktur Eksekutif Ekshibisi dan Konferensi Singapore Tourism Board Andrew Phua mengatakan, menerapkan teknologi di kala pandemi dan mengintegrasikannya dengan protokol kesehatan untuk menjamin keamanan seperti yang dilakukan Singapura saat ini memiliki konsekuensi yang tidak kecil. Dibutuhkan sumber daya manusia kompeten di berbagai bidang agar dapat mewujudkan itu semua.
Baca juga : Singapura Hidupkan Kembali Industri MICE secara Bertahap
Andrew mengakui bahwa Singapura pada awalnya tidak memiliki semua kompetensi yang dibutuhkan dan acara pameran pun tidak bisa langsung menghadirkan ribuan orang. Namun, karena kebutuhan, sumber daya yang ada ditingkatkan kapasitasnya dan acara pameran digelar secara bertahap, mulai dari menghadirkan peserta di bawah 50 orang hingga hampir 2.000 orang secara aman.
Singapura dan sejumlah negara di dunia telah membuktikan bahwa kesulitan dan keterbatasan yang dibawa pandemi ternyata sekaligus membawa peluang bagi orang-orang untuk tetap terhubung tanpa batas melalui dunia digital yang nirkontak.