Ruang Redaksi, Lebih dari Sekadar Pabrik Kata-kata
Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir setahun mengubah cara kerja media, termasuk media cetak. Semua dilakukan jarak jauh. Tetapi, ruang redaksi, dengan segala plus minusnya, lebih dari sekadar pabrik kata-kata.
Ruang redaksi yang ramai telah menjadi otak dan sumber kehidupan surat kabar, tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia. Namun, pandemi yang datang menyusul disrupsi digital membuat hampir semua kerja jurnalistik bergeser ke ruang virtual, daring. Pandemi juga memperdalam krisis yang tengah dihadapi oleh media, terutama media cetak.
Dalam beberapa bulan terakhir, surat kabar harian di Amerika Serikat, seperti New York Daily News, Miami Herald, dan Baltimore Sun, memutuskan menjelajah ruang virtual untuk kegiatan jurnalistik mereka. Meninggalkan kantor pusat mereka dan membuatnya kosong, seperti tak ada kehidupan.
Markas baru Miami Herald, surat kabar milik perusahaan McClatchy, baru ditempati selama tujuh tahun terakhir. Markas baru Miami Herald di Doral, Florida, menjauh dari markas bersejarah mereka yang sudah ditempati puluhan tahun di Teluk Miami, sentra kegiatan dan informasi di kota pantai itu. Di Doral, mereka menempati gedung seluas 200.000 kaki persegi, seperempat luasan markas lama.
Baca juga : Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Tribune Publishing, pemilik harian Baltimore dan sejumlah penerbitan lain, mengakui bahwa mereka tengah mengevaluasi kembali kebutuhan real estatnya di tengah kesulitan yang dihadapi industri media, terutama media cetak, yaitu sirkulasi yang rendah, pendapatan iklan yang menurun. Sebaliknya, pandemi membuat biaya kesehatan dan keselamatan meningkat.
Bekerja jarak jauh (remote) dari rumah di satu sisi membantu mencegah laju infeksi di kalangan pekerja media. Namun, bagi banyak jurnalis, menjauh dari ruang redaksi atau bahkan kehilangan ruang redaksi telah mengubah sifat pekerjaan mereka. Bahkan timbul kekhawatiran bahwa media cetak tidak akan bisa membangun kembali suasana ruang redaksi yang lama pascapandemi.
Emily Brindley, reporter The Hartford Courant di Connecticut, sebuah media milik kelompok Tribune, mengatakan bahwa ruang redaksi adalah ruang di mana kolaborasi terjadi. Ruang redaksi, dalam penilaiannya, jauh lebih kolaboratif dibandingkan ruang kerja yang lain.
Baca juga : Kala Rasa Bosan dan Lelah di Rumah Mulai Menghinggapi
Brindley berpikir, ketiadaan ruang redaksi akan berpengaruh pada produk jurnalistik yang dihasilkan. ”Saya merasa bahwa akan ada beberapa efek tak berwujud,” kata Brindley.
Kolega Brindley di Hartford, Daniela Altimari, mengatakan, dirinya yakin pandemi itu membuktikan bahwa kita semua dapat bekerja dari rumah dan masih menerbitkan surat kabar. Hal itu membuka ruang diskusi bahwa ada kemungkinan ruang redaksi mungkin akan ditutup selamanya. Dan, Altimari mengkhawatirkan kualitas pekerjaannya.
”Ruang redaksi adalah pabrik untuk ide-ide. Ada banyak kesempatan bertemu,” kata Altimari. Interaksi yang timbul dengan rekan kerja, mulai dari perbincangan santai, setengah serius, hingga yang sangat serius dan berujung pada saling lempar argumentasi yang panas, bisa memunculkan ide baru untuk memproduksi sebuah karya jurnalistik.
Victor Pickard, seorang profesor Sekolah Komunikasi Annenberg di Universitas Pennsylvania, mengatakan, pandemi jelas mempercepat dan memperburuk krisis jurnalisme. Namun, media telah mengalami krisis jauh sebelum pandemi datang.
Pickard mengatakan, perusahaan yang menaungi surat kabar besar, seperti McClatchy dan Tribune, memanfaatkan kesempatan pandemi ini untuk melakukan pemotongan biaya operasional, seperti memangkas gaji karyawan atau mengurangi subsidi karyawan dan keluarganya, untuk memaksimalkan keuntungan meski sadar bahwa mereka juga tidak bisa terlalu banyak mengambil keuntungan dari kondisi sekarang.
Baca juga : Saran Psikolog-Terapis Atasi Kecemasan di Tengah Wabah Korona
Memindahkan ruang redaksi beserta orang-orang di dalamnya hingga menutup surat kabar yang lebih kecil, terutama surat kabar lokal di daerah, serta pengambilalihan perusahaan media oleh perusahaan manajemen investasi adalah cara untuk memangkas biaya dan meraih keuntungan sebesar mungkin.
Mitos?
Selama beberapa dekade, ruang berita telah menjadi tempat yang ”mistis”, seperti terekam dalam beberapa film tentang jurnalisme, antara lain His Girl Friday, All The President’s Men, dan Spotlight. Hiruk-pikuk ruang redaksi, terutama jelang tenggat berita harus disetor dari reporter, editor, penyelaras bahasa, sunting, dan akhirnya pemeriksa akhir sebelum dikirim ke percetakan, adalah sebuah kegairahan tersendiri. Apalagi jika ada berita besar jelang mesin cetak bekerja.
Baca juga : Jurnalis Bergulat dengan Pandemi
”Ada sebuah pesona yang terjadi ketika ruang redaksi Anda diisi oleh banyak reporter dan berada di dalam satu ruangan. Tidak ada yang semenarik, semarak, dan kadang seaneh ketika bekerja di ruang redaksi. Itu (penghilangan ruang redaksi) akan menjadi kerugian yang tak terhitung, khususnya untuk jurnalisme lokal,” kata Marijke Rowland, penulis pada Modesto Bee, sebuah surat kabar yang telah berusia lebih dari satu abad di California.
Pernyataan Brindley, Altimari, dan Rowland yang senada memperlihatkan bahwa keberadaan ruang redaksi yang vibrant, bergairah, dan dinamis dibutuhkan oleh jurnalis sebagai seorang pekerja industri kreatif adalah benar. Psikologi ruang redaksi di media dan ruang kerja di tempat lain, misalnya kantor yang bergerak sebagai agregator berita, tentu saja akan berbeda. Meski sama-sama diisi oleh orang-orang yang bekerja di dalam media, membuat dan menghasilkan berita akan sangat berbeda dengan kerja agregator yang mengumpulkan dan menyalurkan berita melalui platform miliknya.
Hasil penelitian Reuters Insitute dan Universitas Oxford terhadap 136 pemimpin industri pers dan media dari 38 negara, yang dilakukan pada 21 September hingga 7 Oktober 2020, memperlihatkan kesamaan pandangan dengan ketiga jurnalis tersebut.
Baca juga : Reporter Alami Gejala Covid-19, Kantor Berita AP Tutup Sementara di Washington
Kerja dari rumah mungkin membuat lebih efisien, tetapi berdampak pada kreativitas jurnalis dalam memproduksi berita. Sebanyak 42 persen responden penelitian ini menilai mereka menjadi kurang kreatif, sedangkan 34 persen merasa lebih kreatif. Sisanya sama sekali tidak merasa lebih kreatif atau kurang kreatif.
Vincent Giret, Managing Director FranceInfo, dalam laporan hasil penelitian itu menyatakan, jurnalis membutuhkan kedekatan fisik untuk mempresentasikan ide-ide, menerima masukan, atau bahkan berdebat sengit tentang ide tersebut. Jurnalis, kata Giret, membutuhkan kedekatan fisik untuk berbagi pengalaman dan berinovasi.
Rohan Venkataramakrishnan, editor pada Scroll Media di India, mengatakan, percakapan jarak jauh mungkin menarik untuk efisiensi. Namun, percakapan langsung, tatap muka yang hangat, sering kali bisa menelurkan ide-ide hebat dari para jurnalis berdasarkan temuan-temuan di lapangan. Sementara Dapo Olorunyomi, responden asal Nigeria yang mengelola Premium Times, mengatakan, kerja jarak jauh menawarkan ruang yang lebih untuk pribadi dan tanpa batasan. ”Tapi, Anda tidak memiliki persahabatan yang diperlukan untuk membentuk ide dan mengembangkan wawasan,” katanya.
Tak hanya soal percakapan hangat dan kemunculan ide-ide yang brilian dalam ruang redaksi, pertemuan tatap muka secara langsung dinilai memberikan dampak bagi kesehatan mental jurnalis dan para pekerja di lingkungan media. Meski komunikasi terjadi via platform media sosial, bercakap secara langsung, berhadap-hadapan, dan melihat mimik serta gestur tubuh lawan bicara memberi makna tersendiri bagi kerja jurnalistik.
”Persahabatan dan tujuan bersama, kontak manusia, humor, dan spontanitas menjadi kering karena kurangnya kontak dan interaksi teknis,” kata Ben de Pear, editor pada Channel 4 News di Inggris.
Baca juga : Covid-19 dan Jurnalisme Media Daring
Pertemuan fisik dengan orang lain sambil menikmati camilan sore dengan secangkir teh atau kopi disertai diskusi yang cair melepaskan endorfin, serotonin, dan oksitosin, memunculkan perasaan bahagia dan cinta.
”Ada juga yang tidak suka ramai-ramai. Namun, bagi yang suka, situasi seperti itu membuat dirinya menjadi lebih hidup,” kata Michael Muthukrishna, asisten profesor pada Psikologi Ekonomi London School of Economics and Political Science, dalam ”Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik” (Kompas, 6 April 2020).
Pernyataan Muthukhrisna itu sejalan dengan hasil penelitian Reuters dan Oxford juga. Sebanyak 77 persen responden menyatakan bahwa kerja dari rumah membuat mereka lebih sulit menjaga hubungan interpersonal dengan anggota redaksi lain dibandingkan apabila bekerja di ruang dan lokasi yang sama.
Pilihan
Media besar, seperti The New York Times, The Washington Post, dan The Wall Street Journal, memilih mempertahankan atau bahkan meningkatkan jumlah orang untuk memperkuat ruang redaksinya, bahkan saat mereka beradaptasi dengan kondisi pandemi. Manajemen surat kabar besar, kata Dan Kennedy, profesor bidang jurnalisme dari Universitas Northeastern, Boston, Massachusetts, hampir pasti akan kembali membuka ruang redaksinya jika pandemi membaik.
”Tidak ada yang meragukan bahwa (harian utama) akan dibuka kembali saat aman untuk melakukannya,” kata Kennedy.
Namun, tidak demikian dengan surat kabar lokal dan regional, yang jauh lebih kecil jangkauan dan pendanaannya. Mereka, kata Kennedy, mengalami kesulitan yang lebih besar dibandingkan surat kabar besar dan harus berjuang lebih keras agar bisa mengembalikan keberadaan ruang redaksi masing-masing.
”Saya hanya berharap setiap pemilik surat kabar yang berkomitmen untuk melakukan pekerjaan dengan baik memahami pentingnya memiliki ruang berita,” ujarnya.
Akan tetapi, industri media cetak yang bergejolak dan mulai terjadi pergeseran minat serta cara konsumen mencari hingga membaca berita, dari cetak ke digital, membuat banyak pihak khawatir, ruang redaksi akan menjadi artefak kejayaan media.
Pickard mengatakan, penurunan pemasukan dari iklan, yang sebagian besar sudah beralih pada platform digital besar, seperti Google atau Facebook, beserta anak-anak perusahaannya hampir dipastikan hanya akan menyisakan remah-remah bagi media massa, terutama cetak. Dalam situasi seperti itu, bagi perusahaan media menengah dan kecil—yang tidak bisa mempertahankan diri melalui metode berlangganan—dapat dan mampu bertahan melewati disrupsi industri media merupakan sebuah keajaiban. Mungkin salah satu pilihan untuk bertahan adalah membangun ruang redaksi virtual. (AFP)