Mengenang Mohamed Bouazizi dan Satu Dekade Musim Semi Arab
Satu dekade setelah Musim Semi Arab dimulai di Tunisia, kondisi perekonomian negara itu belum sepenuhnya baik meski sudah ada sejumlah kemajuan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
AP PHOTO/RIADH DRIDI
Gambar Mohamed Bouazizi ditampilkan pada fasad kantor pos di Sidi Bouzid, Tunisia, Jumat (11/12/2020). Ratusan warga Tunisia telah membakar dirinya selama 10 tahun terakhir sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, seperti dilakukan Bouazizi (26), yang kemudian berhasil menumbangkan rezim diktator yang berkuasa 23 tahun.
Hari ini, 10 tahun lalu, seorang pedagang buah dan sayur di Tunisia, Mohamed Bouazizi, membakar dirinya di kota Sidi Bouzid dan memicu Musim Semi Arab. Sepupunya, Ali Bouazizi, kini merenungkan hari itu dan hari-hari sesudahnya.
”Tanggal 17 Desember 2010 akan jadi hari biasa jika media lokal dan orang-orang tidak ada di sini,” kata Ali Bouazizi. ”Kenyataan bahwa mereka yang tidak ingin lagi takut terhadap pemerintah mengubah segalanya.”
Kala itu, Mohamed berusia 26 tahun. Ia sering membantu Ali di tokonya. ”Saya sangat menyayanginya,” ujar Ali, seperti dikutip Al-Jazeera, Kamis (17/12/2020). ”Dia adalah orang yang baik. Satu-satunya masalah dia adalah dia cepat marah.”
Pagi hari 17 Desember 2010, polisi menyita timbangan Mohamed karena berjualan tanpa izin di jalanan. Ia kemudian mengadukan peristiwa itu kepada gubernur di Sidi Bouzid. Tetapi, gubernur menolak menemuinya. Dengan rasa putus asa dan protes, Mohamed turun ke jalan.
”Tak ada yang mendengarkan dia,” ujar Ali. ”Jika saja hari itu saya bersamanya, saya pasti akan mencoba mencari cara untuk bertemu dengan gubernur, jika terpaksa dengan kekerasan. Tetapi, saya tidak ada di sana.”
AP PHOTO/RIADH DRIDI
Seorang pria mendorong troli di Sidi Bouzi, Tunisia, Jumat (11/12/2020). Sepuluh tahun silam di Sidi Bouzi meletus gerakan protes rakyat dipicu aksi bakar penjual buah, Mohamed Bouazizi. Aksi protes itu berhasil menumbangkan rezim diktator yang berkuasa 23 tahun di negara tersebut.
Seminggu sebelum membakar diri, Mohamed berbicara kepada sepupunya, Lasaad, yang mengelola pajak di pasar. Mohamad berkata, dirinya sangat muak dan lelah. ”Saya tak bisa bernapas lagi,” katanya waktu itu.
Korupsi di kepolisian dan di kalangan pejabat pemerintah biasa terjadi. Polisi selalu mengganggu Mohamed. ”Karena ia berjualan tanpa izin, mereka meminta uang darinya. Dia akan memberi polisi uang atau polisi akan menyita timbangannya atau membawa sayur dan buah dagangannya.”
Saat itu, Ali merupakan anggota Partai Demokratik Progresif yang berhaluan sekuler dan berseberangan dengan diktator Tunisia, Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Ali memublikasikan tulisan di koran partai, Al Mawqif, dan di laman daring bernama Tunisia News yang kini sudah tidak ada.
Pada 17 Desember itu, Ali tengah bekerja di tokonya. Pamannya, Salah, memanggilnya karena mendengar ada seseorang yang membakar diri. Ali pun bergegas penasaran sambil membawa kameranya.
Kompas
Seorang pria berjalan melewati patung gerobak Mohamed Bouazizi di Sidi Bouzid, Tunisia, Jumat (11/12/2020).
Dari seorang sopir taksi, Ali mengetahui bahwa ternyata orang yang membakar dirinya sendiri adalah Mohamed, sepupunya. Ali terkejut dan menangis, tetapi sempat merekam suasana orang yang berkerumun menyaksikan Mohamed terbakar.
Orang yang protes di luar gedung pemerintah kian banyak setelah Mohamed dibawa ke rumah sakit. Awalnya hanya ada beberapa anggota keluarga dan teman dekat, tetapi kemudian lebih banyak orang bergabung. ”Puluhan, mungkin ratusan,” ujar Ali. Gubernur masih menghindari massa itu dan pergi.
Ali akhirnya memutuskan mengunggah rekaman video Mohamed dan orang-orang yang berunjuk rasa di Facebook. ”Tentu saya takut saat mengunggah video itu,” ujar Ali. Akhirnya video itu menjadi viral. Media pun mulai melaporkan peristiwa tersebut.
Sejak saat itu, peristiwa tersebut memicu protes yang lebih besar. Di rumah sakit, Mohamed koma sebelum kemudian meninggal pada 4 Januari 2011. Ia tak mengetahui hiruk-pikuk protes terhadap pemerintah. Saat itu, sejumlah pemrotes ditangkap, terutama anak-anak muda.
Ali sempat diwawancara wartawan televisi Al Jazeera. Setelah itu, ia bersembunyi dan berpindah tempat untuk menghindari polisi, tetapi akhirnya tertangkap. Ia menjadi kambing hitam dari gelombang unjuk rasa menentang pemerintah. Setelah ia dibebaskan pada 14 Januari 2011, rezim pemerintahan Ben Ali jatuh. Presiden Ben Ali melarikan diri ke luar negeri.
AP PHOTO/RIADH DRIDI
Distrik Ennour di Sidi Bouzid, Tunisia, seperti difoto pada 11 Desember 2020.
Impian kebanyakan pengunjuk rasa di dunia Arab telah hancur. Tunisia sering kali disebut sebagai kisah sukses dalam demokrasi. Meski kini kebebasan sipil, kebebasan berekspresi, dan pluralitas politik membaik, negara ini dilanda krisis ekonomi yang terus memburuk.
Kurangnya reformasi sosial-ekonomi, devaluasi dinar Tunisia, dan lemahnya pemerintahan yang tidak efisien telah gagal untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan atau membangkitkan kembali investasi. Di tengah pandemi Covid-19, pengangguran meningkat hingga 18 persen. Upaya untuk bermigrasi ke Eropa melalui laut telah melonjak.
”Ada jurang yang sangat besar antara aspirasi masyarakat dan kemampuan mereka. Kesenjangan inilah yang mendorong orang terjatuh lebih jauh ke dalam kesengsaraan,” kata Abdessater Sahbani, sosiolog di Universitas Tunis. ”Anda dapat memiliki pekerjaan yang baik dan berpendidikan tinggi, tetapi itu tidak memberi sesuatu yang substansial.”
Jumlah kasus bakar diri meningkat tiga kali lipat sejak 2011. ”Peningkatan (jumlah kasus bakar diri) terus berlanjut hingga tahun 2020,” kata Mehdi Ben Khelil dari Rumah Sakit Charles Nicolle Tunis, yang mempelajari fenomena tersebut.
Setelah revolusi, Ben Khelil berkata, ”Ada yang kontras antara apa yang kami harapkan dan apa yang kami dapatkan. Kekecewaan terus tumbuh.”
Meskipun tidak ada statistik resmi, Observatorium Sosial Tunisia dari Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial mencatat 62 kasus bunuh diri atau upaya serupa dalam 10 bulan pertama tahun 2020. (AFP)