Kemenangan Diplomasi di Tahun yang Ingin Dilupakan
Keberhasilan memesan vaksin Covid-19 hingga perundingan Afghanistan adalah sebagian kemenangan diplomasi Indonesia. Kemenangan yang patut dikenang dan menjadi penghiburan pada tahun yang sangat ingin dilupakan ini.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Dari berbagai cara memaknainya, kedatangan vaksin Covid-19 pada 6 Desember lalu dapat dipandang sebagai salah satu kemenangan diplomasi Indonesia tahun 2020. Kala lebih dari 100 negara belum tahu akan mendapat vaksin dari mana, Indonesia mulai menerima salah satu senjata terpenting dalam perang melawan pandemi itu.
Di luar kemampuan finansial, perburuan—bahkan hampir menyerupai perebutan—vaksin Covid-19 membutuhkan kecekatan negara. Apa pun pendapat banyak pihak, termasuk dari Indonesia, faktanya adalah vaksin Covid-19 hanya sedikit tersedia dan jadi rebutan ratusan negara.
Dalam kajian Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health ditemukan, dengan kondisi sekarang, hanya akan tersedia 2,2 miliar paket (course) vaksin untuk hampir 6 miliar penduduk di lebih dari 150 negara dan wilayah sampai akhir 2021. Sementara 3,76 miliar paket vaksin sudah dipesan oleh kurang dari 50 negara, termasuk Indonesia.
Sejak Maret 2020, Indonesia ikut memburu vaksin, obat, dan aneka kebutuhan untuk melawan pandemi Covid-19. Sejumlah pihak digandeng untuk mengembangkan serta mendapat pasokan obat dan vaksin plus aneka kebutuhan penanganan Covid-19.
Kedatangan vaksin Covid-19 buatan Sinovac, China, juga menjadi salah satu bukti kelincahan diplomasi. Indonesia bolak-balik menunjukkan ketegasan kepada China dalam isu Natuna. Jakarta tegas menolak ajakan Beijing berdialog soal Natuna. Bagi Indonesia, tidak ada yang perlu dibicarakan dengan China soal kedaulatan dan hak berdaulat di Natuna.
Meski ada perbedaan soal Natuna, Indonesia-China tetap melanjutkan kerja sama mengatasi pandemi Covid-19. Wujudnya adalah kedatangan vaksin, awal Desember lalu. Indonesia-China tidak hanya bekerja sama untuk kebutuhan domestik masing-masing.
Indonesia juga ikut mendorong pemenuhan kebutuhan global. Tidak semua negara punya kemampuan atau bisa memesan dan segera mendapat vaksin, seperti Indonesia. ”Kerja sama dan solidaritas internasional pada masa krisis seperti ini sangat penting. Tidak ada satu negara pun yang kebal dari pandemi ini. Tidak ada satu negara pun dapat menanggulanginya sendirian,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Perburuan vaksin dan obat Covid-19 menjadi modifikasi salah satu prioritas politik luar negeri Indonesia 2020, yakni diplomasi perlindungan. Dalam Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) 2020 disebutkan, prioritas diplomasi Indonesia 2020 adalah penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, diplomasi kedaulatan, dan kebangsaan. Mesin diplomasi juga diarahkan untuk menguatkan peran Indonesia di kawasan dan global.
Diplomasi perlindungan sebenarnya fokus pada perlindungan WNI dan badan hukum Indonesia di luar negeri. Sepanjang 2020, isu WNI di kapal-kapal ikan asing menjadi kasus paling mencolok. Ratusan WNI dipulangkan karena mengalami penyiksaan dan pengabaian hak selama bekerja di kapal-kapal ikan asing. Pemulangan juga dilakukan kepada WNI yang telantar di luar negeri selama pandemi akibat layanan perjalanan lintas negara terhenti.
Adapun diplomasi kedaulatan dijalankan secara intensif di Natuna dan Pasifik. Sebagian negara Pasifik terus mendorong kemerdekaan Papua. Indonesia menegaskan, isu Papua sudah final menurut hukum internasional. Selain lewat hibah melalui IndonesiaAid, pendekatan ke Pasifik secara khusus ditangani dengan penunjukan Duta Besar Keliling Pasifik yang dijabat Duta Besar RI untuk Selandia Baru Tantowi Yahya.
Adaptasi
Sayangnya, kurang dari sebulan sejak PPTM 2020, informasi soal pandemi semakin meluas sehingga Indonesia harus beradaptasi. Penanggulangan pandemi menjadi prioritas diplomasi. Di luar itu, Indonesia terus menjalankan aneka peran di panggung diplomasi internasional. Sepanjang 2020, Indonesia memimpin pembahasan 14 resolusi, baik atas nama Gerakan Non-Blok, G-77, mupun kerangka kerja sama lainnya.
Peneliti Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Faisal Karim, mengatakan, kebijakan luar negeri selalu dicirikan dengan banyak peran, banyak agenda, dan beragam inisiatif. Pengajar di Universitas Bina Nusantara itu menyebutkan, capaian terpenting sepanjang 2020 adalah penandatanganan kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Digarap sejak 2012, RCEP akhirnya ditandatangani di tengah pandemi dalam KTT ASEAN. RCEP menjadi blok dagang terbesar beranggota negara dengan populasi total lebih dari 2 miliar jiwa.
RCEP menjadi salah satu fokus diplomasi Indonesia, yang dijalankan bersama oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri pada bidang ekonomi. Seperti disampaikan Retno dalam PPTM 2020, Indonesia konsisten mendorong kerja sama yang saling menguntungkan dan berkeadilan.
Selaras dengan target yang diumumkan Retno di PPTM 2020, Faisal juga berpendapat, Indonesia perlu meningkatkan peran dan menegaskan posisinya. Sejauh ini, Indonesia belum menunjukkan kekuatan sesuai potensi sebenarnya. Sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia di PBB, Indonesia seharusnya lebih bersuara soal isu HAM. Isu HAM paling dekat bagi Indonesia, antara lain, adalah isu Rohingya dan Uighur.
Selain itu, menurut Faisal, Indonesia harus bisa lebih berperan dalam mengelola dinamika kawasan. Seperti di sebagian kawasan lain, Asia Tenggara juga menjadi arena persaingan AS-China. Masalahnya, meski terus berkeras menyatakan netral, Indonesia dinilai cenderung lebih dekat ke China. Ke depan, amat penting bagi Indonesia menunjukkan kenetralannya. Hal ini akan menjadi modal bagi Indonesia untuk menjadi pihak yang dapat dipercaya dan diterima semua sisi.
Indonesia punya modal untuk itu. Sampai sekarang China, Jepang, dan AS merupakan kekuatan utama di kawasan yang masih percaya kepada Indonesia. Kepercayaan Jepang ditunjukkan dengan keputusan PM Jepang Yoshihide Suga memilih Indonesia dan Vietnam dalam perjalanan luar negeri pertamanya setelah menjabat. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Pelaksana Tugas Menteri Pertahanan AS Chris Miller melawat ke Indonesia, akhir Oktober, dan awal Desember ini.
Dalam lawatan ke Indonesia, Pompeo menyoroti peran Indonesia pada proses perdamaian Afghanistan. Setelah belasan tahun berperang, faksi bertikai di Afghanistan akhirnya setuju berunding. Meski masih jauh dari selesai, perundingan itu membuka harapan terwujudnya perdamaian di negara yang tidak pernah berhenti perang selama hampir 50 tahun terakhir. Indonesia terlibat membujuk dan menjembatani pihak bertikai di sana sehingga akhirnya mau berunding.
Vaksin hingga perundingan Afghanistan adalah sebagian kemenangan diplomasi Indonesia. Kemenangan yang patut dikenang dan menjadi penghiburan pada tahun yang sangat ingin dilupakan ini.