ICC Tolak Permintaan Komunitas Uighur untuk Tindak China
Pengadilan Kriminal Internasional menolak tuntutan komunitas Uighur di pengasingan yang menginginkan Pemerintah China diselidiki atas dugaan genosida dan kejahatan pada kemanusiaan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
DEN HAAG, SENIN —Pengadilan Kriminal Internasional atau ICC menolak permintaan komunitas etnis Uighur, yang sedang diasingkan, untuk menyelidiki Pemerintah China atas tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Alasannya, semua tuduhan itu terjadi di dalam wilayah China yang bukan penanda tangan ICC.
Padahal, komunitas Uighur sudah menyerahkan banyak bukti dokumen ke pengadilan sejak Juli lalu. China dituduh mengasingkan lebih dari 1 juta warga Uighur dan komunitas minoritas Muslim lainnya di kamp-kamp pengasingan serta mensterilkan perempuan secara paksa.
”Saat ini tidak ada dasar untuk melanjutkan perihal klaim terpisah tentang deportasi paksa warga Uighur kembali ke China dari Tajikistan dan Kamboja,” sebut laporan ICC, Senin (14/12/2020).
Komunitas Uighur berargumen, meski deportasi paksa itu tidak terjadi di wilayah China, ICC seharusnya bisa bertindak karena terjadi di wilayah Tajikistan dan Kamboja yang keduanya anggota ICC. Kini, tim pengacara Uighur meminta pengadilan untuk mempertimbangkan kembali kasus ini berdasarkan fakta-fakta atau bukti-bukti baru.
China menganggap tuduhan-tuduhan itu tidak berdasar dan menegaskan fasilitas-fasilitas yang dianggap kamp pengasingan di Xinjiang itu sebenarnya pusat-pusat pelatihan kerja yang bertujuan mencegah warga Uighur terjerat terorisme. ICC yang dibentuk tahun 2002 itu tidak berkewajiban mempertimbangkan pengaduan yang diajukan jaksa penuntut yang bisa memutuskan secara independen kasus apa yang akan diajukan ke hakim di pengadilan.
Kerja paksa
Ratusan ribu warga etnis minoritas yang menjadi buruh di Xinjiang dipaksa memetik kapas tanpa alat bantu. Laporan lembaga kajian Pusat Kebijakan Global di AS, Senin, menyebutkan, dari dokumen-dokumen online pemerintah diketahui tiga wilayah yang mayoritas dihuni Uighur mengirimkan sedikitnya 570.000 orang untuk memetik kapas pada tahun 2018. Ini merupakan bentuk skema kerja paksa oleh pemerintah.
Para peneliti memperkirakan jumlah buruh yang dipaksa memetik kapas itu bisa bertambah hingga ratusan ribu. Xinjiang merupakan pusat global untuk kapas. Mereka memproduksi lebih dari 20 persen kapas dunia. Hampir seperlima benang tenun yang dipakai di Amerika Serikat berasal dari Xinjiang.
Pemerintah China mengatakan, semua orang yang bekerja di bidang itu sudah ”lulus” dari pusat-pusat pelatihan kerja. Namun, laporan kajian itu menyebutkan banyak eks tahanan yang dipindah ke pekerjaan-pekerjaan pabrik dan kerja kasar. Bahkan, semua buruh diawasi ketat oleh polisi. Pelatihannya pun memakai gaya militer dan ideologis.
”Jelas transfer buruh untuk petik kapas seperti itu kerja paksa,” kata Adrian Zenz yang membuka dokumen Pemerintah China, lalu menuliskannya dalam laporan lembaga kajian itu.
Laporan itu juga menyebutkan ada dorongan ideologis yang kuat untuk menegakkan skema itu karena peningkatan pendapatan perdesaan memungkinkan para pejabat mencapai target pengentasan rakyat dari kemiskinan. Pemerintah China membantah tuduhan kerja paksa yang melibatkan Uighur di Xinjiang.
Pada awal bulan ini, Pemerintah Amerika Serikat melarang impor katun dari perusahaan Xinjiang Production and Construction Corps, entitas paramiliter yang utama yang mencakup sekitar sepertiga dari kapas yang diproduksi di seluruh wilayah. Saat ini tengah diusulkan larangan impor semua barang dari Xinjiang, tetapi masih harus mendapat persetujuan dari senat.
Sejumlah merk internasional, termasuk Adidas, Gap, dan Nike, diduga menggunakan warga Uighur sebagai buruh paksa di rantai suplai tekstil mereka. Ini berdasarkan laporan dari Institut Kebijakan Strategis Australia, Maret lalu. (AFP)