PM Suga Berada dalam Tekanan akibat Kebijakan Kontroversialnya
PM Jepang Yoshihide Suga berada dalam tekanan setelah kebijakannya terkait pogram wisata yang disubsidi dinilai cenderung mengutamakan perekonomian dan malah menjadi sumber lonjakan kasus Covid-19.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
TOKYO, SENIN – Baru tiga bulan memimpin Jepang menggantikan Shinzo Abe yang mundur karena sakit, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga berada dalam tekanan terkait beberapa kebijakannya yang dinilai kontroversial. Kebijakannya yang cenderung mengutamakan perekonomian dan akhirnya diduga memicu kenaikan jumlah infeksi Covid-19, membuat dukungan terhadapnya menurun.
Jepang dan beberapa negara lain yang memiliki tingkat kedisiplinan tinggi, seperti Korea Selatan, Singapura dan Selandia Baru, dinilai berhasil mencegah laju infeksi Covid-19 di negaranya. Berbeda dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara Eropa serta Asia lainnya. Tetapi, penularan Covid-19 di Negeri Matahari Terbit itu telah memburuk bersamaan dengan tibanya musim dingin, terutama di Hokkaido dan Osaka.
Selama sekitar sebulan terakhir jumlah kasus Covid-19 melonjak. Jumlah penularan menyentuh angka 3.000 pada Sabtu (12/12/2020) untuk pertama kalinya sejak kasus Covid-19 ditemukan di Jepang, 16 Januari 2020. Hal ini mengagetkan banyak pihak, termasuk Pemerintahan PM Suga. Tokyo, ibu kota dan kota terbesar Jepang, menjadi penyumbang kasus infeksi terbesar, yaitu 621 kasus.
Pada saat yang bersamaan, sebuah laporan hasil penelitian bersama antara Universitas Tokyo dan Universitas California (UCLA) menemukan kasus gejala Covid-19 yang lebih tinggi di kalangan orang-orang yang berpartisipasi dalam program perjalanan wisata yang disubsidi pemerintah dibanding dengan masyarakat umum.
Sejumlah ahli kesehatan sebelumnya telah khawatir, kebijakan program perjalanan wisata bersubsidi itu akan mendorong terjadinya peningkatan laju infeksi. Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan dengan studi tersebut.
PM Suga, Jumat (11/12) lalu, semula bersikeras bahwa pihaknya akan tetap melaksanakan program wisata yang disubsidi tersebut. Pemerintah hanya akan menghentikan program itu di dua wilayah yang paling parah level laju infeksinya, yaitu Tokyo dan Nagoya, pusat indusri besar Prefektur Aichi.
Suga beralasan ekonomi menjadi pertimbangan utama. “Jika ekonomi hancur, hal itu akan menjadi masalah yang serius,” kata Suga, dalam pertemuan daring.
Dampak kebijakan PM Suga yang cenderung mendahulukan ekonomi dibandingkan mencegah laju infeksi berdampak pada tingkat dukungan masyarakat atas kebijakan-kebijakannya. Hasil jajak pendapat surat kabar Mainichi yang dilakukan Sabtu (12/12/2020) memperlihatkan penurunan tingkat dukungan warga hingga 17 persen menjadi 40 persen, dari sebelumnya di atas 50 persen.
Ubah kebijakan
Tekanan media dan semakin tingginya laju infeksi Covid-19 membuat PM Suga dan kabinetnya mengubah kebijakan. Seperti dilaporkan laman Japan Times, dalam sidang kabinet Senin (14/12/2020), Suga memutuskan menghentikan sementara waktu program subsidi perjalanan wisata secara nasional mulai 28 Desember 2020 hingga 11 Januari 2021.
Survei yang digelar oleh Bank Sentral Jepang pada bulan ini, yakni jajak pendapat kuartalan yang melibatkan sekitar 10.000 perusahaan, menunjukkan adanya keyakinan para pelaku ekonomi bahwa negara itu akan pulih dengan cepat.
Pekan lalu, pemerintah Jepang memutuskan untuk menggelontorkan paket stimulus baru senilai lebih dari 700 miliar dollar AS untuk mendanai proyek-proyek guna menahan laju infeksi Covid-19 di negara itu, hingga pengembangan teknologi hijau. Ini merupakan paket stimulus ketiga yang dikeluarkan pemerintah Jepang sepanjang tahun 2020.
"Rebound tajam pada kuartal keempat Tankan mendukung pandangan kami bahwa ekonomi Jepang akan pulih relatif cepat dari guncangan yang disebabkan oleh pandemi," kata Tom Learmouth, ekonom pada lembaga Capital Economics.
Survei terbaru juga muncul menjelang dua hari Bank Sentral Jepang untuk membahas kebijakan moneter yang akan dimulai Kamis (17/12). Pertemuan itu diperkirakan akan mempertahankan alat pelonggaran moneter saat ini. Selain itu, pertemuan tersebut kemungkinan juga akan memperpanjang langkah-langkah khusus dalam menanggapi Covid-19.
"Kami pikir BoJ akan menjelaskan bahwa ekonomi terus membutuhkan dukungan kebijakan, terutama dengan ketidakpastian yang lebih tinggi karena datangnya gelombang ketiga infeksi," kata ekonom UBS Masamichi Adachi dan Go Kurihara dalam sebuah laporan. (AFP/REUTERS)