Trump dan Pendukungnya Perdalam Perpecahan dan Luka Demokrasi AS
Ribuan pendukung Presiden Donald Trump turun ke jalan, Sabtu (12/12/2020), menyuarakan penolakan kemenangan Joe Biden pada pemilihan presiden lalu. Kampanye Trump soal kecurangan pemilu menjadi penyebab utama kerusakan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
WASHINGTON DC, MINGGU — Ribuan pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengenakan topi merah bertuliskan ”Make Amerika Great Again”, Sabtu (12/12/2020), turun ke jalan. Mereka memenuhi jalan-jalan kota di Kota Washington untuk mendukung klaim tidak berdasar Trump terhadap kecurangan pemilihan umum pada 3 November lalu. Gugatan terkait dugaan kecurangan itu telah ditolak pengadilan. Mereka menolak kekalahan Trump dari presiden AS terpilih yang didukung Partai Demokrat, Joe Biden, dan kembali mendesak pembatalan hasil pemilu.
Setiap negara bagian saat ini telah menyertifikasi kemenangan Biden yang mengumpulkan 306 suara elektoral dari batas minimum yang dibutuhkan, yaitu 270, untuk terpilih menjadi presiden AS ke-46. Sementara Trump memeroleh dukungan 232 suara elektoral.
Penolakan atas kekalahan Trump yang menilai telah terjadi kecurangan dalam proses pemilu dinilai David Farber, seorang profesor sejarah pada Universitas Kansas, sebagai racun dalam demokrasi AS.
”Racun semacam ini benar-benar sudah meresap ke dalam demokrasi dan mendelegitimasi keberlangsungan kehidupan politik normal di negara ini,” kata Farber, Sabtu (12/12). Dia menambahkan, lembaga-lembaga di AS tengah ditantang legitimasinya oleh berita-berita atau cuitan tidak berdasar, sebuah hal yang menurut Farber belum pernah terjadi sebelumnya.
Para pendukung Trump yang berkumpul di sekitar Freedom Plaza, beberapa blok dari Gedung Putih, meneriakkan yel-yel AS dan empat tahun lagi untuk Trump, yang sekitar sebulan lagi akan lengser. Mereka berjanji tidak akan menyerah dan akan terus menggemakan penolakannya terhadap hasil pemilu meski sejumlah anggota Partai Republik pendukung Trump sudah bersikap sebaliknya.
”Kami tidak akan menyerah,” kata Luke Wilson, pendukung Trump asal Idaho berusia sekitar enam puluhan tahun. Teriakan itu ditimpali Dell Quick, pendukung Trump lainnya.
”Saya yakin ada ketidakadilan besar yang dilakukan terhadap rakyat AS,” kata Quick. Dia mengibarkan bendera dan pamflet yang mendukung kepemilikan senjata api bagi warga AS.
Meski pengadilan di sejumlah negara bagian telah menolak argumentasi dan klaim pengacara Trump, Rudy Giulani, bahwa telah terjadi kecurangan dalam proses pemilu, terutama yang terkait pengiriman surat suara melalui pos, para pendukung Trump menolak keputusan itu. Mereka tetap meyakini ada kecurangan yang sistematis dan luas dalam pemilu.
Lusinan kasus pengadilan yang menuduh adanya kecurangan atau mempermasalahkan hasil telah diputuskan, hampir semuanya berpihak pada Biden. Beberapa hakim menyatakan penolakan karena kurangnya bukti.
Akan tetapi, itu tidak cukup untuk Darlene Denton (47), yang mengenakan lencana ”Trump 2024” di kausnya.
”Tak seorang pun ingin mendengar bukti. Tak seorang pun ingin mendengar kasus. Semuanya dibuang begitu saja,” kata Denton, pendukung Trump asal Tennessee.
Beberapa pendukung Trump menggeser isunya pada kemungkinan adanya campur tangan asing dalam pemilihan hingga masalah perangkat lunak yang diduga menghapus jutaan suara untuk Trump.
Dalam unjuk rasa besar di sekitar Freedom Plaza itu, organisator menunjuk beberapa pendukung utama Trump untuk berpidato di hadapan massa. Salah satunya adalah Michael Flynn, mantan penasihat keamanan nasional Trump yang didakwa berbohong kepada Biro Penyidik Federal (FBI) dalam investigasi keterlibatan Rusia dalam pemilu 2016. Flynn baru saja diberi pengampunan oleh Trump.
Perdalam perpecahan
Senator Demokrat asal Connecticut Chris Murphy mengatakan, Trump dan sekutunya di Partai Republik tengah melakukan upaya paling serius untuk menjatuhkan dan bahkan menggulingkan demokrasi di AS. Hal senada disampaikan Nancy Pelosi, Ketua DPR AS asal Partai Demokrat. Dia menilai Trump dan kaum Republikan melakukan serangan dengan sembrono terhadap demokrasi.
Faber mengatakan, keputusan pengadilan dan sejumlah legislator di sejumlah negara bagian yang telah mempertahankan hasil pemilu seharusnya menjadi kebanggaan rakyat AS. ”Orang Amerika bisa bangga pada kenyataan bahwa lembaga peradilan dan legislator negara bagian kita telah bertahan dan tidak tunduk pada tekanan politik,” kata Farber.
Wendy Schiller, seorang profesor ilmu politik Brown University, mengatakan, klaim Trump dapat berkembang dalam lingkungan di mana orang mendapatkan berita yang sangat tertutup meski bisa mendapatkan berita secara daring dan gratis.
”Mereka pada dasarnya berseluncur di dunia maya dan dan berbicara sendiri. Covid benar-benar telah mengubah segala jenis cara untuk mengukur reaksi orang. Tidak ada tempat lain bagi mereka untuk mendengarkan poin tandingan,” kata Schiller.
Michael Nelson, profesor ilmu politik di Rhodes College, menyatakan, salah satu masalah terbesar adalah karena Trump mempertahankan cengkeraman besinya di tubuh Partai Republik. ”Tidak ada yang akan menentang dia. Mereka takut membuat pemilih mereka marah,” kata Nelson.
Schiller memperkirakan bahwa Biden kemungkinan akan menghadapi ”perlawanan yang luar biasa” selama enam bulan hingga satu tahun pertama masa kepemimpinannya bersama Kamala Harris.
Yang dikhawatirkan Nelson bukan kondisi politik dan demokrasi dalam satu atau dua tahun mendatang, melainkan 10 tahun ke depan atau bahkan beberapa pemilihan presiden berikutnya. ”Anda bisa perlahan-lahan mulai melihat jenis demokrasi terkikis.”
Thomas Holbrook, profesor pemerintahan di Universitas Wisconsin-Milwaukee, menyuarakan kekhawatirannya bahwa ada kelompok yang merasa pemilu itu dicuri oleh kelompok lain. Hal itu menurut dia bisa mengarah pada kemunculan kelompok intoleran, seperti milisi di Michigan.
Tiga belas anggota milisi Michigan ditangkap pada Oktober karena bersekongkol untuk menculik gubernur Demokrat Gretchen Whitmer dan akhir pekan lalu demonstran bersenjata melakukan protes di luar rumah seorang pejabat pemilihan Negara Bagian Michigan.
Schiller mengatakan bahwa, meskipun ada gejolak politik setelah pemilihan, dia berbesar hati dengan rekor partisipasi lebih dari 150 juta orang Amerika.
”Begitu Biden benar-benar dilantik, saya pikir kita dapat meninggalkan ini dan mengatakan bahwa semua upaya Trump untuk menghancurkan norma masyarakat yang demokratis pada 2020 dikalahkan oleh praktik demokrasi paling mendasar, yaitu hak untuk memilih,” katanya. (AFP/AP)