Perang Arsitektural Ubah Wajah Kabul
Investor mengincar bangunan rumah tradisional yang berdiri di atas tanah luas dan ingin menyulapnya menjadi apartemen sebagai penanda modernitas kota Kabul, Afghanistan. Ini ”perang” bagi para penjaga warisan budaya.
Sejarah keemasan Kabul tecermin dari arsitektur bangunan di wilayah ibu kota Afghanistan itu. Kini, warisan sejarah tersebut bersaing dengan buldoser yang digerakkan investor untuk mengubah wajah kota itu.
Terselip di lembah yang diapit area Pegunungan Hindu Kush, Kabul berada di ketinggian sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut dan menjadi ibu kota negara tertinggi di dunia. Lokasinya berada di titik persilangan Benua Asia, di pelintasan Jalur Sutra lama, membuat Kabul dan Afghanistan menjadi tempat persilangan budaya banyak bangsa.
Baca juga : Mencari Akhir Perang Panjang
Sebelum wafat, Zahiruddin Muhammad, pendiri Kekaisaran Mughal, penguasa Afghanistan, berpesan agar dimakamkan di Kabul, bukan di Agra, India, kampung halamannya. Ia menyebut Kabul sebagai ”Surga di Muka Bumi”. Sebutan lain yang dilontarkan eks Penasihat Pemkot Kabul Pushpa Pathak, Kabul adalah ”Swiss di Timur”.
Hingga tahun 1970-an, Kabul adalah kota kecil yang memesona. Taman-taman di kota itu dipenuhi pepohonan rindang dan bunga-bunga wangi semerbak. Kabul juga dikenal dengan bangunan pasar kuno, masjid, serta istana yang megah.
”Dulu orang berbulan madu di sini,” kata Pathak, yang kini peneliti senior Pusat Penelitian Kebijakan India di New Delhi.
Di kota yang diperkirakan berdiri sekitar 3.500 tahun lampau itu, rumah tradisional dengan usia berabad-abad masih berdiri kokoh. Bangunan rumah tradisional yang berbahan dasar lumpur dan jerami masih banyak terlihat dan menjadi salah satu daya tarik utama Kabul.
Baca juga : Perjuangan Perempuan Afghanistan Memiliki Rumah di Tengah Perang
Ajmal Maiwandi, Kepala Eksekutif Aga Khan Trust for Culture, lembaga nirlaba yang mencoba merenovasi dan merehabilitasi sejumlah bangunan tua bersejarah di Kabul, mengatakan bahwa desain awal Kabul adalah sebuah kota dengan kompleks perumahan yang dihubungkan tembok-tembok tebal berbahan dasar tanah dan halaman yang luas serta lorong-lorong sempit yang mengarahkan para penghuninya ke lokasi pertemuan komunal, seperti pasar, masjid, atau taman.
Perubahan kota
Perubahan pada desain kota terjadi tahun 1920-an saat Raja Amanullah Khan berkuasa. Dia menggulirkan reformasi arsitektur Afghanistan dan menganjurkan desain baru kota yang lebih terbuka. Banyak dinding kota hilang.
Warisan arsitektur di Kabul itu kini semakin terancam punah, digantikan dengan bangunan-bangunan modern yang menggunakan besi sebagai penopang struktur utamanya dan kaca-kaca yang memantulkan cahaya matahari. Banyak hunian bertingkat dibangun untuk menampung warga pendatang dari penjuru Afghanistan yang ingin mengadu nasib di ibu kota.
”Perang telah menghancurkan begitu banyak warisan budaya kami. Sekarang, kami harus berperang dalam perang arsitektural,” kata Ferdous Samim, CEO firma arsitek Taak Inc di Kabul.
Baca juga : Krisis Air, Ancaman (Selain Teror Taliban) bagi Warga Kabul
Perang arsitektural yang disampaikan Samim sudah dimulai sejak beberapa tahun lalu. Namun, semua pihak kembali tersentak ketika Cinema Park, bangunan bioskop berusia hampir seabad dan penanda Kabul sebagai kota metropolitan, diratakan dengan tanah, November lalu, atas perintah Wakil Presiden pertama Afghanistan Amrullah Saleh.
Publik dan sejumlah pihak, mulai dari seniman hingga pembuat film, memprotes penghancuran gedung ini. Sahraa Karimi, sutradara film, dikutip dari BBC, mengatakan bahwa penghancuran itu menghilangkan kenangan banyak orang terhadap kehidupan dan kebahagiaan sebagian besar warga kota saat mereka menonton film layar lebar, mulai dari film lokal, Bollywood, hingga Hollywood, di bangunan itu.
”Setiap Jumat malam, laki-laki dan perempuan pergi ke bioskop menikmati film India, Amerika, hingga film lokal Afghanistan. Gedung bioskop ini menjadi penanda maraknya produksi film lokal saat itu sebelum perang melanda,” kata Karimi, yang juga Kepala Badan Arsip dan Produksi Film Afghanistan.
Meski ditentang, pemerintah Kabul bergeming. Mereka menyatakan, bangunan itu memiliki struktur yang tidak bagus dan sudah tidak bisa direnovasi lagi. Amrullah Saleh melalui cuitannya di Twitter menyatakan, pemerintah mengundang para arsitek atau siapa pun yang memiliki konsep arsitektur bangunan baru di atas puing-puing bangunan lama.
Wali Kota Kabul Dawood Sultanzoi mengatakan, jika bangunan tidak aman dan tidak dapat direvonasi lagi, pemerintah tidak bisa mempertahankannya atas nama kenangan masa lampau semata. Pemerintah akan mengecualikannya jika bangunan itu telah dinyatakan sebagai situs bersejarah.
Kini, para investor mengincar bangunan rumah tradisional Afghanistan yang biasanya berdiri di atas tanah yang sangat luas untuk dibeli, diakusisi untuk dirubuhkan, dan dibangun bangunan baru di atasnya. Hal ini dialami keluarga Mariam Azimi, yang telah membangun beberapa rumah besar dengan taman di barat kota Kabul sejak tahun 1940-an. Mereka didekati sejumlah investor yang ingin membeli sebagian lahan dan rumah milik mereka agar bisa dibangun gedung apartemen di atasnya.
Dia mengatakan, tawaran terus meningkat ketika situasi Afghanistan memburuk, antara lain ditandai dengan kekerasan yang meningkat atau menjelang pemilu. ”Tentu saja hal itu membuat karakter Kabul berubah. Bangunan lama hancur, yang baru bermunculan dengan cepat. Kota ini hampir tidak bisa dikenali,” kata Azimi.
Baca juga : Kuburan Para Raksasa
Urbanisasi tidak bisa dihindari. Bertahun-tahun hidup dalam situasi konflik dan kesulitan ekonomi yang mendera, warga Afghanistan terdorong datang ke Kabul untuk mencari kehidupan yang aman dan lebih baik.
Menurut data UN Habitat, badan pembangunan perkotaan dan perumahan Perserikatan Bangsa-Bangsa, peningkatan jumlah penduduk rata-rata per tahun di Kabul hampir mendekati angka 10 persen sejak jatuhnya Taliban pada 2001. Hingga saat ini belum ada sensus penduduk untuk mengetahui populasi Kabul dan Afghanistan secara keseluruhan. Akan tetapi, diperkirakan jumlah penduduk di Kabul saat ini berkisar 6 juta-7 juta orang.
”Ekspansi kota yang pesat ini terjadi dengan mengorbankan rumah tradisional dan bersejarah,” kata Samim.
Baca juga : Hari Bersejarah bagi Rakyat Afghanistan
Wali Kota Sultanzoi menyatakan, pihaknya akan terus membangun karena tidak ada hukum yang melarang kemajuan.
Wajah baru
Banyaknya bangunan tradisional yang tidak terdaftar tidak hanya terjadi di Kabul, tetapi juga di seantero negara Afghanistan. Masalah itu membuat banyak penduduk terperangkap dalam sengketa tanah yang berkepanjangan.
Ketiadaan data pendukung membuat banyak pihak yang ingin membantu melestarikan bangunan bersejarah di negeri ini tidak mengetahui jumlah persis bangunan yang telah dirobohkan di Kabul. Sejauh ini, menurut daftar bangunan yang dilindungi, ada sekitar 1.300 bangunan, masjid, dan situs bersejarah lain.
Maiwandi meyakini, bangunan yang harus ada dalam daftar tersebut seharusnya berjumlah lebih banyak dari yang terdaftar sekarang. ”Ada 184 monumen terdaftar di Kabul saja, dan Departemen Monumen Bersejarah percaya bahwa setidaknya ada dua kali jumlah itu yang perlu disurvei dan didaftarkan di kota di masa mendatang,” katanya.
Maiwandi mencatat, gaya dan metode konstruksi gedung-gedung baru di Kabul mencerminkan evolusi Afghanistan menjadi negara yang dilanda perang, sekaligus dibanjiri dengan uang bantuan asing dan populasi orang kaya baru yang terus bertambah.
”Jika melihat realitas dan dinamika politik, ekonomi, dan keamanan selama 20 tahun terakhir, kota ini sangat mencerminkan zamannya,” ujarnya.
Baca juga : Mereka Rela Pertaruhkan Hidup demi Afghanistan yang Demokratis
Ledakan konstruksi baru terjadi setelah invasi yang dipimpin AS ke Afghanistan pada 2001, saat orang-orang yang melarikan diri selama pemerintahan Taliban pulang kembali ke Kabul. Mereka membawa sejumlah uang untuk diinvestasikan.
Namun, menurut Samim, gaya baru arsitektur di Kabul tidak hemat energi. Ini berbeda dengan bangunan lama, yang katanya, dibangun sesuai dengan kondisi cuaca dan alam Afghanistan yang keras, mulai dari musim panas yang sangat panas dan musim dingin yang menusuk kulit.
Tak hanya persoalan arsitektur yang tidak sesuai dengan kondisi Afghanistan, konflik masalah privasi para pemilik bangunan lama juga menjadi sangat banyak. Hal itulah yang kemudian mendorong para pemilik bangunan rumah lama menjual rumah-rumah mereka.
Baca juga : Perempuan Afghanistan Melawan Diskriminasi
Harapan Samim dan Maiwandi sama seperti harapan Azimi dan keluarganya untuk bisa mempertahankan rumah yang mereka tinggali saat ini. Menurut Pietro Calogero, profesor studi perkotaan Universitas San Francisco, menjaga monumen dan warisan budaya adalah bagian integral rakyat Afghanistan.
”Pelestarian warisan budaya itu penting dan jauh lebih berharga daripada mengubah Kabul menjadi kota kaca dan baja yang steril,” kata Calogero. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)