PM Inggris Boris Johnson menyatakan belum ada fondasi untuk menyatukan perbedaan besar antara Inggris dan Uni Eropa dalam perundingan dagang pasca Brexit. Masa depan hubungan dagang kedua pihak suram.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
LONDON, SELASA — Masa depan hubungan dagang antara Inggris dan Uni Eropa tampaknya semakin suram. Beberapa putaran perundingan, ditambah perundingan khusus selama tiga pekan terakhir untuk menyelesaikan tiga masalah utama yang masih mengganjal, serta hubungan telekomunikasi langsung antara Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, belum bisa menjembatani perbedaan antara keduanya.
Hal lain yang memperumit keadaan adalah rencana Perancis menentang setiap klausul perjanjian UE-Inggris yang mengorbankan nelayannya.
”Tidak ada alasan untuk menyerah pada tekanan Inggris. Kami bisa saja melakukan beberapa upaya lain, tapi tidak dengan mengorbankan nelayan dan perikanan,” kata Clement Beaune, Menteri Urusan Eropa Pemerintah Prancis, Selasa (8/12/2020).
Hanya berselang sekitar tiga jam setelah Beaune mengeluarkan pernyataannya, PM Johnson yang bersiap berangkat ke Brussels, Belgia, untuk bertemu sejumlah kepala negara anggota Uni Eropa, menyatakan ”jarak yang terbentang antara kedua pihak semakin jauh”. Meski berharap ada terobosan dalam perundingan, Johnson mengakui situasinya sangat rumit.
”Saya selalu berharap, tetapi saya harus jujur kepada Anda, situasinya saat ini rumit. Teman-teman kami harus memahami bahwa Inggris telah meninggalkan Uni Eropa untuk menjalankan kontrol demokratis. Kini, kami masih jauh terpisah,” katanya.
Setelah beberapa pekan melakukan perundingan khusus, Johnson mengakui kalau belum ada kesamaan fondasi untuk menyelesaikan perbedaan yang besar antara kedua pihak. Namun, Johnson mengatakan, pintu masih selalu terbuka dan para pihak terus mencoba mengupayakan hasil terbaik dalam perundingan nanti.
”Kami meminta kepala negosiator kami dan tim mereka untuk mempersiapkan gambaran perbedaan yang tersisa untuk dibahas dalam pertemuan fisik di Brussel dalam beberapa hari mendatang,” kata Johnson.
Perundingan selama berbulan-bulan memang telah menghasilkan sejumlah kesepakatan. Tapi, masih terdapat sejumlah perbedaan serius diantara UE dan Inggris, yaitu standar barang ekspor dan impor, hak penangkapan ikan dan soal penyelesaian perselisihan atau sengketa hukum antara para pihak.
Skeptisisme bahwa para perunding bisa mencari jalan tengah, mencapai kesepakatan pada tiga hal yang masih menjadi batu sandungan, sebelum konferensi tingkat tinggi UE berlangsung, Kamis (10/12/2020), sempat dilontarkan Ketua Tim Perunding UE Michel Barnier. Menurut dia, Rabu (9/12/2020), tidak cukup efektif untuk menjadi batas waktu persoalan yang rumit.
Beberapa pihak masih berharap ada terobosan di waktu yang sangat sempit ini. Menteri Urusan Eropa Pemerintah Jerman Michael Roth berharap para pihak melakukan upaya tambahan untuk mencapai kesepakatan.
”Biar saya perjelas: hubungan masa depan kita didasarkan pada kepercayaan dan keyakinan. Justru kepercayaan inilah yang dipertaruhkan dalam negosiasi kita sekarang. Yang kami butuhkan adalah kemauan politik di London,” kata Roth.
Pemerintah Inggris bersedia untuk mencari titik temu ketika mereka siap mencabut sebuah klausul dalam Undang-Undang Brexit yang dinilai bisa memprovokasi sebuah upaya hukum oleh Uni Eropa dan merusak kepercayaan di London. Namun, klausul itu tetap utuh ketika rancangan peraturan perundangan pasar internal kembali diperdebatkan di House of Commons atau majelis rendah Inggris.
Beberapa sumber di tubuh tim perundingan dua pihak menyepakati bahwa masalah tersulit adalah bagaimana menjamin perdagangan yang adil di masa depan. Selain itu, penetapan sanksi jika salah satu item kesepakatan mengalami kemunduran, misalnya adalah standar lingkungan atau kesehatan, juga harus menjadi perhatian yang serius dan disepakati mekanisme penyelesaiannya. UE khawatir Inggris memangkas peraturannya, yang dapat memungkinkan perusahaannya melemahkan perusahaan Eropa.
Johnson, yang menyatakan akan mencoba berunding hingga batas waktu berakhir, mengaku bangga dengan apa pun yang terjadi di kemudian hari meski perundingan gagal. Dia bahkan tidak menutup kemungkinan untuk mundur dari perundingan ketika dirasa olehnya Inggris berada di atas angin.
Reaksi pasar dan masa depan
Suramnya hasil akhir perundingan UE-Inggris membuat harga saham dan nilai tukar pound sterling melemah pada awal pekan. Pound Inggris yang merupakan penggerak terbesar dalam perdagangan mata uang G10, melemah pada perdagangan hari Selasa (8/12/2020).
Kegelisahan investor mendorong mata uang pound sterling diperdagangkan dua sen lebih rendah terhadap dolar Amerika Serikat pada sehari sebelumnya, Senin (7/12), setelah kabar PM Johnson berencana melakukan perjalanan ke Brussel, Kamis (10/12), untuk mengupayakan terobosan terakhir.
”Pelemahan mata uang telah menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran kepercayaan seputar kesepakatan perdagangan Brexit dalam beberapa hari terakhir,” kata Kepala Strategi FX Rabobank Jane Foley.
Para investor dan bank telah lama memperkirakan akan terjadi kesepakatan antara UE dan Pemerintah Inggris. Berita pada akhir pekan lalu yang menyatakan bahwa perundingan berisiko gagal membuat nilai tukar pound melemah terhadap dolar AS. Kondisi serupa juga pernah dialami pound ketika keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa menjadi kenyataan dan membuat pound melemah hingga 8 persen terhadap dollar AS, pelemahan terbesar dalam satu hari perdagangan sejak era nilai tukar mengambang bebas dimulai pada tahun 1970-an.
Selain dampak pada nilai tukar mata uang, kegagalan perundingan juga akan membuat Inggris kehilangan akses tarif nol ke pasar tunggal Eropa yang memiliki populasi 450 juta orang. Inggris akan menggunakan kesepakatan perdagangan umum, seperti yang ditetapkan organisasi perdagangan dunia (WTO) saat berdagang dengan 27 negara UE. Konsumen di Inggris akan merasakan kenaikan harga sejumlah komoditas.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh perusahaan asuransi Allianz pada November lalu, kegagalan perundingan akan mengakibatkan UE merugi hingga 33 miliar euro dalam hal ekspor tahunan. Jerman, Belanda, dan Perancis menjadi negara yang paling terpukul. Irlandia, Denmark, Swedia, Portugal hingga Hongaria akan merasakan dampaknya.
Institut Riset Ekonomi Halle memperkirakan bahwa perusahaan Uni Eropa yang mengekspor ke Inggris dapat kehilangan lebih dari 700.000 pekerjaan jika tidak ada kesepakatan.
Hylke Vandenbussche, seorang profesor di Universitas Leuven Belgia, mengatakan dalam sebuah laporan tahun lalu bahwa Belgia akan menjadi negara anggota UE yang paling parah terkena dampak relatif terhadap ukurannya, terutama sektor makanannya, dengan hilangnya 10.000 pekerjaan. (AFP/Reuters)