Gitanjali Rao, Kidung Persembahan Pengagum Marie Curie
Meski terus mendukung, orangtuanya pernah tertawa kala Gitanjali Rao (15) mengungkapkan keinginan meneliti penggunaan tabung karbon nano. Inilah kisah Kid of The Year pertama versi majalah Time.
Oleh
Kris Razianto Mada
·5 menit baca
Meski terus mendukung, orangtuanya pernah tertawa kala Gitanjali Rao (15) mengungkapkan keinginan meneliti penggunaan tabung karbon nano. Terbiasa membaca informasi sains dari Massachusetts Institute of Technology dan sumber informasi lain, ia tak berhenti meraih penghargaan sejak 2017.
Pada 4 Desember 2020, setelah mengungguli sedikitnya 5.000 pelajar lain, Rao ditetapkan sebagai “Kid of The Year” oleh majalah Time. Untuk pertama kali, majalah dari Amerika Serikat itu membuat kriteria yang membuat foto Rao terpajang di sampulnya. Sebelumnya, Time hanya membuat “Person of The Year”.
“Generasi kami menghadapi berbagai persoalan yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, kami juga menghadapi masalah lama yang tetap ada. Kita di tengah pandemi global baru dan tetap menghadapi masalah HAM. Ada masalah yang tidak pernah kami ciptakan, walakin harus kami pecahkan seperti perubahan iklim dan perisakan maya,” tutur gadis yang namanya berarti "kidung persembahan" itu dalam wawancara dengan Time.
Generasi kami menghadapi berbagai persoalan yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, kami juga menghadapi masalah lama yang tetap ada. Kita di tengah pandemi global baru dan tetap menghadapi masalah HAM.
Ia memang mempertanyakan banyak hal dalam kehidupan. Salah satu pertanyaan pokoknya sejak bertahun lalu adalah bagaimana cara membuat setiap orang tersenyum. Pertanyaan itu mendorongnya mencari penyelesaian berbagai persoalan. Pada usia 6 tahun, ia pernah bertanya pada ibunya tentang kemungkinan hidup di bawah tanah karena jumlah manusia di permukaan bumi terlalu banyak.
Sejak punya pertanyaan itu, Gitanjali semakin tertarik mempelajarinya. Ia rutin membaca MIT Tech Review dan sejumlah sumber informasi lain terkait ilmu pengetahuan dan teknologi. Ayah dan ibunya, Ram dan Bharati, membantu Rao memahami aneka informasi itu. Sebagai insinyur, Bharati dan Ram bisa membantu anaknya memahami persoalan kompleks dengan istilah sederhana.
Bharati juga rutin menjelaskan berbagai hal kepada pelajar STEM School Highlands Ranch, sekolah terpadu di Lone Tree, Colorado dan fokus pada pengajaran ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) itu. Bersama Bharati, Gitanjali membahas berita soal krisis air di Flint, Michigan, kecelakan Malaysia Airlines, hingga virus Zika. Kecelakaan Malaysia Airlines pernah mendorongnya memikirkan cara melacak kotak hitam pesawat meski baterai kotak itu sudah lama kehabisan daya.
Kadang, pertanyaan Gitanjali membingungkan ibunya. Salah satu kebingungan Bharati adalah kala anaknya bertanya cara memanfaatkan tabung karbon nano untuk melacak timbal dalam air, seperti di kasus Flint. Bharati bingung sekaligus tertawa atas pertanyaan yang diajukan pelajar SD berusia 10 tahun itu.
Gitanjali menanyakan itu setelah membaca soal tabung karbon nano dari MIT Tech Review. Tabung ultra kecil itu mengandung atom karbon yang sangat sensitif pada perubahan unsur kimia. Karena itu, tabung tersebut cocok untuk menjejak kandungan kimia dalam air.
Di MIT Tech Review, tabung itu dibuat untuk mendeteksi gas berbahaya. Sementara Gitanjali berpikir menggunakan tabung itu untuk memeriksa kandungan timbal, senyawa yang bisa menyebabkan berbagai penyakit bila terserap ke tubuh.
Ia memikirkan itu setelah kedua orangtuanya mencoba memeriksa kandungan timbal pada pasokan air di rumah mereka. Bagi Gitanjali, cara yang dipakai Ram dan Bharati rumit serta mahal sehingga sulit dipakai orang kebanyakan. Padahal, kandungan timbal di air adalah masalah bagi banyak orang.
Setelah berbagai percobaan, ia menghasilkan Tethys, yakni kotak berisi aneka sensor yang dilengkapi tabung karbon nano. Kotak itu bisa memeriksa kandungan kimia dalam air dan mengirimkan hasil pemeriksaannya ke aplikasi di ponsel. Gitanjali menamakan alat itu sesuai nama dewi air dalam mitologi Yunani.
Kotak itu bisa memeriksa kandungan kimia dalam air dan mengirimkan hasil pemeriksaannya ke aplikasi di ponsel. Gitanjali menamakan alat itu sesuai nama dewi air dalam mitologi Yunani.
Tehthys mengantarnya memenangi Discovery Education 3M Young Scientist Challenge 2017. Hadiah 25.000 dollar AS yang ia dapat dari kompetisi itu dipakai untuk pengembangan Tethys yang diharapkan bisa dibuat secara massal pada 2022. Kini, ia sedang mengembangkan alat itu bersama sejumlah ilmuwan.
Tethys bukan satu-satunya tokoh mitologi Yunani yang mengantar Gitanjali meraih penghargaan sains. Lewat Epione, nama yang diambil dari sosok perawat orang sakit dalam mitologi Yunani, Gitanjali memenangi TCS Ignite Innovation Student Challenge 2018. Perangkat itu membantu mendeteksi gejala kecandungan obat pereda nyeri. Kecanduan pereda nyeri menjadi salah satu masalah besar di AS dan banyak negara.
Di tahun itu pula, ia memenangi President\'s Environmental Youth Award (PEYA) dari Badan Lingkungan Hidup (EPA) AS. Sementara di 2019, ia masuk salah daftar “30 Under 30” yakni daftar 30 orang berpengaruh di dunia dan belum berusia 30 tahun. Daftar itu disusun majalah Forbes. Pencapaian itu terjadi di tahun sekolahnya dilanda insiden penembakan yang melukai dan menewaskan sejumlah orang. Kala insiden itu terjadi, Gitanjali kebetulan tidak di tempat.
Selain terkait lingkungan, ia juga mengembangkan Kindly, aplikasi untuk melacak gejala awal perundungan di dunia maya. Ia menyusun daftar sejumlah kata yang dapat dijadikan petunjuk awal perundungan. Lewat aplikasi itu, ia mengajak remaja berpikir ulang sebelum mengirimkan surel atau unggahan media sosial yang berpotensi menjadi perundungan.
Gitanjali menyebut kedua orangtuanya sebagai pahlawan yang memungkinkan ia tertarik pada teknologi. Ia juga mengagumi Marie Curie, peraih Hadiah Nobel Kimia dan Fisika dari Polandia. Ia mengagumi ilmuwan Polandia itu karena senantiasa mendahulukan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. “Itulah makna pahlawan bagi saya,” kata Gitanjali.
Ia juga tidak ingin hanya menciptakan sesuatu untuk menyelesaikan masalah. Lebih dari itu, ia berharap orang lain bisa melakukan hal serupa. Karena itu, ia membentuk kelompok belajar bersama yang melibatkan para pelajar dari banyak negara. Sampai Desember 2020, 30.000 pelajar dari berbagai negara ikut kelompok belajar daring itu.
Lewat kelompok itu, ia berharap bisa ikut menggairahkan pelajar untuk berinovasi. Di masa depan, inovasi diharapkan dianggap sebagai kebutuhan dan bukan sebagai pilihan. “Saya berharap bisa menjadi bagian dari itu,” ujarnya. (AP/REUTERS)
Nama : Gitanjali Rao
Lahir : 24 November 2005
Orangtua : Ram dan Bharati Rao
Penghargaan (antara lain) :
Kid of The Year (2020)
Forbes “30 under 30” (2019)
EPA Presidential Youth Award (2018)
Daily Point of Light Award (2018)
Discovery Education 3M Young Scientist Challenge (2017)