Nasib warga Rohingya memang buruk. Di Myanmar, mereka dianggap imigran gelap. Kini mereka mulai dibuang ke pulau terpencil yang rawan di Teluk Benggala.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·3 menit baca
Kabar terbaru tentang nasib warga minoritas Rohingya memprihatinkan. Setelah sekitar 1 juta orang terusir dari desa-desa di Rakhine, Myanmar, ke wilayah tetangga Cox’s Bazar, Bangladesh, kini mereka mulai dipindahkan ke pulau terpencil di Teluk Benggala.
Sebanyak 1.642 pengungsi Rohingya diberangkatkan secara bertahap ke Pulau Bhasan Char sejak Jumat (4/12/2020). Relokasi ditentang berbagai pihak karena pulau tujuan dinilai tidak layak huni dan lebih berbahaya dari Cox’s Bazar yang rawan banjir dan serangan gajah.
Relokasi dikecam pemimpin Rohingya, kubu oposisi, dan para pegiat hak asasi manusia hingga Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Juru Bicara UNHCR Babar Baloch mendesak Dhaka memegang komitmen dan relokasi hanya boleh dilakukan apabila warga Rohingya bersedia pindah. Namun, keputusan Dhaka soal relokasi sudah final.
Ada banyak alasan menolak relokasi. Menurut tulisan dari Dhaka, The Trouble with Thengar Char di Foreign Affairs, edisi 23 Februari 2017, sampai 11 tahun lalu pulau itu belum muncul di Teluk Benggala. Pulau terbentuk dari 1 miliar ton endapan lumpur yang setiap tahun mengalir dari Himalaya menuju muara Sungai Meghna, Bangladesh.
Para pakar klimatologi memperingatkan, pulau baru bukanlah solusi karena rentan cuaca ekstrem. Selama musim hujan ataupun saat air laut pasang, Bhasan Char terendam. Nama itu pun berarti ”pulau terapung”. Pulau tidak berpenghuni ini kerap diamuk topan atau badai ganas.
Dhaka mengaku telah menghabiskan 400 juta dollar AS atau setara Rp 5,67 triliun untuk mengembangkan Bhasan Char. Dana itu digunakan untuk membuat tanggul setinggi 3 meter dan gedung penampungan pengungsi. Di sana terdapat rumah sakit dan masjid.
Tribune Dhaka melaporkan, seluruh 1.440 bangunan dibangun dalam bentuk rumah panggung setinggi empat kaki agar aman dari gelombang pasang atau rob.
Menurut Los Angeles Times, Pemerintah Bangladesh telah membangun kota, jalan aspal, tanggul pengaman banjir rob berlapis baja sepanjang 12,8 km, gudang makanan, dan jaringan listrik tenaga surya.
Lebih dari 120 tempat berlindung dari topan telah dibangun. Namun, rumah-rumah mereka rawan topan. Semuanya dibangun Angkatan Laut Bangladesh dan kontraktor China, Sinohydro.
Kementerian Urusan Pengungsi Bangladesh mengatakan, kini Bhasan Char sudah siap dihuni sehingga relokasi warga Rohingya dimulai. Namun, pulau yang kini menjadi permukiman baru etnis Rohingya itu akan tetap menjadi masalah karena terpencil di tengah Samudra India.
Pulau-pulau di Teluk Benggala juga berbahaya karena alasan-alasan lain. Pelaku perdagangan manusia kerap berkumpul dan perompak berkeliaran di perairan Teluk Benggala. Warga Rohingya bisa menjadi sasaran empuk rantai perdagangan manusia karena jauh dari kontrol Dhaka.
Oleh karena itu pula, UNHCR siap mengevaluasi kondisi di Bhasan Char untuk memastikan aman dan bisa dihuni secara berkelanjutan. UNHCR siap ke sana bila diizinkan Pemerintah Bangladesh. Hampir pasti juga, pulau itu jauh dari kontrol media massa, tidak semudah di Cox’s Bazar.
Nasib warga Rohingya memang buruk dan dunia seperti kurang memihak mereka. Di Myanmar, mereka tidak diakui dan dianggap imigran gelap. Ribuan lainnya yang mencari suaka atau bermigrasi ke negara lain sering ditolak masuk, dan banyak yang mati di tengah laut dalam perjalanan.
Kekerasan ekstrem pada Agustus 2017 membuat eksodus massal, keluar dari Myanmar sehingga mengubah Cox’s Bazar menjadi pengungsian terbesar di dunia. Kini mereka mulai dibuang jauh dari Myanmar ke pulau terpencil yang rawan dan sulit dijangkau.