Pangeran Turki Kritik Keras Normalisasi Hubungan Arab-Israel
Pangeran Turki al-Faisal, salah satu anggota paling senior keluarga Kerajaan Arab Saudi, mengkritik keras normalisasi hubungan Bahrain dan UEA dengan Israel sebagai sebuah kesalahan karena tidak melibatkan Palestina.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
RIYADH, SENIN — Normalisasi hubungan Israel dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab bukan merupakan perdamaian yang utuh selama Palestina tidak menjadi bagian dari kesepakatan tersebut. Resep yang ditawarkan pemerintahan Presiden Donald Trump-Israel dan ditelan oleh Bahrain serta Uni Emirat Arab tidak akan bisa menyembuhkan luka dan sakit yang diderita oleh rakyat Palestina sebagai saudara bangsa Arab.
Kritik terhadap Israel dan para pengambil kebijakan normalisasi disampaikan seorang pangeran terkemuka Arab Saudi, Pangeran Turki al Faisal, saat berpidato dalam acara konferensi keamanan Dialog Manama (Manama Dialogue), Minggu (6/12/2020).
Turki membuka pidatonya dengan membandingkan apa yang dia gambarkan sebagai sebuah persepsi bahwa Israel merupakan penegak prinsip moral yang tinggi dan cinta damai. Namun, dalam kenyataannya, menurut Pangeran Turki, jutaan warga Palestina hidup dalam ruang hidup yang semakin sempit di bawah kekuasaan dan kendali Israel dan didukung oleh Amerika Serikat,
”Israel telah memenjarakan (Palestina) di kamp-kamp konsentrasi di bawah tuduhan keamanan yang dibuat-buat. Tua, muda, laki-laki, dan perempuan membusuk di sana tanpa memiliki akses pada sebuah keadilan. Mereka menghancurkan rumah sesuka mereka dan mereka membunuh siapa pun yang mereka inginkan,” kata Pangeran Turki.
Kritik keras ini disampaikan Pangeran Turki, mantan pemimpin Al Mukharabat Al ’Ammah, badan intelijen Arab Saudi, selama dua dekade (1979-2001) di hadapan para pejabat keamanan dan kementerian luar negeri sejumlah negara TImur Tengah, termasuk Israel. Bahrain menjadi tuan rumah konferensi yang berlangsung secara virtual ini.
Tidak hanya mengkritik soal kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik, Pangeran Turki juga mengkritik keengganan Pemerintah Israel mengumumkan kemampuan persenjataan nuklir Israel di satu sisi dan di sisi lain mendesak Iran untuk membuka serta melucuti pengembangan program nuklirnya. Pangeran Turki, yang juga merupakan mantan Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat, menuding bahwa Pemerintah Israel menggunakan tangan-tangan tak terlihat, melalui media dan kelompok pro-Israel, untuk merendahkan dan menjelekkan Arab Saudi.
Pangeran Turki kembali menegaskan soal posisi resmi Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang menilai bahwa solusi keamanan di wilayah Timur Tengah adalah pada penerapan Inisiatif Perdamaian Arab, kesepakatan yang disponsori Saudi tahun 2002, yang menawarkan hubungan penuh Israel dengan semua negara Arab sebagai imbalan kenegaraan Palestina di wilayah yang direbut Israel pada tahun 1967.
Pernyataan Pangeran Turki ditanggapi langsung Menteri Luar Negeri Israel Gabi Ashkenazi, yang mendapat giliran berbicara tepat sesudahnya.
”Tuduhan palsu dari perwakilan Saudi di Konferensi Manama tidak mencerminkan fakta atau semangat dan perubahan yang sedang dialami kawasan. Saya menolak ucapannya dan menekankan bahwa era ’permainan menyalahkan’ telah berakhir. Kami berada di awal era baru. Era perdamaian,” kata Ashkenazi.
Menlu Bahrain Abdullatif al-Zayani, tuan rumah, berusaha untuk meredakan ketegangan. Namun, dia juga menekankan pentingnya resolusi untuk konflik Palestina-Israel berdasarkan solusi dua negara, seperti yang direncanakan oleh Inisiatif Perdamaian Arab.
”Jalan damai bukanlah perjalanan yang mudah. Banyak kendala di sepanjang jalan. Akan ada pasang surut. Tapi, landasan dari jalan itu, jalan perdamaian, adalah masalah Israel-Palestina,” katanya. Namun, dalam isi nota kesepahaman damai antara UEA, Bahrain, dan Israel, masalah Palestina sendiri sama sekali tidak disinggung.
Bola di Palestina
Kesepakatan normalisasi hubungan Bahrain dan Uni Emirat Arab dengan Israel telah menggagalkan Prakarsa Perdamaian Arab 2002 yang disponsori oleh Arab Saudi. Substansi prakarsa itu adalah negara-negara Arab tidak akan menjalin hubungan dengan negara Yahudi itu sampai negara itu berdamai dengan Palestina, sebuah posisi yang diulangi Riyadh dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Ashkenazi, kesepakatan normalisasi hubungan seharusnya menjadi kesempatan bagi Palestina untuk menyelesaikan konflik.
”Perjanjian Abrahim tidak datang dengan mengorbankan Palestina. Justru sebaliknya, itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan," katanya sembari mendesak Palestina untuk kembali ke perundingan damai yang dibekukan pada 2014.
Dore Gold, mantan Dubes Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang hadir dalam konferensi tersebut, mengatakan, pernyataan yang disampaikan Pangeran Turki adalah tuduhan masa lalu dan banyak di antaranya salah.
Pangeran Turki yang juga sempat memimpin misi diplomatik Arab Saudi untuk Inggris dipandang memiliki pendirian yang mirip dengan Raja Salman. Namun, Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) memiliki kemampuan yang lebih besar untuk berhubungan dekat dengan Israel dan melanjutkan sikap konfrontatifnya terhadap Iran.
Hal ini terbukti dengan pertemuan rahasia Pangeran MBS dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang memicu spekulasi bahwa kesepakatan normalisasi dengan kekuatan tertinggi Teluk mungkin sedang dibuat. Sebuah hal yang dibantah oleh Riyadh.
Menlu Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan bahwa posisi kerajaan tetap tegas. ”Kami sudah cukup jelas bahwa agar kami dapat melanjutkan normalisasi, kami perlu melihat penyelesaian sengketa Palestina dan pembentukan negara Palestina yang layak sejalan dengan visi dalam Inisiatif Perdamaian Arab 2002,” katanya.
Ketika ditanya apakah ketegasan posisi itu secara efektif mengesampingkan pembentukan hubungan dengan Israel dalam waktu dekat, dia mengatakan ”optimistis bahwa ada jalan menuju resolusi antara Palestina dan Israel”. (AP/AFP)