Senasib (Tak) Sepenanggungan
Dunia bersatu mengembangkan vaksin Covid-19. Akan tetapi, setelah vaksin ada, dunia tercerai berai. Negara kaya menumpuk kebutuhan vaksinnya, menyisakan negara miskin dan berkembang di ujung akhir antrean.
Akhir tahun 2020 seperti menjadi awal yang baru bagi beberapa negara Barat dalam perang melawan pandemi Covid-19. Setelah kabar soal efikasi beberapa calon vaksin Covid-19 mengembuskan angin harapan, kini tidak lama lagi penduduk di negara-negara kaya akan menerima vaksin Covid-19.
Saat ini belum ada satu pun vaksin Covid-19 yang mendapat izin edar. Namun, Amerika Serikat diperkirakan menjadi negara yang pertama memberikan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19.
Persiapan distribusi pun dilakukan dengan melibatkan militer. Otoritas di negara bagian juga siap-siap menerima dan menyalurkannya ke fasilitas kesehatan. Skala prioritas pemberian vaksin juga sudah dirancang.
Aosiasi Manajer Imunisasi dan Asosiasi Petugas Kesehatan Negara Bagian dan Wilayah telah mengajukan anggaran kampanye vaksinasi Covid-19 kepada Kongres. Menurut mereka, negara bagian membutuhkan 8,4 miliar untuk merekrut dan melatih petugas tambahan. Sejauh ini mereka baru mendapat 340 juta dollar AS.
Baca juga : Distribusi Vaksin Covid-19 di Amerika Tak Mudah Dilakukan
CNN melaporkan, berdasarkan dokumen Operation Warp Speed yang mereka terima, Selasa (1/12/2020), pengiriman pertama vaksin Covid-19 dari Pfizer untuk Pemerintah AS akan dilakukan 15 Desember 2020 dan vaksin dari Moderna diperkirakan dikirim pada 22 Desember 2020.
Namun, tanggal itu bergantung pada keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) kapan memberikan persetujuan penggunaan kedua vaksin itu. Tak ada satu pun vaksin Covid-19 yang sudah mendapat izin edar di AS. Namun, Pfizer mengajukan permohonan penggunaan vaksin Covid-19 mereka untuk situasi darurat pada 20 November 2020 dan Moderna pada 30 November 2020.
Komite Penasihat Produk Vaksin dan Produk Biologis FDA, sebuah panel independen, akan rapat membahas data yang dimasukkan Pfizer pada 10 Desember 2020 dan membahas data vaksin Moderna pada 17 Desember 2020.
Rekomendasi yang panel hasilkan itu akan dibahas oleh FDA dan Komite Penasihat Imunisasi di Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) selama lebih kurang empat hari untuk menentukan prioritas pemberian vaksin.
Baca juga : AS Berencana Mulai Vaksinasi Massal Covid-19 Desember
Setelah otorisasi penggunaan darurat keluar, Pfizer dan Pemerintah AS berharap pengiriman vaksin bisa dilakukan dalam 24-48 jam. Namun, kemungkinan membutuhkan waktu beberapa minggu untuk memvaksin kelompok berisiko dan paling cepat enam bulan untuk memvaksin mayoritas warga AS.
Sementara otoritas kesehatan AS masih membahas permohonan penggunaan vaksin Covid-19 untuk keperluan darurat, Inggris justru menjadi negara Barat pertama yang menyetujui permohonan itu. Vaksin Covid-19 yang disetujui untuk dipakai ialah vaksin dari Pfizer/BioNTech yang memiliki efikasi 95 persen.
”Pertolongan dalam perjalanan,” ujar Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock.
”Kami yakin ini adalah awal dari akhir pandemi,” kata CEO BioNTech Ugur Sahin kepada CNN. Sementara CEO Pfizer Albert Bourla memuji otoritasasi ini sebagai ”momen bersejarah dalam perjuangan melawan Covid-19”.
Kepada BBC, Hancock menyebutkan bahwa 800.000 dosis awal vaksin Pfizer akan dikirim dari pabriknya di Belgia, pekan depan. Jumlah ini merupakan bagian dari 40 juta dosis yang sudah dipesan Inggris.
Simon Stevens, Direktur National Health Service (NHS) Inggris, mengatakan, pemberian vaksin Covid-19 akan dilakukan secara bertahap. Warga dengan faktor risiko tinggi akan divaksin pada Januari-Maret atau April.
Mulai pekan depan, sekitar 50 rumah sakit akan mulai menawarkan vaksin Covid-19 kepada warga lansia di atas 80 tahun dan pegawai rumah jompo. Setelah itu, sekitar 1.000 pusat vaksinasi lokal akan mulai beroperasi. Warga lansia dan pengurus panti jompo, tenaga medis, dan kelompok rentan lain akan menjadi prioritas pemberian vaksin Covid-19.
Ketimpangan akses
Terlepas dari dampaknya yang multidimensi, pandemi Covid-19 telah membawa para ilmuwan dunia berkolaborasi mengembangkan vaksin. Lembaga donor dan pemerintah pun menggelontorkan dananya untuk riset vaksin dan obat Covid-19 sehingga membuat proses pengembangan vaksin Covid-19 berjalan cepat.
Akan tetapi, setelah vaksin Covid-19 ada di ujung riset, perburuan vaksin Covid-19 oleh negara-negara kaya semakin menggila. Dengan kekuatan ekonominya, negara-negara kaya, seperti AS dan negara di Eropa, telah memesan di awal vaksin Covid-19. AS bahkan tidak bergabung dengan COVAX, sebuah mekanisme pengadaan vaksin Covid-19 global yang dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Gavi, dan Koalisi Inovasi untuk Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI).
COVAX bertujuan agar semua negara, baik kaya maupun miskin, memiliki akses yang setara terhadap vaksin Covid-19.
Baca juga : Berikan Kesetaraan Akses Vaksin pada Negara Miskin dan Berkembang
Studi yang dilakukan Duke Global Health Innovation Center di Durham, North Carolina, menunjukkan hasil yang mencengangkan. Pengembang vaksin Covid-19 yang telah memasuki tahap uji klinis fase III di seluruh dunia mampu memproduksi vaksin cukup untuk lebih dari sepertiga dari populasi dunia hingga akhir 2021. Akan Tetapi, banyak negara miskin dan berkembang yang terpaksa harus menunggu sampai 2023 atau 2024.
Seperti dikutip majalah Nature, 30 September 2020, Rasmus Bech Hansen, pimpinan eksekutif Airfinity, perusahaan analis pasar life-science yang berbasis di London, Inggris, mengatakan, total kapasitas produksi tiga pengembang vaksin Covid-19, yaitu Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca, sebanyak 5,3 miliar dosis di tahun 2021. Jumlah ini bisa untuk memvaksin 2,6-3,1 miliar penduduk dunia, bergantung pada vaksin AstraZeneca apakah diberikan dua dosis atau 1,5 dosis.
Selain itu, vaksin buatan Gamaleya National Center of Epidemiology and Microbiology di Moskwa, Rusia, bisa mencakup 500 juta orang lainnya di luar Rusia mulai tahun 2021.
Akan tetapi, mayoritas vaksin itu sudah jelas pemiliknya. Sebanyak 27 negara anggota Uni Eropa bersama dengan lima negara kaya lainnya telah memesan sekitar separuhnya. Kontrak pesanan mereka termasuk opsi untuk menambah jumlah vaksin yang dipesan. Padahal, negara ini hanya mencakup 13 persen populasi dunia.
Baca juga : Separuh Lebih Stok Vaksin Covid-19 Dikuasai Negara Kaya
Airfinity menghitung, jika kapasitas produksi dari enam calon vaksin lainnya turut diperhitungkan, total vaksin yang sudah dipesan sebanyak 7,4 miliar dosis dengan opsi tambahan pesanan sebanyak 2,9 miliar dosis.
Jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk, Kanada menjadi negara dengan jumlah dosis vaksin per kapita tertinggi di dunia, yakni sembilan dosis per orang. ”Ini gambaran yang menakutkan karena banyak negara yang tertinggal,” ujar Andrea Taylor dari Duke.
Produsen lokal di suatu negara juga turut menentukan ke mana produksi pertama vaksin Covid-19 dikirim. Contohnya, India telah mengamankan lebih dari dua miliar dosis vaksin. Ini terjadi sebagian karena kemampuan produksi yang dimiliki Serum Institute of India di Pune, produsen vaksin dengan kapasitas terbesar di dunia.
Bahkan, berdasarkan Duke University Launch and Speedometer per 20 November 2020, Pemerintah India menjadi lembaga pemerintah yang paling banyak mengamankan kebutuhan vaksinnya, yaitu 1,6 miliar dosis, disusul Uni Eropa (1,43 miliar dosis), dan AS (1 miliar dosis).
Akibatnya, tidak banyak calon vaksin Covid-19 yang tersedia bagi negara miskin dan berkembang. Mayoritas negara-negara ini bakal mengandalkan skema pengadaan global COVAX.
Mekanisme pengadaan yang sudah diikuti oleh lebih dari 189 negara—termasuk sejumlah negara maju—ini telah mengamankan 700 juta dosis vaksin Covid-19 hingga akhir 2021. Vaksin ini akan diberikan kepada setidaknya 20 persen populasi negara partisipan.
Baca juga : Dua Miliar Dollar AS untuk Pengadaan Vaksin Covid-19 bagi 92 Negara
Pada akhirnya negara kaya yang pesanan vaksinnya jauh melebihi kebutuhannya kemungkinan mendonasikan vaksinnya itu kepda COVAX. Namun, ini bukanlah tujuan dibentuknya COVAX, yaitu semua negara memiliki akses yang setara terhadap vaksin.
Pada 9 Juli 2020, Direktur WHO Regional Afrika Mathshidiso Moeti menyampaikan, ”Terlalu sering negara-negara Afrika berakhir di ujung belakang antrean atas teknologi baru, termasuk vaksin. Produk penyelamat nyawa ini harus tersedia buat semua orang, tidak cuma untuk mereka yang bisa membelinya.”
Mari lihat Afrika Selatan yang merupakan negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di Afrika (urutan ke-17 dunia) sekaligus negara yang relatif maju di Afrika. Afrika Selatan telah melaporkan 805.808 kasus Covid-19 dengan 21.963 kasus meninggal.
Meskipun menjadi lokasi uji klinis tiga calon vaksin Covid-19 termasuk dari Johnson & Johnson dan AstraZeneca/Oxford, Afrika Selatan belum memiliki rencana yang jelas soal bagaimana mereka mendapatkan vaksin dan seperti apa strategi vaksinasi yang akan dilakukan.
Bloomberg melaporkan, dengan anggaran 33 juta dollar AS, Afrika Selatan memang telah mengonfirmasi untuk bergabung dengan COVAX. Akan tetapi, di tahap awal, COVAX hanya akan menyediakan keperluan vaksin untuk tiga persen populasi Afrika Selatan yang mencapai 59 juta jiwa. Dalam jangka panjang, cakupan bisa meluas menjadi 10 persen.
”Yang membuat saya khawatir ialah jelas kurangnya komunikasi dari pemerintah,” ujar Francois Venter, Profesor Kedokteran University of Witwatersrand di Johannesburg sekaligus mantan anggota dewan penasihat kementerian gugus tugas Covid-19. ”Kami masih terduduk takut, tidak mengetahui apakah akan mendapatkan vaksin atau tidak.” (ADH)