Vaksin Covid-19 dikembangkan secara terkoordinasi sehingga sejumlah tahapan bisa berjalan paralel. Walakin, tidak berarti ada tahapan atau standar keamanan, kualitas, dan kemanjuran yang dilewatkan
Oleh
kris mada
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT - Organisasi Kesehatan Dunia mempertimbangkan sertifikasi digital sebagai cara mempercepat pendataan penerima vaksin Covid-19. Walakin, sertifikat itu bukan bukti sudah kebal Covid-19.
“Kami sangat dekat mempertimbangkan penggunaan teknologi dalam penanggulangan Covid-19 dan salah satunya adalah bagaimana kami bekerja sama dengan negara anggota tentang sertifikat vaksinasi digital,” kata pakar WHO, Siddhartha Datta, pada Kamis (3/12/2020) waktu Geneva atau Jumat dini hari WIB.
Dengan sertifikat itu, akan lebih mudah mengidentifikasi dan memantau orang-orang yang sudah divaksinasi. Kini, WHO masih masih membahas rencana itu dengan negara-negara anggota.
Meskipun demikian, pejabat senior WHO untuk urusan Tanggap Darurat Eropa Catherine Smallwood menegaskan bahwa sertifikat itu bukan paspor kekebalan. “Kami tidak merekomendasikan,” ujarnya.
Ide penggunaan paspor kekebalan dikenalkan oleh Estonia. Sejak awal 2020, Estonia mulai menggunakan aplikasi yang bisa menunjukkan bahwa penggunanya sudah punya antibodi terhadap Covid-19. Dengan demikian, pengguna bisa menyatakan bahwa mereka berisiko rendah menyebar virus Covid-19.
Sertifikat bukti vaksinasi mulai dibahas seiring keputusan sejumlah negara untuk segera memulai imunisasi. Dalam pernyataan pada Jumat (4/12/2020) Badan Pengawas Kesehatan Inggris (MHRA) kembali menjelaskan soal vaksinasi. Rabu lalu, MHRA memberi izin penggunaan darurat untuk vaksin Pfizer-BioNTech. MHRA menegaskan, pemberian izin sudah memenuhi seluruh standar keamanan. Pekan depan, Inggris akan memulai imunisasi massal.
“Semua vaksin harus melewati uji klinis yang luas dan sesuai standar internasional, dengan pengawasan dari MHRA. Tidak ada vaksin diizinkan beredar kecuali sudah memenuhi standara keamanan, kualitas, dan kemanjuran,” demikian pernyataan lembaga itu.
Pimpinan MHRA, June Raine, mengatakan bahwa tidak ada pemangkasan prosedur untuk pemberian izin penggunana vaksin Pfizer-BioNTech. MHRA bisa bergerak cepat karena mulai memeriksa data dari Pfizer-BioNTech kala proses uji coba sedang berlangsung. Lembaga itu tidak menanti seluruh rangkaian uji klinis selesai.
“Vaksin Covid-19, termasuk yang ini, dikembangkan secara terkoordinasi sehingga sejumlah tahapan bisa berjalan paralel untuk menyingkat waktu. Walakin, tidak berarti ada tahapan atau standar keamanan, kualitas, dan kemanjuran yang dilewatkan,” demikian pernyataan MHRA.
Keprihatinan PBB
Terpisah, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres kembali menyuarakan kegelisahan pada negara yang tidak mau mengikuti WHO dalam menangani pandemi Covid-19. Ia tidak menyebut secara jelas negara yang dimaksudkan.
“Sejak awal, WHO menyediakan informasi faktual dan panduan ilmiah yang seharusnya menjadi dasar bagi penanggulangan global. Sayangnya, sebagian rekomendasi tidak diikuti. Dalam situasi tertentu, ada penolakan terhadap fakta dan pengabaian terhadap panduan. Kala negara-negara jalan sendiri-sendiri, virus tersebar ke mana-mana,” tuturnya.
Ia juga kembali mendesak negara-negara maju memberi dana untuk penyediaan dan pengiriman vaksin bagi negara berkembang dan negara miskin. Dalam pertemuan G-20, negara pengendali 85 persen produk domestik bruto global, Guterres meminta 20 negara itu menyediakan 4,3 miliar dollar AS sebelum akhir 2020. Dana itu untuk menyediakan dan mengirimkan vaksin Covid-19 bagi negara miskin dan negara berkembang.
Sementara Menteri Luar Negeri China Wang Yi kembali menyuarakan agar vaksin Covid-19 menjadi barang milik bersama. Vaksin juga harus bisa terjangkau oleh negara berkembang. “Negara besar harus memberi contoh dalam mendorong kerja sama sebagai cara untuk maju,” ujarnya.
Seperti Guterres, Wang juga tidak menyebut negara tertentu. Sejauh ini, Amerika Serikat menyatakan keluar dari WHO dan menolak mendukung upaya WHO.
Menteri Kesehatan AS Alex Azar menyebut, ada negara yang tidak mau berbagai informasi. Akibatnya, dunia kini menanggung kehancuran. Sejak lama, Washington menuding Beijing menutupi informasi soal Covid-19. Beijing menyangkal tudingan itu.
Sementara Presiden Dewan Eropa Charles Michel mengatakan, dunia tetap tidak siap meski pandemic terus meningkat. Di sisi lain, pandemi Covid-19 juga menunjukkan percepatan pengembangan vaksin yang bisa dilakukan hanya dalam setahun.
Biasanya, pengembangan butuh 10 tahun. Hal itu dimungkinkan karena dunia bekerja sama dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ada mobilisasi besar-besaran yang melibatkan dunia usaha dan ilmuwan, sementara pemerintah menyediakan dana serta dukungan lain. (AP/REUTERS/AFP)