Beijing Tak Terima Disebut Ancaman bagi Demokrasi Global
Direktur Intelijen Nasional AS, John Ratcliffe, mengatakan dalam opininya di media AS, Wall Street Journal. Ia menyebutkan mata-mata China menggunakan tekanan ekonomi untuk mempengaruhi legislator AS.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
BEIJING, JUMAT – Pemerintah China pada Jumat (4/12/2020) mengecam pernyataan Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, John Ratcliffe yang menyebut China sebagai ancaman terbesar bagi demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia. Tidak terima dengan pernyataan itu, Beijing menyebut pernyataan otoritas AS itu sebagai sebuah kebohongan semata.
Perang kata-kata itu terjadi ketika hubungan antara kedua negara adidaya itu kembali berada di titik terendah dalam beberapa dekade. Terbaru pada pekan ini Washington meluncurkan kebijakan pembatasan perjalanan untuk anggota Partai Komunis China. Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump, juga memblokade produk kapas dan semua turunan katun China. Presiden terpilih AS dari Demokrat, Joe Biden, juga memberikan sinyal tetap akan mempertahankan kebijakan perdagangan Trump dengan Beijing. Biden minimal disebut tetap akan melanjutkan kesepakatan tahap satu dalam kondisi perang dagang antara AS-China.
Direktur Intelijen Nasional AS, John Ratcliffe, mengatakan dalam opininya di media AS, Wall Street Journal, Kamis (3/12), bahwa mata-mata China menggunakan tekanan ekonomi untuk mempengaruhi atau melemahkan legislator AS. "Republik Rakyat China merupakan ancaman terbesar bagi Amerika saat ini dan ancaman terbesar bagi demokrasi dan kebebasan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II," tulisnya.
Beijing pun membalas dengan kemarahan. Hal itu disampaikan lewat juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, di Beijing. "[Ratcliffe] hanya terus mengulangi kebohongan dan desas-desus untuk memfitnah dan mendiskreditkan China, dan secara sembrono mempermainkan ancaman China," kata Hua. "Saya pikir ini adalah satu lagi kebohongan yang dibuat-buat oleh pemerintah AS akhir-akhir ini." Hua juga menuduh AS "terlibat dalam pola pikir Perang Dingin, menganjurkan persaingan kekuatan besar, dan secara sembrono memperluas persenjataan senjata nuklirnya".
Hubungan kedua negara diwarnai ketegangan dan cenderung memburuk ketika AS berada di bawah masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu telah bersitegang dalam aneka hal dan bidang, antara lain terkait asal-muasal virus Covid-19, persaingan perdagangan dan teknologi, isu spionase, hak asasi manusia, dan kebebasan media. Hubungan kedua negara diwarnai ketegangan dan cenderung memburuk ketika AS berada di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
Washington telah berulang kali menekankan bahwa China adalah ancaman besar bagi keamanan nasional dan nilai-nilai demokrasi Barat. Sebaliknya, China menuduh AS berusaha menahan kebangkitan Beijing melalui cara-cara yang melanggar hukum. Kelindan dua hal itu terus mewujud lewat aksi saling balas tuduhan dan pernyataan.
Di bawah aturan perjalanan AS yang baru, visa yang dikeluarkan untuk anggota Partai Komunis China (PKC) dan keluarga dekat mereka hanya akan tetap berlaku selama satu bulan. Selain itu, visa yang diberikan itu pun hanya berlaku untuk satu kali masuk. Sebelumnya beberapa visa dikeluarkan dengan izin masuk tanpa batas dan dapat tetap berlaku selama 10 tahun.
Di bidang perdagangan, hanya beberapa hari setelah memasukkan empat perusahaan China dalam daftar hitam, AS kembali menekan. Washington, Rabu (2/12) memutuskan memblokade produk kapas dari ”Negeri Tirai Bambu” itu masuk ke pasar AS. Pemblokadean itu tidak terlepas dari tudingan Washington bahwa Beijing telah bertindak keras terhadap minoritas Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, China.
Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (Custom and Border Patrol/CBP) AS mengeluarkan perintah penghentian impor produk kapas dan turunan katun dari perusahaan kuasi militer, Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC). Perusahaan-perusahaan AS yang ingin mengimpor barang-barang produksi XPCC harus membuktikan bahwa para pekerja yang terlibat dalam proses produksi - khususnya warga minoritas Uighur dan etnis minoritas lainnya - bukanlah korban kerja paksa.
Pada Juli lalu AS menutup konsulat China di Houston. Washington menyebutnya sebagai pusat spionase dan pelecehan terhadap warga negara China di AS. Beijing pun langsung membalas dengan perintah pada AS untuk mengosongkan konsulatnya di Chengdu. Hua menyerukan pada AS untuk "berhenti merusak hubungan AS-China dan rasa saling percaya dan kerja sama AS-China". (AFP)