Gerakan Kaum Inteligensia di Kawasan Arab Teluk
Kaum inteligensia di Arab Teluk berperan besar memimpin gerakan reformasi pendidikan, ekonomi, dan birokrasi selama dua dekade terakhir di kawasan itu. Mereka juga berperan di balik reformasi politik meski terbatas.
Kini mulai menggeliat gerakan atau proyek di kawasan Arab Teluk yang sangat menuntut kemampuan inteligensia tinggi di kawasan tersebut.
Misalnya, Arab Saudi mendeklarasikan secara resmi memasuki era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bersamaan dengan digelarnya konferensi puncak global tentang kecerdasan buatan atau GAIS (Global Artificial Intelligence Summit) di Riyadh pada 21-22 Oktober 2020.
Sementara, Uni Emirat Arab (UEA) sukses meluncurkan misi luar angkasa pertamanya ke Mars pada 19 Juli 2020. Peluncuran ini menandai dimulainya proyek paling ambisius negara Arab tersebut yang bertujuan meneliti cuaca Mars.
Keberhasilan UEA meluncurkan misi luar angkasa dan deklarasi Arab Saudi secara resmi memasuki era kecerdasan buatan itu menunjukkan keberhasilan luar biasa pembangunan sumber daya manusia yang melahirkan kaum inteligensia baru di kawasan Arab Teluk.
Padahal, kawasan Arab Teluk beberapa dekade lalu adalah kawasan paling terbelakang dibandingkan kawasan Arab lain, seperti kawasan Maghrib Arab, Mesir, Lebanon, Suriah, dan Irak. Pada beberapa dekade lalu, banyak putra-putri negara-negara Arab Teluk belajar ke Mesir, Irak, Lebanon, dan Suriah untuk menempuh pendidikan.
Mereka lalu tidak hanya membawa ilmu dari Mesir, Irak, Lebanon, dan Suriah, tetapi juga mengusung budaya dan aliran politik yang berkembang di negara-negara tersebut ke kawasan Arab Teluk. Aliran gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dan gerakan sosialis Nasserisme yang berkembang di Mesir sudah merambah ke kawasan Arab Teluk pada 1950-an dan 1960-an. Aliran IM dan Nasserisme itu dibawa dan diperkenalkan putra-putra negara-negara Arab Teluk yang belajar di Mesir.
Demikian juga aliran sosialis Baath yang berkembang di Suriah dan Irak sudah merambah pula ke negara-negara Arab Teluk pada 1960-an. Aliran ideologi sosialis Baath itu dibawa oleh putra-putra negara Arab Teluk yang belajar di Suriah dan Irak. Maka pada 1960-an, model budaya dan politik yang berkembang di Mesir, Irak, dan Suriah cukup populer di kawasan Arab Teluk meskipun pengaruhnya tidak besar.
Baca juga: Arab Saudi Merancang Teknologi Kecerdasan Buatan sebagai Pengganti Minyak
Sistem monarki mutlak yang tidak mengizinkan berdirinya partai-partai politik dan aliran-aliran politik di kawasan Arab Teluk membuat aliran-aliran politik dari Mesir, Irak, dan Suriah tidak berkembang pesat di kawasan tersebut. Aliran-aliran politik itu hanya menjadi kajian di kampus-kampus atau di forum-forum sosial secara terbatas.
Hanya di Kuwait yang mengizinkan berdirinya partai-partai politik, membuka peluang aliran IM, Nasserisme, dan sosialisme Baath berwujud dalam bentuk ideologi partai-partai politik.
Akan tetapi, kini keadaan berbalik. Kawasan Arab Teluk justru jauh lebih maju dibandingkan kawasan Arab lain. Faktor booming minyak yang ditandai dengan melonjaknya harga minyak pada awal 1970-an disebut menjadi titik balik sejarah Arab Teluk menuju kawasan maju sehingga meninggalkan kawasan Arab lain.
Setelah booming minyak, negara-negara Arab Teluk mengurangi berkiblat ke Mesir, Irak, Irak, dan Lebanon, tetapi lebih condong ke negara-negara Barat.
Rezeki nomplok yang dinikmati negara-negara Arab Teluk dari melonjaknya harga minyak itu diberdayakan secara baik untuk investasi di bidang pendidikan secara besar-besaran. Berbagai lembaga pendidikan menengah hingga perguruan tinggi yang modern dibangun secara masif di negara-negara Arab Teluk sejak awal 1970-an.
Di UEA, kini banyak terdapat perguruan tinggi yang berafiliasi ke Barat, seperti Universitas Amerika di Sharjah, Universitas Sorbonne di Abu Dhabi, European International College, New York University di Abu Dhabi, American College of Dubai, British University di Dubai, dan Canadian University di Dubai.
Baca juga: Kisah Liberalisme di Kawasan Arab Teluk
Di Arab Saudi, terdapat King Fahd University of Petroleum and Mineral, King Saud University, King Abdullah University of Science and Technology. Di Qatar, terdapat Georgetown University in Qatar, Texas A&M University, University of Calgary Qatar, Virginia Commonwealth University, Qatar University, dan College of North Atlantic.
Adapun di Kuwait terdapat American University of Kuwait, American International University of Kuwait, American University of The Middle East, Australian College of Kuwait, dan American College of The Middle East.
Negara-negara Arab Teluk mendatangkan guru dan dosen dalam jumlah besar dari Eropa dan Amerika Serikat dengan bayaran fantastis berkat rezeki dari minyak. Dosen dari Mesir, Irak, Jordania, Suriah, dan Lebanon serta jebolan negara-negara Barat juga didatangkan ke negara-negara Arab Teluk. Guru dan dosen asing tersebut mengajar di berbagai perguruan tinggi yang mereka bangun itu.
Putra-putri negara-negara Arab Teluk mulai dikirim pula secara masif untuk mengenyam pendidikan tinggi di Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada.
Berbagai perguruan tinggi yang dibangun tersebut kemudian melahirkan kaum inteligensia atau kaum cerdik pandai di kawasan Arab Teluk. Demikian juga putra-putri kawasan Arab Teluk jebolan Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada turut meramaikan barisan kaum inteligensia di kawasan itu.
Kaum inteligensia itu kemudian menjadi kaum kelas elite baru di berbagai bidang, baik pendidikan, ekonomi, dan birokrasi di kawasan Arab Teluk. Secara latar belakang sosial, sebagian besar berasal dari keluarga kelas menengah dan kelas menengah bawah, bukan dari keluarga penguasa (raja atau emir) di kawasan Arab Teluk.
Baca juga: Kisah Kaum Perempuan Arab Saudi Bebas dari Belenggu
Berkat pendidikan modern yang mereka peroleh, baik di dalam negeri maupun luar negeri, mengantarkan mereka naik kelas secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Kaum inteligensia itu lalu mendapat akses langsung atau minimal mendapat kemudahan akses untuk berinteraksi langsung dengan penguasa. Tidak sedikit dari kaum inteligensia tersebut menjadi penasihat raja atau emir.
Kemudian, terjadi semacam kolaborasi dan kemitraan antara kaum inteligensia baru itu dengan para penguasa sehingga terbangun negara-negara Arab Teluk yang cukup maju saat ini. Kaum inteligensia tersebut yang menggalang dan memimpin gerakan reformasi di sektor pendidikan, ekonomi, dan birokrasi selama dua dekade terakhir ini. Bahkan mereka juga berperan di balik adanya reformasi politik, meskipun sangat terbatas, di negara-negara Arab Teluk.
Majelis Syura di Arab Saudi, meskipun fungsinya sebatas memberi konsultasi kepada raja dan anggotanya dipilih oleh raja, anggotanya terus ditambah hingga mencapai 150 orang saat ini. Sebagian besar anggotanya kini berasal dari kaum inteligensia dari berbagai profesi.
Qatar juga membentuk dewan legislatif dengan 45 anggota dan 30 anggota di antaranya dipilih melalui pemilu, sementara 15 anggota ditunjuk oleh emir Qatar. Sebagian besar anggota dewan legislatif Qatar berasal dari kaum inteligensia negara itu. UEA juga memiliki dewan legislatif yang disebut Dewan Federal Nasional (FNC) dengan 40 anggota yang dipilih dari tujuh wilayah emirat di UEA.
Oman dan Bahrain juga memiliki dewan legislatif meskipun dengan wewenang terbatas. Hanya dewan legislatif di Kuwait yang memiliki wewenang luas, seperti halnya dewan legislatif atau parlemen di negara demokrasi.
Kehadiran dewan legislatif di negara-negara Arab Teluk tak lepas dari peran kaum inteligensia di kawasan itu.