Militer AS tetap akan melanjutkan dua misi inti di Afghanistan, yakni membantu pasukan keamanan negara itu yang terkunci dalam konflik dengan gerilyawan Taliban dan melakukan operasi kontraterorisme.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Departemen Pertahanan Amerika Serikat tetap bakal mempertahankan dua pangkalan militernya di Afghanistan di tengah rencana penarikan pasukannya dari negara itu. Demi kepentingan itu, Pentagon akan menyisakan kekuatan militernya sekitar 2.500 tentara setelah 15 Januari sebagai batas akhir penarikan pasukan dari posisi 4.500 personel saat ini.
Keputusan memangkas jumlah pasukan militer AS di Afghanistan diambil Pemerintah AS sesuai kekalahan Presiden Donald Trump. Wacana pengurangan itu sudah beberapa kali disampaikan Trump sebelumnya. Dengan kekalahan Trump dari presiden terpilih Joe Biden, aneka pertanyaan pun menyeruak tentang keberadaan pasukan AS di Afghanistan ataupun masa depan misi militer AS pasca-Trump.
Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Angkatan Darat Mark Milley memberikan perincian pertama tentang penarikan tersebut di acara yang diselenggarakan oleh lembaga pemikir Brookings Institution, Rabu (2/12/2020). Dia mengatakan bahwa selain dua pangkalan militernya, AS juga akan mempertahankan beberapa pangkalan satelit di Afghanistan.
Dia menegaskan, militer AS juga akan melanjutkan dua misi intinya, yakni membantu pasukan keamanan Afghanistan yang terkunci dalam konflik dengan gerilyawan Taliban serta melakukan operasi kontraterorisme melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Al Qaeda.
Namun, Milley tidak mengungkapkan pangkalan mana di Afghanistan yang akan ditutup. Ia menolak menjelaskan, sisi kemampuan apa yang akan hilang ketika AS memindahkan atau memulangkan 2.000 tentara dari negara itu. Dia juga menolak untuk berspekulasi tentang apa yang mungkin diputuskan oleh presiden terpilih Joe Biden. ”Apa yang terjadi setelah itu, itu tergantung pada pemerintahan baru,” kata Milley.
Dia juga menolak untuk berspekulasi tentang apa yang mungkin diputuskan oleh presiden terpilih Joe Biden. ’Apa yang terjadi setelah itu, itu tergantung pada pemerintahan baru.’
Menengok ke belakang, Milley mengatakan, AS telah ”mencapai sedikit keberhasilan” di Afghanistan. Dia menekankan pentingnya pembicaraan damai, bahkan ketika dia mengakui bahwa gagasan untuk duduk bersama perwakilan Taliban itu tidak menyenangkan bagi sebagian orang. ”Namun, itu sebenarnya cara paling umum untuk mengakhiri pemberontakan, yakni melalui penyelesaian negosiasi pembagian kekuasaan,” katanya.
Taliban digulingkan dari kekuasaannya pada tahun 2001 oleh pasukan pimpinan AS karena menolak untuk menyerahkan pendiri Al Qaeda, Osama bin Laden. Osama dinilai AS sebagai arsitek serangan 11 September atas Menara Kembar World Trade Center di AS. Pemerintah yang didukung AS telah memegang kekuasaan di Afghanistan sejak saat itu meskipun Taliban memiliki kendali atas wilayah yang luas di negara tersebut.
Saat AS bersiap untuk menarik lebih banyak pasukan, Pemerintah Afghanistan yang didukung AS dan perwakilan Taliban mencapai kesepakatan awal pada Rabu. Para pihak itu bersepakat untuk melanjutkan pembicaraan damai. Hal itu menjadi perjanjian tertulis pertama mereka dalam perang yang telah berkecamuk selama 19 tahun terakhir. Milley mengungkapkan, selama ini para pihak seperti menemui jalan buntu, dengan tidak ada pihak yang mampu mengalahkan yang lain di medan perang.
Perjanjian tersebut menjabarkan jalan ke depan untuk negosiasi lebih lanjut. Perjanjian itu dinilai sebagai terobosan karena akan memungkinkan negosiator untuk beralih ke masalah yang lebih substantif, termasuk di antaranya pembicaraan tentang gencatan senjata, bahkan ketika serangan Taliban terhadap pasukan Pemerintah Afghanistan terus berlanjut.
”Prosedur, termasuk pembukaan negosiasi, telah diselesaikan dan mulai sekarang, negosiasi akan dimasukkan dalam agenda,” kata Nader Nadery, anggota tim negosiasi Pemerintah Afghanistan. Juru bicara Taliban mengonfirmasi kesepakatan tersebut melalui media sosial Twitter. ”Sebuah komite kerja bersama ditugaskan untuk menyiapkan rancangan topik untuk agenda (pembicaraan damai),” demikian pernyataan bersama dari kedua belah pihak.
Kesepakatan itu muncul setelah pembicaraan berbulan-bulan di Doha, ibu kota Qatar, yang didorong oleh AS meskipun kekerasan terus berlangsung di Afghanistan. Gencatan senjata tetap menjadi permintaan paling mendesak dari seluruh pihak, baik di dalam maupun luar Afghanistan. Kubu Taliban menolak usulan selama tahap awal pembicaraan.
”(Perjanjian) Adalah langkah maju untuk memulai negosiasi tentang masalah-masalah utama, termasuk gencatan senjata yang komprehensif sebagai tuntutan utama rakyat Afghanistan,” kata juru bicara Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, Sediq Sediqqi, di Twitter, mengutip pemimpin Afghanistan itu.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo memberi selamat kepada kedua belah pihak atas ”ketekunan dan kemauan untuk menemukan kesamaan”. Ia juga menambahkan bahwa AS akan ”bekerja keras dengan semua pihak dalam mengejar pengurangan serius kekerasan dan mewujudkan gencatan senjata”.
Perwakilan Khusus AS untuk Rekonsiliasi Afghanistan, Zalmay Khalilzad, mengatakan bahwa kedua pihak telah menyetujui ”perjanjian tiga halaman yang mengatur aturan dan prosedur untuk negosiasi mereka pada peta jalan politik dan gencatan senjata yang komprehensif”. ”Kesepakatan ini menunjukkan bahwa pihak yang bernegosiasi dapat menyetujui masalah-masalah sulit,” kata Khalilzad. (AFP/REUTERS)