Hubungan Australia-China memburuk karena Beijing merasa dipojokkan Canberra dalam sejumlah isu. Beijing membalas dengan menaikkan tarif bea masuk aneka produk bernilai ratusan miliar dollar AS dari Australia.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
CANBERRA, SELASA — Hubungan Australia-China semakin memburuk selepas unggahan gambar rekayasa oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian. Gambar itu diunggah beberapa hari selepas China menaikkan bea masuk impor anggur Australia hingga 200 persen.
Zhao mengunggah gambar itu pada Senin (30/11/2020). Dalam gambar itu terlihat seorang tentara yang pada bajunya ada bendera Australia membunuh seorang anak yang memegang domba. Perdana Menteri Australia Scott Morrison menuntut gambar itu dihapus dan Beijing meminta maaf. Canberra juga meminta Twitter menghapus unggahan itu.
Dalam pernyataan pada Selasa (1/12/2020), Beijing menolak menghapus gambar yang memicu kemarahan Canberra itu. Sementara Zhao menandai cuitan itu sehingga berada di tempat teratas dari daftar cuitan Zhao.
Sementara Kedutaan Besar China di Canberra menyebut, kemarahan Canberra hanya pengalih dari masalah sebenarnya. Beberapa hari lalu, Australia mengakui sejumlah tentaranya bersalah dalam kejahatan perang di Afghanistan.
Sebelum perselisihan ini, hubungan Australia-China memburuk karena Beijing merasa dipojokkan Canberra dalam sejumlah isu. Australia mendesak penyelidikan internasional membuktikan Covid-19 berasal dari China. Canberra juga terus menuding Beijing melanggar hak asasi manusia dan memberangus kebebasan, terutama di Xinjiang dan Hong Kong.
Australia pun bergabung dengan sejumlah negara dalam menolak klaim China atas sebagian perairan di Laut China Selatan. Bahkan, Australia mengerahkan kapal perang dan pesawat tempur untuk berlatih di sekitar China.
Manuver terbaru Canberra adalah rancangan undang-undang yang memberi pemerintah federal kewenangan meninjau ulang kerja sama pemerintah negara bagian, pemerintah daerah, dan lembaga lain di Australia dengan pihak asing. Pemerintah federal bisa memutuskan kerja sama yang dinilai membahayakan keamanan nasional Australia. RUU itu dinilai untuk menyasar sejumlah kerja sama Beijing dengan beberapa pemerintah negara bagian, pemerintah daerah, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi di Australia.
Balasan China
Sebagai balasan atas manuver Australia, China melancarkan perang dagang. Tindakan China berpotensi merugikan Australia melebihi 100 miliar dollar AS per tahun. China menaikkan bea masuk impor aneka produk dari Australia. Akibatnya, produk dari Australia bisa kalah saing di China. Beijing juga menghentikan impor sejumlah hasil tambang dari Australia.
Bahkan, Beijing mendesak warganya tidak pesiar atau belajar di Australia. Padahal, pelajar dan pelancong China menempati porsi terbesar dalam daftar pelawat dan pelajar asing di Australia.
”Terserah kepada Australia untuk memulihkan hubungan kedua negara,” demikian pernyataan Kedutaan Besar China di Canberra.
Organisasi Kerja Sama EKonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut, upaya Australia untuk memulihkan diri dari dampak Covid-19 bisa terdampak oleh buruknya hubungan dengan China. OECD menyebut, peningkatan ketegangan dengan China bisa melemahkan ekspor Australia.
Neraca dagang kuartal III Australia sudah mencerminkan dampak buruk itu. Surplus perdagangan Australia terpangkas 39 persen. Ekspor batubara terpangkas paling banyak 41 persen.
Belasan kapal pengangkut batu bara bernilai 700 juta dollar AS kini terdampar. Sebab, Beijing melarang kapal-kapal pengangkut batubara Australia itu masuk China. ”Penurunan dampak ekspor antara lain karena sanksi dagang dari China,” kata ekonom BIS Oxford Economics, Sarah Hunter. (AP/REUTERS)