Twitter menangguhkan akun-akun kelompok pro monarki yang dinilai tidak orisinil serta menyebarkan misinformasi, disinformasi hingga menyerang kelompok pro demokrasi. Akun-akun ini disinyalir digerakkan militer.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BANGKOK, SENIN – Twitter menangguhkan akun-akun pro-monarki Thailand yang dinilai melakukan kampanye terancang dan terkoordinasi untuk menyebarkan misinformasi dan disinformasi, memperkuat pesan kelompok pro-monarki untuk melawan gerakan protes para aktivis pro-demokrasi dan pelajar atau mahasiswa. Akun-akun tersebut diyakini digerakkan tidak hanya warga sipil yang pro-monarki, tapi juga oleh militer Thailand.
"Akun yang dipermasalahkan ditangguhkan karena melanggar aturan kami tentang spam dan manipulasi platform," kata seorang perwakilan Twitter, Minggu (29/11). Dia mengatakan penangguhan itu sejalan dengan kebijakan perusahaan.
Selama beberapa waktu terakhir, Reuters menemukan puluhan ribu cuitan yang mengamplifikasi atau memperkuat pesan kelompok pro-monarki untuk melawan gerakan protes kelompok pro-demokrasi. Salah satu akun utama kelompok pro-monarki dan kini telah ditangguhkan oleh Twitter adalah akun @jitarsa_school. Akun yang baru dibuat pada bulan September 2020 ini dalam waktu singkat telah memiliki 48.000 pengikut.
Profil akun tersebut menyatakan kalau pengelolanya melatih orang untuk program relawan kerajaan, yang dijalankan oleh kantor kerajaan. Halaman media sosial Royal Volunteers School yang sering mengunggah berbagai kegiatan keluarga kerajaan, termasuk program “Volunteer Spirit 904” yang dibuat untuk mengembangkan kesetiaan terhadap raja dan keluarga kerajaan, maupun video pro-monarki, telah mengidentifikasi akun Twitter @jitarsa_school sebagai miliknya.
Walau tidak secara langsung memiliki kaitan dengan akun @jitarsa_school, berdasarkan analisis dokumen militer setebal 28 halaman yang diperoleh Reuters menunjukkan adanya sebuah operasi non-militer secara terorganisir untuk menargetkan lawan dan menyebarkan pesan pro-monarki di Twitter.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa terdapat 17.562 akun Twitter yang dijalankan 9742 perwira militer untuk mengikuti satu sama lain, mencuit dengan tagar terkoordinasi, untuk saling menyukai, dan mencuit ulang. Dokumen itu juga menyarankan langkah yang harus ditempuh para pemegang akun agar akun yang dikelola terlihat seperti akun asli.
Militer Thaiand mengakui bahwa dokumen yang didapat oleh Reuters adalah dokumen asli. Dalam pernyataan yang diunggah di laman Facebook mereka, militer Thailand menyebutkan bahwa dokumen itu digunakan dalam sesi pelatihan untuk memperkuat hubungan militer dan masyarakat sipil.
Sebelumnya, pada Oktober lalu, Twitter mengumumkan telah menghapus 926 akun yang terkait militer Thailand karena melanggar kebijakan manipulasi platform dengan memperkuat konten pro-pemerintah dan menargetkan tokoh-tokoh oposisi politik. Pada saat itu militer membantah akun-akun tersebut adalah milik pejabat militer.
Parit "Penguin" Chiwarak, salah satu pemimpin protes, menyambut baik keputusan Twitter menangguhkan akun-akun pro-monarki.
Manajemen sekolah maupun markas besar relawan kerajaan tidak menanggapi permintaan komentar terkait penangguhan akun milik mereka oleh Twitter. Pihak istana juga tidak menangapi permintaan komentar.
Perang Tagar
Para pengunjuk rasa pro-demokrasi dan kelompok pro-monarki menyadari pentingnya media sosial untuk mendorong gerakan massa, sebuah tantangan bagi pemerintah Thailand yang dipimpin mantan militer, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha maupun Raja Maha Vajiralongkorn serta keluarganya. Peperangan untuk mengubah persepsi publik, rakyat Thailand, tidak hanya berlangsung di jalanan tapi juga di dunia maya, melalui berbagai platform media sosial.
Dalam beberapa pekan terakhir, tagar yang digaungkan kelompok pro-monarki mulai menjadi topik hangat (trending topic) di Twitter, platform penting bagi kelompok pro-demorasi untuk menyuarakan gugatan mereka atas pemerintah.
Analisis Ruters menemukan bahwa 80 persen pengikut akun @jitarsa_school juga baru dibuat pada awal September. Sekitar 4600 akun pengikut @jitarsa_school yang baru-baru ini dibuat menunjukkan bahwa tindakan yang mereka lakukan hanyalah mempromosikan, dalam bentuk mencuit ulang atau retweet, tagar yang dibuat oleh kelompok pro-monarki. Ini adalah salah satu indikasi jenis aktivitas yang tidak akan dilakukan oleh para pengguna atau pemilik akun Twitter biasa.
Konsultan media sosial Drone Emprit dari Indonesia, yang melakukan analisis data bagi Reuters, menyatakan, sampel 559 retweet (atau mencuit ulang) dari akun tersebut hampir semuanya memiliki karakteristik sebagai akun bot.
Tagar yang dipromosikan oleh akun yang ditangguhkan, biasanya di samping foto raja dan bangsawan lainnya, termasuk yang diterjemahkan sebagai: #StopViolatingTheMonarchy, #ProtectTheMonarchy, #WeLoveTheMotherOfTheLand, #WeLoveTheMonarchy, dan #MinionsLoveTheMonarchy.
Saijai Liangpunsakul, analis dari kelompok Pemantau Media Sosial Independen untuk Perdamaian mengatakan pembuatan akun-akun baru yang terindikasi sebagai akun bot adalah bagian dari upaya pemerinta untuk melawan para aktivis pro-demokrasi. Dia mengatakan, Twitter memang telah menangguhkan dan menghapus beberapa akun. Tapi, jumlah akun yang masih aktif, masih sangat banyak.
Pemimpin kelompok royalis Warong Dechgitvigrom menolak mengomentari penangguhan akun tersebut. Dia mengaku bahwa dirinya tidak menyadari bahwa akun tersebut ditangguhkan.
Namun, dia mengatakan, masyarakat yang setia pada raja dan keluarga kerajaan semakin banyak yang bergabung di Twitter karena sadar bahwa mereka juga harus bersikap terhadap pesan-pesan yang dikirimkan kelompok pro-demokrasi. Dia juga menyatakan bahwa pesan yang dikirimkan oleh kelompok pro-monarki bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. "Tagar pro-monarki adalah asli, lahir dari perasaan yang sebenarnya," katanya. (Reuters)