Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendapatan minyak tidak mampu memenuhi kebutuhan gaji dan subsidi yang sudah membengkak di Kuwait, salah satu negara terkaya di dunia, sejak tahun 2006.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Segera setelah pemerintah mencabut kebijakan karantina yang sudah berlaku selama berbulan-bulan, ratusan warga Kuwait berbondong-bondong mendatangi pertokoan. Ada toko yang calon pembelinya sampai mengantre mengular ke luar toko. Berbeda dengan warga dunia lain yang mengantre bantuan makanan, ratusan warga Kuwait itu mengantre hendak membeli perhiasan Cartier.
Ini bukan gambaran kesejahteraan, melainkan justru akan menjadi bencana keuangan. Bagaimana tidak, Kuwait—salah satu negara terkaya di dunia—kini tengah menghadapi krisis utang. Pandemi Covid-19 membuat harga minyak anjlok ke posisi terendah sepanjang masa. Padahal, minyak itulah sumber utama pendapatan Kuwait.
”Pandemi Covid-19, harga minyak anjlok, dan krisis likuiditas. Ketiganya menciptakan topan yang luar biasa,” kata Bader al-Saif, Asisten Profesor Ilmu Sejarah di Kuwait University.
Kondisi keuangan Kuwait goyang karena, seperti negara Teluk lainnya, selama ini menyediakan pekerjaan yang nyaman bagi sekitar 90 persen dari 4,4 juta warganya. Gaji mereka ditanggung pemerintah. Mereka dijamin pemerintah dengan berbagai subsidi, mulai dari listrik, harga bensin murah, hingga perawatan kesehatan dan pendidikan gratis.
Karena krisis keuangan ini, lembaga pemeringkat Moody menurunkan peringkat Kuwait untuk pertama kalinya dalam sejarah. Kementerian Keuangan Kuwait sudah memperingatkan, pemerintah tidak sanggup lagi membayar gaji pegawai. Bank nasional Kuwait menyebut defisit negara itu bisa mencapai 40 persen dari produk domestik bruto tahun ini. Ini angka defisit tertinggi sejak krisis finansial akibat invasi Irak tahun 1990 dan Perang Teluk.
Dengan harga minyak mentah hanya sekitar 40 dollar AS per barel, negara-negara Arab lainnya terpaksa berutang, memotong subsidi atau mengenakan pajak pada rakyat untuk menopang pengeluaran. Namun, Kuwait tidak melakukan semua itu. Keuangan Kuwait tertekan karena harga impas untuk anggaran tahun ini adalah 86 dollar AS per barel, dua kali lipat angka penjualan saat ini.
Meski dalam kondisi terjepit, Kuwait belum akan meminta bantuan pada komunitas internasional dalam waktu dekat. Menurut Institut Dana Kekayaan Negara yang berbasis di Las Vegas, AS, Otoritas Investasi Kuwait masih mempunyai aset 533 miliar dollar AS, dana terbesar keempat di dunia.
Masalahnya, Kuwait tidak memiliki kerangka hukum untuk membelanjakan uang—demi mengatasi defisit—melebihi batas yang sudah ditentukan saat ini, yakni sebesar 33 miliar dollar AS. Untuk bisa menggunakan anggaran itu, dibutuhkan persetujuan dari parlemen agar mengesahkan kerangka hukumnya atau rancangan undang-undang utang publik yang sudah lama ditunggu-tunggu.
RUU utang publik ini akan memungkinkan pemerintah meminjam hingga 65 miliar dollar AS untuk meringankan krisis. Namun, mengumpulkan miliaran dollar tetap menjadi masalah pelik bagi pemerintah di negara yang senantiasa digoyang skandal korupsi di jajaran pejabat tinggi. Kecurigaan masyarakat akan skandal korupsi dan kesalahan manajemen pemerintah tumbuh seiring dengan krisis likuiditas Kuwait.
Pengesahan RUU itu akan menjadi tantangan legislatif pertama bagi emir baru Kuwait, Sheikh Nawaf Al Ahmad Al Sabah. Sheikh Nawaf naik takhta, September lalu, setelah kematian Sheikh Sabah Al Ahmad Al Sabah dalam usia 91 tahun. Ia adalah diplomat berpengalaman yang selama 14 tahun berhasil membuat negara kecilnya menjadi mediator yang disegani di kawasan regional.
Anggota parlemen yang baru setelah pemilu parlemen, 5 Desember mendatang, akan memutuskan nasib RUU utang publik dan prosesnya tidak akan mudah. ”Seluruh sistemnya korup. Banyak korupsi di proyek-proyek kita dan pada cara pemerintah merekrut PNS. Seluruh rakyat Kuwait tidak suka dengan situasi ini,” kata Omar al-Tabtabaee, anggota parlemen independen yang hendak mencalonkan diri lagi.
Pada awal tahun ini, Tabtabaie menolak rencana menaikkan plafon utang Kuwait. Ia didukung mayoritas anggota parlemen yang khawatir pendapatan segar itu nantinya hanya akan masuk ke kantong para pedagang kaya dan bank-bank asing. ”Rakyat sudah tidak percaya pemerintah. Sudah terlalu banyak skandal dan tidak ada satu pun menteri yang dipenjara,” kata Mohammed al-Yousef, pengamat politik independen.
Skandal itu termasuk korupsi yang menjarah miliaran dollar dari dana kekayaan Malaysia yang ikut menjerat anggota keluarga penguasa Kuwait. Ada juga skandal pekerja Bangladesh yang diselundupkan ke Kuwait dengan dugaan mendapat bantuan dari anggota parlemen. Pada tahun lalu, kabinet akhirnya bubar karena tuduhan keterlibatan dalam hilangnya ratusan juta dollar AS dari dana militer.
Sekarang para menteri berjuang untuk meyakinkan rakyat yang semakin marah. Mantan Menteri Keuangan Mariam al-Aqeel mundur dari jabatannya, Februari lalu, setelah dihujani kecaman karena menyarankan pemerintah menutup defisitnya dengan mengenakan pajak pada rakyat dan memotong gaji. Enam pejabat kementeriannya juga mengundurkan diri, bulan lalu, meski itu bentuk atau cara mereka mengusir menteri baru yang mendorong RUU utang publik.
”Rakyat Kuwait berpikir, mengapa saya harus menyumbangkan uang saya jika pemerintah tidak menindak siapa pun yang korupsi atau kenapa harus menyumbang kalau saya tidak bisa lihat ke mana uangnya,” kata Barrak Algharabally, pakar penganggaran pemerintah di Kuwait University.
Saat Kuwait ribut sendiri, uang tunai yang tersedia menipis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendapatan minyak tidak mampu memenuhi kebutuhan gaji dan subsidi yang sudah membengkak sejak tahun 2006. Bahkan, kini anggaran untuk gaji dan subsidi sudah menghabiskan lebih dari 70 persen anggaran nasional. ”Dengan harga minyak dan tingkat pengeluaran seperti sekarang, dana cadangan umum akan habis pada Desember,” kata Raghu Mandagolathur, Direktur Penelitian Pusat Keuangan Kuwait.
Bahkan, jika nanti pandemi Covid-19 mereda pun, harga minyak diperkirakan tidak akan melonjak setinggi tahun 2014, yakni sampai di atas 100 dollar AS per barel. Para ahli mengatakan, pandemi ini setidaknya sudah memberi Kuwait gambaran sekilas akan seperti apa masa depan mereka. Barangkali mengejutkan bagi Kuwait yang selama ini selalu merasa akan bisa hidup di luar batas kemampuannya selamanya. Apakah guncangan finansial ini akan bisa mendorong reformasi di Kuwait? Bisa iya, bisa tidak.
”Kita bisa saja bersenang-senang selama mungkin, 10 tahun atau 20 tahun lagi. Tetapi setelah itu bagaimana? Apa yang akan terjadi pada anak dan cucu kita?” kata Algharabally. (AP)