Biden Canangkan Tekad AS untuk Memimpin Dunia Lagi
Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden bertekad akan memulihkan posisi AS sebagai pemimpin dunia. Kebijakan-kebijakan yang akan dia ambil menjadi antitesis kebijakan Trump.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
WILMINGTON, RABU — Setelah mengedepankan pendekatan nasionalisme unilateralis ala America First selama empat tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS kini siap kembali memimpin dunia dan siap menghadapi para musuh dengan merangkul kembali para mitra aliansi.
Presiden terpilih AS Joe Biden mengatakan hal itu saat memperkenalkan tim kebijakan luar negeri dan keamanan nasionalnya, Selasa (24/11/2020). Orang kepercayaan Biden, Antony Blinken, akan ditunjuk sebagai menteri luar negeri AS.
Jajaran kabinet Biden diisi sejumlah pejabat yang pernah bekerja di masa kepemimpinan Presiden Barack Obama. Berbeda dengan kabinet Trump yang berkulit putih dan laki-laki, kabinet Biden lebih beragam. Dari anggota kabinet yang telah diumumkan, ada beberapa perempuan dan berasal dari ras etnis berbeda-beda.
”Tim ini merefleksikan AS sudah kembali lagi, siap memimpin dunia, tidak akan menghindar, siap menghadapi musuh kami, tidak menolak mitra kami, dan siap membela nilai-nilai kami,” kata Biden di kampung halamannya di Wilmington, Delaware, AS, Selasa waktu setempat atau Rabu (25/11/2020) dini hari WIB.
Di dalam tim kebijakan luar negeri dan keamanan nasional, selain Blinken yang dinominasikan sebagai menlu, Biden memilih pengacara Alejandro Mayorkas menjadi menteri keamanan dalam negeri, diplomat Linda Thomas-Greenfield akan menjadi duta besar AS untuk PBB, dan Jake Sullivan sebagai penasihat keamanan nasional. Mantan Wakil Direktur CIA, Avril Haines, akan menjadi direktur intelijen nasional, sedangkan mantan Menlu John Kerry akan menjadi utusan khusus bidang perubahan iklim.
Biden tampaknya tidak akan memasukkan dua mantan rival di bursa capres Partai Demokrat yang lebih liberal, Senator Bernie Sanders dan Elizabeth Warren, dalam kabinetnya. Suara keduanya, kata Biden, dibutuhkan di Senat, yang komposisinya sangat ketat antara kubu Demokrat dan Republik.
Dalam sistem tata negara AS, pengangkatan anggota kabinet, pengesahan APBN, pembuatan aneka peraturan, dan ratifikasi kesepakatan luar negeri membutuhkan persetujuan Senat. ”Mengeluarkan seseorang dari Senat, mengeluarkan seseorang dari DPR, khususnya orang yang memiliki konsekuensi (jika ditarik), adalah keputusan yang benar-benar sulit,” kata Biden dalam wawancara dengan NBC News.
”Saya mempunyai agenda yang sangat ambisius, sangat progresif, dan hal itu membutuhkan sosok-sosok yang benar-benar kuat di DPR dan Senat agar agenda itu bisa dijalankan,” ujar Biden.
Dua pertarungan di Georgia, 5 Januari, bakal menentukan kubu yang akan menguasai Senat. Demokrat telah menguasai DPR, hasil pemilu 3 November, tetapi keunggulan mereka sangat tipis.
Kembali ke multilateral
Janji Biden untuk mengembalikan AS ke panggung dunia itu memutarbalikkan kebijakan luar negeri Trump yang selama empat tahun terakhir meresahkan banyak sekutu AS. Trump memilih pendekatan antagonis terhadap aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), hubungan perdagangan, dan mengabaikan perjanjian internasional. Trump malah menjalin hubungan mesra dengan para pemimpin yang otoriter.
Namun, kondisi dunia sudah banyak berubah sejak terakhir kali Demokrat berkuasa empat tahun lalu. China sekarang semakin berani dengan pengaruhnya yang kian luas. Rusia juga begitu. Pengaruh AS memudar karena menarik diri dari berbagai perjanjian internasional. Kebijakan luar negeri Biden kemungkinan akan lebih banyak menggunakan pendekatan multilateral untuk memperbaiki hubungan AS dengan para mitra.
Para mitra itu termasuk di kawasan Asia Pasifik menyusul memburuknya hubungan bilateral AS-China yang sudah terasa hampir seperti Perang Dingin. Pada akhir kepemimpinan Trump saja, AS dan China kerap perang mulut dalam beragam isu, mulai dari cara China menangani pandemi Covid-19, isu Hong Kong, hingga sengketa Laut China Selatan.
Menlu Mike Pompeo mengkritik keinginan Biden untuk kembali menjalin kerja sama internasional. Selama ini, Trump lebih fokus mendapatkan hasil yang konkret berdasarkan kebutuhan masyarakat AS. ”Pendekatan multilateralisme hanya untuk kumpul-kumpul saja? Bukan itu yang menjadi kepentingan AS,” ujarnya.
Mantan Komandan Tertinggi Eropa NATO James Stavridis menilai tim Biden memiliki kompetensi dan banyak pengalaman. Mereka juga cenderung lebih kalem, fokus, dan tak berebut peran. ”Mereka sudah kenal dengan rekan-rekan mereka di luar negeri dan komunikasi akan lebih lancar. Ini pendekatan yang berbeda dari tim Trump yang tak bisa bekerja sama dengan baik,” ujarnya.
Mantan penasihat ekonomi Obama, Steve Rattner, menilai Biden memilih orang-orang yang memang bisa bekerja sama dan sudah dia kenal sejak lama. Namun, menurut Senator Florida Marco Rubio dari Republik, anggota-anggota kabinet Biden itu adalah orang-orang terbaik, tetapi tidak akan bisa bersikap keras atau tegas.
Transisi
Proses transisi pemerintahan yang sempat tersendat karena Trump tidak mau memberi akses apa pun kini mulai berjalan. Tim Biden kini bisa berkomunikasi dengan semua lembaga federal. Tim transisi pemerintahan, dipimpin Tom Muir, pejabat Departemen Pertahanan, sudah bertemu secara virtual dengan tim Biden dan berjanji akan menyediakan semua materi yang dibutuhkan. Bahkan, akan ada ruang khusus untuk tim Biden di dalam Pentagon.
Menteri Kesehatan dan Layanan Manusia Alex Azar juga menjanjikan proses transisi yang mulus. Proses transisi ini akhirnya bisa dimulai setelah ada surat dari Administrasi Pelayanan Umum yang mengakui Biden sebagai pemenang pemilu. ”Banyak yang harus segera kita bicarakan. Kita harus segera bekerja menyembuhkan dan mempersatukan kembali AS serta dunia,” kata Biden.
Bersamaan dengan terbukanya pintu untuk proses transisi di pemerintahan AS, negara bagian yang memberikan pengesahan atas kemenangan Biden terus bertambah. Selasa lalu, Pennsylvania mengesahkan kemenangan Biden atas Trump.
Pada hari yang sama, Mahkamah Agung (MA) Negara Bagian Nevada juga mengonfirmasi kemenangan Biden. Kubu Trump berupaya menghambat laju pengesahan kemenangan Biden, Selasa, dengan mengajukan gugatan hukum agar MA Negara Bagian Wisconsin memblokir pengesahan atas hasil pemilu di wilayah itu. Padahal, penghitungan ulang suara di Wisconsin masih berlangsung. (REUTERS/AFP/AP)