Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed mengultimatum milisi TPLF untuk menyerah tanpa syarat dalam waktu 72 jam mendatang. Jika ultimatum itu tidak diindahkan, militer akan menyerang basis TPLF di Kota Makelle.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ADDIS ABABA, SENIN — Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed mengultimatum Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) untuk segera menyerah dalam waktu 72 jam mendatang. Bila peringatan itu tidak diindahkan, militer Etiopia akan menyerbu Kota Mekelle, ibu kota Wilayah Tigray, mengabaikan seruan dunia internasional agar pemerintah dan pemberontak TPLF melakukan perundingan damai.
Ultimatum itu disampaikan Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed melalui media sosial Twitter, Minggu (22/11) malam.
”Kami mendesak Anda untuk menyerahkan diri secara damai dalam waktu 72 jam mendatang, menyadarkan bahwa Anda saat ini berada pada titik tidak bisa kembali,” tulis Abiy.
Dalam pernyataannya, peraih Nobel Perdamaian 2019 ini mengatakan, tindakan yang akan diambil oleh militer Etiopia merupakan operasi penegakan hukum yang terpaksa dipilih pemerintahannya. Dia juga menyatakan, semua tindakan pencegahan yang diperlukan telah diambil untuk memastikan bahwa warga sipil tidak dirugikan.
Abiy juga mengatakan bahwa penduduk Tigray sudah muak dengan kekerasan yang dilakukan milisi TPLF kepada warga sipil. Dia mengimbau pada rakyat Makelle untuk membantu militer pemerintah mengalahkan milisi TPLF yang masih tersisa dan bersembunyi di Makelle.
Redwan Hussein, juru bicara satgas pemerintah di Tigray, mengatakan, masih ada waktu bagi pimpinan TPLF untuk menyerah. ”Pemerintah akan menahan diri secara maksimal agar tidak menimbulkan risiko besar bagi warga sipil,” tambahnya.
Redwan mengatakan, banyak anggota pasukan khusus dan milisi TPLF telah menyerahkan diri kepada pemerintah. Sisanya tercerai-berai di sekitar Kota Adigrat. Pasukan pemerintah juga dilaporkan berhasil merebut sebuah kota kecil, Idaga Hamus, yang menghubungkan antara Adigrat ke Makelle.
Persiapan serangan
Beberapa hari terakhir, pemerintahan PM Abiy menegaskan bahwa militer Etiopia telah bergerak ke Makelle dalam upaya terakhir untuk mengakhiri konflik berdarah itu. Kini, dengan komunikasi dan transportasi ke wilayah Tigray yang hampir sepenuhnya terputus, sulit untuk memverifikasi klaim masing-masing pihak bertikai.
Juru bicara militer Etiopia, Kolonel Dejene Tsegaye, dalam pernyataannya kepada saluran televisi Pemerintah Etiopia, Brodcasting Corporation, Minggu (22/11/2020), menyatakan, fase berikut yang akan menentukan dalam operasi militer itu adalah pengepungan Makelle.
Dejene mengatakan, TPLF kemungkinan akan menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup. Untuk itu, Dejene menyarankan agar warga sipil untuk menghindar dan menyelamatkan diri dari serangan artileri militer pemerintah.
”Kami ingin mengirim pesan ke warga sipil di Mekelle untuk menyelamatkan diri dari serangan artileri dan membebaskan diri dari junta,” kata Dejene.
Ultimatum Pemerintah Etiopia dan rencana militernya untuk menggelar serangan besar-besaran terhadap Kota Makelle mendapat kritik luas. Laetitia Bader, peneliti pada lembaga Human Rights Watch, mengatakan, memberlakukan seluruh kota sebagai sasaran militer tidak hanya melanggar hukum, dan hal itu bisa dianggap sebagai hukuman kolektif.
Pernyataan lebih tegas disampaikan mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat, Susan Rice. ”Dengan kata lain, itu adalah kejahatan perang,” kata Rice.
Kepada kantor berita Reuters, pemimpin TPLF Debretsion Gebremichael, melalui pesan teks, menyatakan bahwa pasukannya menahan serangan dari arah selatan dan utara Makelle, terutama dari kota kecil Adigrat yang telah dikuasai militer pemerintah.
”Mengitari Mekelle adalah rencana mereka, tapi mereka tidak bisa. Di selatan, selama seminggu lebih mereka tidak bisa bergerak maju 1 inci pun. Mereka menyerang berkali-kali, tapi tidak berhasil,” kata Debretsion.
Makelle adalah ibu kota Tigray yang kini didiami sekitar 310.000 jiwa. Terletak sekitar 750 kilometer utara Addis Ababa, Makelle terletak di wilayah pegunungan berketinggian 2084 meter di atas permukaan laut. Dengan posisi seperti itu, TPLF diuntungkan apabila terjadi serangan.
Kritik terhadap penanganan konflik yang diambil oleh PM Abiy membuat seorang analis keamanan lembaga International Crisis Group, William Davison, dideportasi dari negara tersebut. Pemerintah juga dikabarkan telah mengirimkan peringatan kepada sejumlah media, yaitu Reuters, BBC, dan Deutsche Welle, atas pemberitaan mereka.
Sebagai dampak konflik itu, PBB memperingatkan kemungkinan terjadinya krisis kemanusiaan yang menimpa 2 juta penduduk kawasan Tigray. Data PBB menyebutkan, sekitar 2 juta orang di Tigray sangat membutuhkan bantuan karena makanan, bahan bakar, medis, dan persediaan lainnya sangat menipis.
Selain itu, akibat konflik bersenjata, lebih dari 35.000 orang Etiopia juga telah melarikan diri ke daerah terpencil di Sudan, tempat komunitas lokal dan lembaga kemanusiaan berjuang untuk memberi makan dan menampung mereka. Dan, di dalam wilayah Tigray, pertempuran telah mendekati kamp-kamp yang menampung hampir 100.000 pengungsi dari Eritrea. (AP/Reuters)