Penemuan Vaksin Covid-19, Secercah Harapan di Ujung Lorong Pandemi
Para ahli mulai menemukan ramuan calon vaksin penjinak Covid-19. Namun, ini baru awal dari upaya mengakhiri pandemi. Selain vaksin, masih dibutuhkan intervensi kesehatan berlapis.
Tahun 2020 telah menjadi tahun yang luar biasa dalam pencapaian sains, khususnya bioteknologi. Dalam waktu kurang dari 12 bulan, para peneliti di dunia telah mengidentifikasi penyakit baru yaitu Covid-19, mengurutkan genom virus penyebabnya, mengembangkan alat diagnostik, membuat protokol terapi, dan mengembangkan calon vaksin dengan efikasi yang sementara ini menjanjikan.
Dengan dukungan seluruh sumber daya, semua upaya itu dilakukan untuk menghentikan penyebaran virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang telah menginfeksi 58 juta penduduk dunia dan menewaskan 1,37 juta orang. Amerika Serikat menjadi negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia, disusul oleh India, Brasil, dan Perancis. AS juga jadi negara dengan kasus meninggal akibat Covid-19 terbanyak di dunia, disusul Brasil, India, dan Meksiko.
Baca juga: Badan POM AS Beri Lampu Hijau Penggunaan Antibodi Regeneron
Di AS, dalam waktu kurang dari 10 bulan, kematian akibat Covid-19 lebih banyak dibandingkan gabungan kematian akibat stroke, bunuh diri, dan kecelakaan mobil dalam setahun. Bahkan, pada 8 Oktober 2020, Scientific American melaporkan, pada periode 30 Maret-4 April 2020, Covid-19 di AS menjadi penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit jantung dan kanker. Covid-19 membunuh lebih banyak dibandingkan stroke, penyakit saluran pernapasan bawah kronis, alzheimer, diabetes, ginjal, atau flu.
Menginjak minggu kedua November 2020 atau delapan bulan setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi muncul secercah harapan. Pada minggu itu, dua calon vaksin Covid-19 yang dilaporkan raksasa farmasi dari AS, Pfizer, yang bekerja sama dengan perusahaan Jerman, BioNTech, serta kolaborasi perusahaan bioteknologi AS, Moderna, dan Institut Kesehatan Nasional (NHI) AS memiliki efikasi di atas 90 persen.
Pada 9 November 2020, Pfizer melaporkan, hasil sementara uji klinis fase III calon vaksin Covid-19 mereka menunjukkan efikasi di atas 90 persen. Sepekan berlalu, Moderna mengumumkan hasil sementara uji klinis fase III calon vaksin Covid-19 mereka menunjukkan efikasi 94,5 persen.
Baca juga: Kabar Baik Kedua yang Melegakan pada Minggu Ini Datang dari Moderna
Kemudian, Rabu (18/11/ 2020), Pfizer memberikan lagi kabar gembira. Hasil akhir uji klinis fase III calon vaksin Covid-19 mereka, kata Pfizer, sebesar 95 persen dan tidak menimbulkan efek samping serius pada partisipan uji klinis.
Efikasi kedua calon vaksin Covid-19 tersebut melampaui syarat minimal izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, yaitu efikasi 50 persen. Dua calon vaksin itu pun kini sudah diajukan ke FDA untuk bisa digunakan.
Pfizer berencana memproduksi 50 juta dosis vaksin tahun ini dan diperkirakan hingga 1,3 miliar dosis tahun 2021. Sementara Moderna akan memproduksi 20 juta dosis tahun ini.
Baca juga: Moderna, Perusahaan Kecil dengan Lompatan Besar di Tengah Pandemi
Seperti dikutip New York Times, 16 November 2020, juru bicara Moderna, Ray Jordan, menyebutkan bahwa perusahaannya menetapkan harga jual vaksin Covid-19 bagi negara lain seharga 32-37 dollar AS (Rp 453.000-Rp 524.000) per dosis. Sementara harga bagi Pemerintah AS yang sudah menyuntikkan dana dalam pengembangan vaksin Covid-19 adalah 24,8 dollar AS per dosis.
Belum diulas
Akan tetapi, publik perlu mengingat bahwa informasi efikasi vaksin Pfizer 95 persen dan Moderna 94,5 persen sejauh ini diperoleh hanya berdasarkan pernyataan pers masing-masing perusahaan. Hasil riset uji klinis fase III belum pernah dipublikasi dan menjalani peer reviewed di jurnal internasional terkemuka.
Dua calon vaksin Covid-19 dari perusahaan AS itu termasuk dalam 48 lanskap calon vaksin Covid-19 WHO yang sudah memasuki tahap uji klinis per 12 November 2020. Dari 48 calon vaksin tersebut, sebanyak 11 di antaranya sudah memasuki tahap uji klinis fase III. Ke-11 calon vaksin itu dikembangkan oleh AS, China, Inggris, India, Rusia, dan Jerman (kolaborasi dengan AS).
Perusahaan AS lain yang telah memasuki uji klinis fase III adalah Novavax. Perusahaan yang berbasis di Maryland ini memulai uji klinis fase III vaksin Covid-19 di Inggris pada September 2020. Uji klinis fase III yang lebih luas sedang direncanakan untuk dimulai di AS, akhir November 2020.
Pada September 2020, Novavax mencapai kesepakatan dengan Serum Institute of India (SII) dan memberikan izin kepada SII untuk memproduksi vaksin Covid-19 mereka.
Satu lagi perusahaan yang telah memasuki uji klinis fase III adalah Janssen Pharmaceutical Companies, anak perusahaan AS, Johnson & Johnson. Uji klinis fase III Janssen dimulai, September lalu, melibatkan 60.000 partisipan. Tidak seperti calon vaksin Covid-19 lain yang diberikan dua dosis, calon vaksin Janssen diberikan satu dosis.
Pada 16 November 2020, Janssen mengumumkan akan menggelar uji klinis fase III tahap kedua untuk menguji efikasi pemberian dua dosis calon vaksin mereka. Janssen berencana memproduksi minimal 1 miliar dosis vaksin tahun 2021.
Di luar perusahaan farmasi asal AS ada beberapa calon vaksin lain yang kini sudah memasuki tahap uji klinis fase III. Empat di antaranya berasal dari China. Ada tiga lembaga dari China yang mengembangkan vaksin Covid-19, yakni Sinopharm, Sinovac, dan CanSino.
Baca juga: Kerja Sama Segitiga Indonesia-Sinopharm-UEA untuk Ketersediaan Vaksin Covid-19
Sinopharm mengembangkan dua calon vaksin Covid-19 di Wuhan Institute of Biological Products dan Beijing Institute of Biological Products. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China ini melakukan uji klinis fase III di Uni Emirat Arab, Peru, Maroko, dan Argentina.
Walaupun uji klinis fase III-nya belum selesai, Sinopharm telah memberikan calon vaksin Covid-19 mereka kepada tenaga kesehatan, pegawai pemerintah, dan kelompok masyarakat lain di China yang ditentukan sejak Juli 2020. Hingga November 2020 sudah hampir satu juta warga China diberi calon vaksin Covid-19. Calon vaksin Covid-19 dari Sinopharm juga diberikan pada tenaga kesehatan di UEA melalui skema otorisasi penggunaan darurat.
Sementara Sinovac yang mengembangkan calon vaksin Covid-19, yang dinamai CoronaVac, memulai uji klinis fase III pada Juli 2020 di Brasil, disusul di Indonesia dan Turki. CoronaVac juga termasuk calon vaksin Covid-19 yang pada Juli 2020 sudah diberikan kepada warga China.
Baca juga: Vaksi Sinovac Picu Kekebalan Tubuh, Antibodi yang Dihasilkan Rendah
Walaupun data akhir uji klinis fase III CoronaVac belum tersedia, Sinovac menargetkan untuk bisa mendistribusikan vaksinnya awal 2021. Salah satu negara yang sudah membeli adalah Indonesia.
Satu lagi perusahaan China yang mengembangkan calon vaksin Covid-19 adalah CanSino Biologics yang berkolaborasi dengan Academy of Military Medical Science China. CanSino memulai uji klinis fase III bulan Agustus lalu di Arab Saudi, Pakistan, dan Rusia.
Dalam perlombaan pengembangan vaksin Covid-19, Rusia tidak mau ketinggalan. Gamaleya Research Institute melakukan riset vaksin Sputnik V, nama yang diberikan oleh Presiden Vladimir Putin pada calon vaksin Covid-19 ini.
Baca juga: Rusia Keluarkan Izin Edar Vaksin Covid-19
Akan tetapi, belum juga uji klinis fase III dimulai, Rusia sudah memberikan izin edar terhadap Sputnik V. Para pakar kesehatan mengingatkan bahwa sebelum didistribusikan luas vaksin harus aman dan berkhasiat.
Seperti tak mau ketinggalan dari Barat, pada 11 November 2020 atau dua hari setelah Pfizer merilis hasil sementara efikasi vaksin Covid-19 mereka, Direct Investment Fund Rusia mengumumkan bahwa efikasi Sputnik V juga tinggi, yaitu 92 persen.
Satu calon vaksin yang juga menjanjikan adalah yang dikembangkan oleh perusahaan Inggris-Swedia, AstraZeneca dan University of Oxford, Inggris. Pada 19 November 2020, AstraZeneca/Oxford merilis bahwa ChAdOx1, calon vaksin Covid-19 mereka, efektif bagi lansia. Hasil uji klinis fase III diharapkan bisa selesai akhir bulan Desember 2020. Apabila mendapat izin edar, AstraZeneca siap memproduksi vaksin Covid-19 dengan kapasitas produksi hingga dua miliar dosis setahun.
Baca juga: Bagus, Respons Imun Vaksin Covid-19 Buatan AstraZeneca/ Oxford kepada Lansia
Di tengah dominasi negara-negara Barat, India muncul dengan Bharat Biotech International Ltd berkolaborasi dengan National Institute of Virology yang juga mengembangkan vaksin Covid-19, Covaxin. Pendanaan riset vaksin perusahaan yang berbasis di Telangana ini didukung oleh Indian Council of Medical Research (ICMR).
Kepada The Indian Express, 3 Juli 2020, Direktur Pelaksana Bharat Biotech Krishna Ella mengatakan, jika hasil uji klinis fase akhir positif dan izin edar diberikan, Covaxin bisa diberikan secara luas awal 2021. Untuk itu, Bharat telah membangun fasilitas produksi berkapasitas 300 juta dosis setahun.
Intervensi kesehatan
Walaupun banyak calon vaksin Covid-19 sedang dikembangkan di berbagai negara, para pakar kesehatan tetap mengingatkan bahwa vaksin bukanlah satu-satunya senjata untuk mengendalikan penularan Covid-19. Dibutuhkan intervensi kesehatan berlapis atau biasa dikenal dengan strategi ”keju swiss” untuk mengakhiri pandemi, mulai dari mengenaka masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Bukan Jaminan Kekebalan
Intervensi yang berlapis dianalogikan juga dengan keju swiss yang berongga. Maknanya, tak ada satu pun intervensi kesehatan yang andal untuk mengendalikan Covid-19. Setiap intervensi untuk melindungi diri kita dari penularan saling melengkapi.
Selain itu, adanya vaksin juga bukan akhir, melainkan awal dari sebuah proses yang tak kalah panjang, yaitu memilih vaksin yang aman dan berkhasiat, menyiapkan rantai dingin yang dibutuhkan hingga fasilitas pelayanan terdepan, menetapkan standar operasi imunisasi yang baik, dan meyakinkan masyarakat untuk mau divaksin.