Para analis melihat fenomena penolakan pendukung Donald Trump atas hasil pemilu AS akibat disinformasi yang ditiupkan Trump sebagai dinamika baru dan berbahaya dalam politik AS. ”Patologi Amerika”, sebut Nina Jankowich.
Oleh
Mh Samsul Hadi
·2 menit baca
Dalam dua pekan terakhir, sejak pasangan Joe Biden- Kamala Harris dinobatkan—berdasarkan perolehan suara elektoral hasil penghitungan suara—memenangi pemilu presiden AS 2020, dunia disuguhi praktik demokrasi yang tak elok dari ”Negeri Paman Sam”. Meski perolehan suaranya terpaut sangat jauh sehingga sangat sulit dibalikkan, termasuk melalui gugatan hukum, Presiden Donald Trump belum bisa menerima realitas pahit menelan kekalahan dalam pemilu. ”Menang dalam pemilu itu mudah, tapi mengalami kekalahan itu tidak akan pernah mudah,” ujar Trump pada hari pemilihan, 3 November.
Pada 7 November, kantor berita Associated Press menyatakan, Biden memenangi pemilu. Biden—Jumat lalu, ia berusia 78 tahun—berhasil membangun kembali apa yang kerap disebut ”tembok biru” (blue wall) lewat kemenangan di negara-negara bagian, seperti Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania. Ia kini mengoleksi 306 suara elektoral atau jauh di atas 270 suara yang dibutuhkan untuk melenggang ke Gedung Putih, sedangkan Trump mendapat 232 suara elektoral.
Tak butuh waktu lama, pada hari kemenangannya itu, Biden menuai ucapan selamat dari para pemimpin negara, termasuk Presiden Joko Widodo. Sebaliknya bagi Trump, seolah menuai benih pendekatan isolasionisme dan unilateralisme, dengan menjauhi forum-forum multilateral, yang ditebar selama empat tahun pemerintahannya, ia benar-benar terisolasi saat ini. Ketika para pemimpin negara anggota G-20 hadir dalam KTT virtual G-20, Sabtu (21/11/2020), Trump hanya bergabung dalam pertemuan daring sesaat sebelum kemudian keluar dan memilih bermain golf.
Hari-hari ke depan hingga 20 Januari mendatang, saat Biden dilantik sebagai Presiden ke-46 AS, pasti—seperti ucapannya—tidak akan mudah bagi Trump. Ia telah mengajukan gugatan pasca-pemungutan suara di Nevada, Arizona, Michigan, Georgia, dan Pennsylvania. Ia juga berusaha memblokir pengesahan hasil penghitungan suara, yang paling lambat ditetapkan 8 Desember atau enam hari sebelum sidang Dewan Elektoral. Namun, satu demi satu gugatannya terpatahkan, dimulai dari Georgia dan Pennsylvania.
Bukan hanya tak mau menerima kekalahan, Trump juga terus menebar fantasi kemenangan melalui cuitan di akun Twitter-nya. Kaum Republiken dan pendukung Trump diajak tidak mengakui hasil proses demokrasi dengan tuduhan tanpa bukti soal kecurangan. Sejumlah analis melihat fenomena itu sebagai dinamika baru dan berbahaya dalam politik AS: penyebaran kebohongan dianggap normal dan meningkatnya teori-teori konspirasi. Nina Jankowich dari Wilson Center menyebut disinformasi semacam itu sebagai ”patologi Amerika” (Foreign Affairs, 19 November 2020).
Eldred Masunungure, ilmuwan politik di Universitas Zimbabwe, seperti dikutip AFP, melukiskan Trump seperti ”tengah melantunkan lagu indah bagi para penguasa autokrat”. ”Ini pelajaran buruk, para pemimpin kami akan mengambil manfaat dan bahkan ke depan akan mengutip (pelajaran itu) ketika mereka kalah dan tidak ingin mengakui kekalahan,” kata Masunungure.