Pertemuan Pompeo dan Juru Runding Taliban Tak Hasilkan Terobosan
Keputusan Amerika Serikat mengurangi jumlah pasukannya menjadi hanya 2.500 orang tidak direspons secara seimbang oleh Taliban.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
DOHA, MINGGU — Pertemuan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dengan pimpinan Taliban dan tim perundingnya di Doha, Qatar, Sabtu (21/11/2020), tidak menghasilkan terobosan apa pun.
Keputusan AS untuk mengurangi pasukannya hingga tersisa 2.500 orang di Afghanistan tidak mendapat balasan kebijakan yang setimpal dari Taliban. Padahal, Pompeo berharap bisa menghasilkan terobosan atas kebuntuan perundingan intra-Afghanistan selama berminggu-minggu ini.
Selain itu, Pompeo juga berharap percepatan penarikan pasukan AS dari Afghanistan dan pengurangan jumlah personel menjadi hanya 2.500 orang akan mendapatkan balasan setimpal dari Taliban.
”Saya sangat tertarik untuk mengetahui pemikiran Anda (kelompok Taliban) tentang bagaimana kita bisa meningkatkan kemungkinan untuk menghasilkan sebuah terobosan dalam pembicaraan ini,” kata Pompeo.
Namun, setelah berbincang lebih dari satu jam, tidak ada pengumuman apa pun dari Pompeo dan Departemen Luar Negeri AS serta Taliban seusai pertemuan.
Mohammad Naeem, juru bicara kantor politik Taliban di Doha, juga tidak mengeluarkan pernyataan apa pun. Melalui akun Twitter-nya, Naeem hanya menginformasikan bahwa Pompeo bertemu langsung dengan pemimpin de facto Taliban, Mullah Abdull Ghani Baradar.
Baradar, dalam pertemuan dengan Pompeo, didampingi ketua tim perunding Taliban, Sheikh Abdul Hakim, dan sejumlah anggotanya. Tidak ada penjelasan tambahan apa pun dari Taliban tentang hasil pertemuan tersebut.
Tambahan ”keleluasaan” yang diberikan AS terhadap situasi keamanan di Afghanistan tidak memberikan dampak signifikan terhadap jalannya proses perundingan intra-Afghanistan, yang sudah dimulai sejak pertengahan September lalu. Hingga kini, tim perundingan belum masuk ke agenda utama perundingan.
Taliban, yang merupakan kelompok garis keras Sunni, bersikeras untuk menggunakan mazhab Hanafi sebagai yurisprudensi utama mereka sebelum memasuki agenda inti perundingan.
Namun, negosiator pemerintah menyatakan ini dapat digunakan untuk mendiskriminasi orang Hazara, yang sebagian besar adalah Syiah, dan minoritas lainnya.
Hal lain yang belum disepakati adalah tentang bagaimana kesepakatan AS-Taliban yang ditandatangani 29 Februari lalu akan membentuk kesepakatan damai Afghanistan di masa depan dan bagaimana kesepakatan itu akan dirujuk.
Abdullah Abdullah, Ketua Dewan Tinggi Afghanistan untuk Rekonsiliasi Nasional, menyatakan bahwa pemerintah dan Taliban ”sangat dekat” untuk memecahkan kebuntuan dalam perundingan.
”Kami sudah dekat, kami sangat dekat. Mudah-mudahan kami melewati fase ini dan sampai ke masalah substansial, termasuk keamanan,” katanya saat berkunjung ke Turki kepada kantor berita AFP.
Hal yang sama dikatakan dua pejabat Taliban kepada kantor berita The Associated Press. Kedua pejabat yang tidak mau disebutkan namanya ini menyatakan kedua pihak telah menemukan titik temu untuk memajukan pembicaraan yang macet. Mereka tidak merinci titik temu yang dimaksud.
Risiko keamanan
Tidak lama sebelum Pompeo bertemu dengan Mullah Baradar, sebuah mortir menghantam daerah permukiman di Kabul, ibu kota Afghanistan, dan menewaskan delapan orang serta melukai puluhan orang lainnya.
Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Afghanistan menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu.
Kekerasan yang terus terjadi di Afghanistan, meski perundingan terus terjadi, membuat Zarmina (28), yang kini tengah mempersiapkan diri menghadapi proses persalinan, khawatir.
”Tidak ada tempat di Afghanistan yang aman sekarang. Anda mengandung selama sembilan bulan dan ketika mereka lahir ke dunia, ada orang-orang yang masuk ke rumah sakit dan merenggut bayi-bayi kami. Tidak ada yang akan pernah tahu kapan kelompok seperti itu akan menyerang rumah sakit atau rumah bersalin,” kata Zarmina, dikutip dari laman Foreign Policy.
Sejak nota kesepahaman damai diteken di Doha, Qatar, tekanan dunia internasional agar kelompok bersenjata di Afghanistan dan pasukan pemerintah menghentikan kekerasan tak pernah berhenti.
Taliban separuh hati melaksanakan hal itu. Mereka tidak menyerang pasukan AS dan NATO, tetapi masih menyerang pasukan pemerintah dan sebaliknya. Akibatnya, ribuan orang tewas selama hampir delapan bulan terakhir pasca-kesepakatan Doha.
Jelang dimulainya perundingan intra-Afghanistan, desakan untuk mengurangi kekerasan juga kembali digaungkan. Pemerintahan Presiden Ashraf Ghani menuntut gencatan senjata diberlakukan. Taliban kembali menolak.
Sebagai pengganti kehadiran pasukannya di Afghanistan, Pentagon mengumumkan kehadiran pesawat pengebom B-52H yang memiliki kode ”Stratofortress” di kawasan Timur Tengah, mulai 21 November 2020.
Selama misi, awak pesawat pengebom terintegrasi dengan pusat operasi udara dan aset AFCENT lainnya, seperti F-15E ”Strike Eagles”, F-16 ”Fighting Falcons”, KC-10 ”Extenders”, dan KC-135 ”Stratotankers”.
Dalam keterangannya, Komando Pusat Militer AS menyebutkan, kehadiran pesawat pengebom yang memiliki kemampuan membawa bom nuklir itu sebagai misi untuk mencegah agresi dan meyakinkan para mitra serta sekutu AS bahwa militer AS ini akan terus hadir di kawasan. (AP/AFP)