Arab Saudi Gelar KTT Virtual G-20, Fokus Utama pada Penanganan Covid-19
Bocoran draf Komunike KTT G-20 menyebutkan, negara-negara G-20 menganggap penanganan pandemi Covid-19 adalah kunci bagi pemulihan ekonomi global. KTT juga akan membahas pembelian dan distribusi global vaksin Covid-19.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
RIYADH, SABTU — Para pemimpin negara-negara anggota kelompok 20 atau G-20 menegaskan fokus mereka terhadap penanganan pandemi Covid-19 dan berbagai dampaknya. Draf komunike Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G-20, yang diselenggarakan secara virtual oleh Arab Saudi sebagai Ketua G-20 tahun ini, Sabtu (21/11/2020), menyebutkan bahwa penanganan pandemi Covid-19 adalah kunci bagi pemulihan ekonomi global.
Termasuk dalam agenda utama KTT adalah pembahasan tentang pembelian dan distribusi global vaksin dan obat-obatan terkait Covid-19. Selain itu, juga masalah penggalakan tes Covid-19 untuk negara-negara berpenghasilan rendah yang tidak mampu menanggung biaya tersebut sendiri juga masuk dalam agenda pertemuan.
Uni Eropa dilaporkan siap mendesak G-20 untuk menginvestasikan dana senilai 4,5 miliar dollar AS untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut. ”Tema utamanya adalah meningkatkan kerja sama global untuk mengatasi pandemi,” kata seorang pejabat senior G20 yang ambil bagian dalam persiapan KTT yang akan digelar dua hari, Sabtu ini dan Minggu (21-22/11/2020) besok itu.
Raja Arab Saudi Salman akan memimpin KTT tersebut. Para pemimpin dunia, dari Kanselir Jerman Angela Merkel hingga Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, diperkirakan akan menyampaikan pidato di KTT. Seorang pejabat Amerika Serikat menyebutkan, Presiden Donald Trump juga akan ikut serta.
Pihak penyelenggara KTT menyebutkan, negara-negara G-20 telah menyumbangkan lebih dari 21 miliar dollar AS untuk memerangi pandemi Covid-19. Covid-19 telah menginfeksi 56 juta orang secara global dan menyebabkan 1,3 juta orang tewas.
Imbauan bagi G-20
Menjelang KTT, sebuah surat resmi ditujukan kepada Raja Salman sebagai Ketua G-20 terkait distribusi vaksin. Surat itu ditandatangani Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, dan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Surat itu berisi imbauan agar negara-negara G-20 harus membantu menutup kekurangan pendanaan distribusi vaksin Covid-19.
”Komitmen para pemimpin G-20 pada KTT G-20 di Riyadh untuk berinvestasi secara substansial dalam kesenjangan pendanaan langsung ACT-Accelerator sebesar 4,5 miliar dollar AS akan segera menyelamatkan nyawa, meletakkan dasar pengadaan massal dan pengiriman alat Covid-19 di seluruh dunia, serta menghadirkan strategi keluar dari krisis ekonomi dan kemanusiaan global ini,” kata surat tertanggal 16 November itu.
”Dengan pendanaan ini, dan komitmen bersama untuk membelanjakan sebagian stimulus masa depan pada alat Covid-19 yang dibutuhkan secara global, G-20 akan membangun fondasi untuk mengakhiri pandemik,” lanjut surat tersebut.
ACT-Accelerator adalah inisiatif yang dipimpin WHO guna mempromosikan pemerataan vaksin, diagnostik, dan perawatan Covid-19 secara global.
Momentum pemulihan ekonomi global dari tekanan kuat di awal pandemi dikhawatirkan kembali memudar setelah sejumlah negara mengalami peningkatan jumlah kasus Covid-19. Tak hanya gelombang kedua masih terjadi di sejumlah negara, beberapa negara di Uni Eropa juga sudah mengambil langkah waspada menghadapi gelombang baru pandemi Covid-19 berikutnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam sebuah laporan untuk KTT G20 mengingatkan kemungkinan tidak meratanya pemulihan ekonomi. Selain itu, disebutkan pula bahwa pandemi meninggalkan kondisi tidak menentu di masa depan. Sejauh ini, dana global yang dikucurkan untuk melindungi perekonomian global dari efek pandemi telah menembus 11 triliun dollar AS.
Kelompok negara rentan
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan pada Jumat (20/11/2020) bahwa negara-negara miskin dengan utang besar di negara-negara berkembang berada di kelompok yang rentan. Mereka disebut ”berada di jurang kehancuran finansial, di tengah kemiskinan yang meningkat, sekaligus mengalami kelaparan dan penderitaan yang tak terhitung”.
Untuk mengatasi hal itu, G-20 akan mendukung rencana memperpanjang moratorium pembayaran utang untuk negara-negara berkembang selama enam bulan hingga pertengahan 2021 dengan kemungkinan perpanjangan lebih lanjut. Hal itu tercantum dalam draf komunike KTT itu.
Negara-negara Eropa di G-20 juga akan mencari dukungan dilakukannya reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang terhenti. Harapan itu muncul dengan memanfaatkan perubahan yang akan terjadi dalam pemerintahan AS. Presiden AS Donald Trump sebelumnya diketahui lebih menyukai kesepakatan perdagangan bilateral daripada bekerja melalui badan internasional.
Perubahan kepemimpinan AS itu juga meningkatkan harapan akan upaya yang lebih terpadu di tingkat G-20 dalam upaya memerangi perubahan iklim. Mengikuti contoh UE, sudah setengah dari anggota G-20—termasuk Jepang, China, Korea Selatan dan Afrika Selatan—berencana untuk menerapkan kebijakan Karbon Netral pada tahun 2050 atau segera setelahnya.
Di bawah Trump, AS menarik diri dari Perjanjian Paris yang berisi kesepakatan tentang langkah-langkah memerangi perubahan iklim. Keputusan Trump itu kemungkinan besar akan dibatalkan oleh Presiden terpilih AS Joe Biden, dan AS akan kembali bergabung dalam perjanjian tersebut.
”Kami mengharapkan, tentu saja, momentum baru dari pemerintahan AS yang baru tentang masalah ini, berkat deklarasi Presiden terpilih bahwa AS akan bergabung dengan Perjanjian Paris sekali lagi,” kata Von der Leyen.
Untuk membantu mendanai kembali perang perubahan iklim, UE akan mendorong G-20 untuk menyetujui standar global umum tentang apa yang disebut sebagai investasi ”hijau”. Hal itu adalah upaya membantu menarik investasi swasta besar-besaran yang dibutuhkan karena banyak dana investasi tertarik untuk terlibat dalam proyek-proyek yang berkelanjutan. Otoritas UE sudah mengerjakan standar semacam itu dengan target menerapkannya pada tahun 2022. (AFP/AP/REUTERS)