Polisi Thailand Tangkap Dua Pelajar Pemimpin Protes
Setelah PM Thailand Prayut Chan-ocha menginstruksikan polisi lebih tegas menindak pemrotes pemerintah, polisi menangkap dua pelajar yang turut memimpin unjuk rasa.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BANGKOK, JUMAT – Dua pemimpin murid sekolah menengah akan didakwa karena mengikuti protes terlarang bulan lalu. Pernyataan polisi Thailand, Jumat (20/11/2020), ini muncul sehari setelah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha memerintahkan aparat agar bertindak tegas terhadap para pengunjuk rasa.
Kedua pelajar itu mengatakan bahwa mereka telah dipanggil polisi karena melanggar keputusan darurat pemerintah dengan bergabung dalam protes pada 15 Oktober lalu. Saat itu puluhan ribu pemrotes menentang larangan berunjuk rasa, menutut Prayuth mundur dan reformasi monarki.
“Bahkan jika kamu menangkap pemimpin aktivis tidak akan cukup tempat di penjara karena ratusan aktivis lainnya akan bangkit,” kata satu dari dua pelajar yang dipanggil, Benjamaporn Novas (15), lewat pesan singkatnya kepada Reuters.
Kelompok “Pelajar Nakal” berencana menggelar protes pada Sabtu (21/11/2020). Benjamaporn mengatakan, dirinya tetap akan ikut demonstrasi ini. Satu pelaajr lagi yang menghadapi dakwaan adalah Lopanapat Wangpaisit (17).
Juru bicara Kepolisian Thailand Yingyos Thepjumnong, menyampaikan, kedua orang pelajar tersebut dipanggil dan diberi tahu soal dakwaan terhadap mereka dan akan diinterogasi di hadapan orangtua dan pengacara mereka.
Protes yang pecah sejak Juli lalu dan dimotori oleh pelajar dan anak-anak muda telah menjadi tantangan terbesar Thailand dalam beberapa tahun terakhir. Penangkapan puluhan aktivis yang dilakukan polisi untuk meredam protes hanya membawa lebih banyak lagi pemrotes yang turun ke jalan.
PM Prayuth telah menolak tuntutan para aktivis untuk meletakkan jabatan dan membantah tuduhan bahwa dirinya merekayasa pemilu tahun lalu untuk mempertahankan posisinya yang ia dapatkan tahun 2014 melalui kudeta.
Para pemrotes juga menuntut perubahan konstitusi yang ditulis oleh junta sebelumnya dan membatasi kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn. Mereka menyatakan bahwa monarki telah telah memberikan militer kesempatan untuk mendominasi politik selama berpuluh tahun.
Terkait tuntutan para aktivis ini dan sejak gelombang protes terjadi pihak Istana Kerajaan tidak memberikan tanggapan.
Pada Kamis (19/11/2020), PM Prayuth mengancam menggunakan semua perangkat hukum untuk menindak tegas para aktivis. Hal ini meningkatkan kekhawatiran di antara aktivis bahwa pemerintah juga akan memakai UU penghinaan keluarga kerajaan yang sudah tidak dipakai lebih dari dua tahun.
“Situasinya terus meningkat,” ujar Prayuth. “Ada risiko peningkatan menjadi kekerasan. Jika tidak diatasi akan menghancurkan negara dan monarki yang kita cintai,” ujarnya lagi.
“Pemerintah akan mengintensifkan tindakan dan memakai semua undang-undang, semua pasal, untuk menindak para pemrotes yang melanggar hukum,” kata Prayuth tanpa menjelaskan lebih jauh maksudnya.
“Prayuth telah menyatakan perang dengan warga,” kata pengacara HAM sekaligus pemimpin aktivis Arnon Nampa. “Bagi pegawai negeri yang tidak berpihak, anda perlu menentukan sikap apakah akan hidup di masa lalu atau membangun masa depan bersama kami.”
Meskipun secara umum demonstrasi di Thailand berjalan damai, polisi tetap memakai gas air matan dan meriam air untuk membubarkan demonstrasi, Selasa (17/11/2020) lalu. Setidaknya 55 orang terluka akibat gas air mata dan enam orang terluka tembak.
Protes besar lainnya rencananya digelar di depan Biro Properti Mahkota pada Rabu. Para aktivis mengatakan, mereka mencoba merebut kembali kekayaan kerajaan yang telah diperoleh di bawah kendali personal raja.(REUTERS)