Gerakan prodemokrasi di Thailand yang dipimpin generasi muda terus bergulir hingga sekarang. Polisi setempat diperintahkan untuk lebih bersikap tegas terhadap pengunjuk rasa.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha memerintahkan aparat keamanan untuk menindak tegas protes prodemokrasi, Kamis (19/11/2020), setelah sebelumnya polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan unjuk rasa di Bangkok.
Thailand telah diguncang demonstrasi besar-besaran yang dimotori oleh generasi muda yang menuntut perubahan konstitusi, reformasi pemerintahan monarki, dan menuntut PM Prayuth untuk mundur sejak Juli 2020.
Selasa (17/11/2020), bentrokan di luar gedung parlemen antara kelompok prodemokrasi dengan royalis garis keras menandai peningkatan tajam kekerasan. Unjuk rasa Selasa itu menjadi protes paling keras sejak gerakan prodemokrasi dimulai Juli lalu.
Dalam peristiwa itu, lebih dari 50 orang terluka, enam orang di antaranya menderita luka akibat tembakan. Protes ini digelar untuk mendorong anggota parlemen menyetujui mosi yang akan mengarah pada perubahan substantif konstitusi, termasuk membatasi kekuasaan monarki.
Sehari kemudian, sekitar 20.000 orang berkumpul di persimpangan Ratchaprasong yang menjadi pusat perniagaan di Bangkok dan para pemrotes membuat grafiti antikerajaan di luar Markas Besar Kepolisian Nasional Thailand.
Juru bicara Kepolisian Nasional Thailand, Yingyos Thepjamnong, memperingatkan demonstran untuk tidak mengganggu markas besar kepolisian. Lebih dari 2.000 personel polisi telah dikerahkan untuk menjaganya. Sementara PM Prayuth mengimbau pengunjuk rasa untuk menahan diri dari tindak kekerasan.
Prayuth, yang naik menjadi perdana menteri melalui kudeta pada 2014, mengeluarkan pernyataan peringatan bagi pemrotes bahwa mereka akan berhadapan dengan kekuatan hukum penuh. ”Situasi belum mengarah lebih baik dan kemungkinan berkembang dari konflik ke kekerasan,” ujarnya.
”Apabila ini dibiarkan, akan merusak bangsa dan lembaga yang kita cintai,” ujar Prayuth merujuk pada monarki Thailand.
Prayuth juga mengatakan, pemerintah dan aparat keamanan perlu mengintesifkan tindakan mereka serta menegakkan semua aspek hukum.
Hal itu bisa berarti bahwa akan ada lebih banyak yang didakwa dengan pasal pencemaran nama baik kerajaan yang biasanya dipakai untuk menindak setiap bentuk kritik terhadap monarki, termasuk materi yang dibagikan atau diunggah di media sosial.
Juni lalu, Raja Maha Vajiralongkorn meminta Pemerintah Thailand untuk menunda penggunaan undang-undang lese majeste atau penghinaan atas kerajaan. Namun, kelompok pengkritik hak asasi manusia menyebutkan bahwa ada undang-undang lain yang bisa dipakai aparat penegak hukum untuk menyasar aktivis demokrasi.
Ketika dikonfirmasi apakah pemerintah memberikan restunya kepada polisi untuk menggunakan dakwaan lese majeste, juru bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri, mengatakan tidak akan mengesampingkan penggunaan lese majeste.
”Para pemrotes harus menghormati hukum secara keseluruhan. Kami tidak merinci apakah akan memakai undang-undang tertentu,” katanya.
Raja duduk di puncak kekuasaan Thailand didukung oleh militer dan klan miliarder kerajaan. Keluarga kerajaan menikmati dukungan dari mayoritas kaum konservatif yang lebih tua.
Para anggota parlemen selama sepekan ini membahas berbagai usulan perubahan konstitusi yang pada umumnya mengecualikan reformasi pada monarki.
Pada Rabu kemarin, mereka sepakat untuk mengkaji dua usulan majelis perancang konstitusi dan menolak usulan untuk merevisi peran kerajaan serta mengubah komposisi senat. (AFP/AP)