Tentara Australia Lakukan Kejahatan Perang, Canberra Minta Maaf kepada Kabul
Laporan tim penyidik Angkatan Darat Australia menyebutkan anggota pasukan khusus Angkatan Darat Australia melakukan kejahatan perang ketika bertugas di Afghanistan. Para pelaku dan atasannya menutupi kejahatan itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
CANBERRA, KAMIS — Sebanyak 25 orang, yang terdiri dari anggota dan mantan anggota Angkatan Darat Australia, diduga melakukan kejahatan perang selama menjalankan tugas di Afghanistan tahun 2009-2013. Mereka dituduh membunuh 39 penduduk lokal Afghanistan, di antaranya ada yang berstatus tahanan dan ada juga yang dibunuh meski tidak memegang senjata.
Temuan ini disampaikan langsung oleh Jenderal Angus Campbell, Panglima Angkatan Bersenjata Australia (ADF), Kamis (19/11/2020). Hasil investigasi besar-besaran selama empat tahun terakhir yang dilakukan ADF menemukan bahwa pembunuhan di luar hukum itu dilakukan oleh 25 personel pasukan khusus Angkatan Darat Australia dalam 23 insiden terpisah tahun 2009-2013.
”Temuan ini adalah tuduhan pelanggaran paling serius atas tingkah laku militer dan nilai-nilai profesional yang dipegang oleh seorang anggota militer,” kata Campbell.
Dia mengatakan, semua pembunuhan yang diduga dilakukan oleh anggota pasukan khusus AD Australia dilakukan di luar pertempuran. Dia menegaskan, pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil dan tahanan tidak pernah dapat diterima.
Dalam penjelasannya, Campbell mengatakan, tim penyelidik menemukan bahwa kejahatan itu dimulai pada 2009, tetapi sebagian besar kejahatan terjadi tahun 2012-2013. Terkait kasus itu, Mayor Jenderal Paul Beretton, hakim pada Mahkamah Agung Negara Bagian New South Wales dan anggota tentara cadangan, menelusuri lebih dari 20.000 halaman dokumen, mewawancarai lebih dari 400 saksi mata, dan mengamati sekitar 25.000 foto.
Dari penelusuran tersebut, ia menemukan adanya pelanggaran berat nilai-nilai kemiliteran oleh 25 personel pasukan khusus Angkatan Darat Australia, yaitu membunuh petani, tahanan, dan warga sipil lain di luar pertempuran.
Minta maaf
Campbell, atas nama ADF, menyatakan permohonan maaf kepada rakyat Afghanistan. ”Kepada rakyat Afghanistan, atas nama Angkatan Pertahanan Australia, saya dengan tulus dan tanpa pamrih meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh tentara Australia,” kata Campbell.
Campbell mengatakan, dirinya akan berbicara langsung dengan koleganya di militer Afghanistan untuk meminta maaf dan mengungkapkan penyesalan atas kejahatan yang dilakukan anggotanya di lapangan.
Campbell menilai, tindakan sebagian anggota pasukan Australia itu tidak menghormati kepercayaan yang diberikan rakyat Afghanistan kepada militer Australia.
”Tindakan itu akan menghancurkan kehidupan keluarga dan rakyat Afghanistan, menyebabkan rasa sakit dan penderitaan yang tak terukur. Tindakan itu juga akan membahayakan misi kami dan keselamatan mitra Afghanistan dan koalisi kami,” tutur Campbell.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan pembentukan tim penyelidik khusus yang akan membantu proses penuntutan. Ia juga dikabarkan telah menghubungi Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan mengungkapkan kesedihannya atas hasil temuan tim penyelidik.
”Perdana Menteri Australia mengungkapkan kesedihannya yang paling dalam atas kesalahan yang dilakukan oleh beberapa pasukan Australia di Afghanistan,” cuit Kantor Kepresidenan Afghanistan di Twitter.
Perintah membunuh
Peran pasukan Australia dalam perang di Afghanistan adalah membantu pasukan koalisi dan Amerika Serikat memerangi kelompok Taliban. Keterlibatan mereka dibagi menjadi dua fase, yaitu Operation Slipper yang dimulai sejak tahun 2001 hingga 2014 dan Operation Highroad yang dimulai sejak tahun 2015 hingga sekarang.
Sebanyak 26.000 tentara Australia bertugas di Afghanistan selama fase pertama, yaitu Operation Slipper. Kini hanya tersisa 1.500 tentara Australia di negara itu.
Morrison mengatakan, laporan setebal 531 halaman yang sebagian isinya sudah diedit akan memukul warga Australia secara keseluruhan dan keluarga para pelaku. Laporan yang ”dihilangkan” salah satunya berisi tentang perintah perwira senior untuk membunuh warga Afghanistan yang tidak bersenjata.
Secara terbuka, Jenderal Campbell mengungkapkan, salah satu catatan memalukan bagi militer Australia di dalam laporan itu adalah anggota patroli yang baru diterjunkan menembak mati seorang tahanan untuk ”merasakan pembunuhan perdananya”, yang dikenal di kalangan militer sebagai praktik ”blooding”.
Tidak sekadar menembak mati tahanan, mereka juga berupaya menghapus jejak praktik ”blooding” tersebut dengan menempatkan senjata atau radio atau benda apa pun yang bisa mendukung klaim palsu bahwa orang yang tewas itu terbunuh dalam baku tembak.
Atau, upaya lainnya adalah mereka yang diduga bertanggung jawab akan melakukan adegan perkelahian dengan senjata atau peralatan asing untuk membenarkan tindakan mereka. Bahkan, para pelaku dan rekannya secara sengaja menempatkan benda-benda tertentu, seperti pistol, radio telekomunikasi, atau granat, di sekitar jenazah atau mayat warga yang mereka bunuh agar orang tersebut tampak sebagai ”musuh” apabila didokumentasikan dalam bentuk foto atau video.
Laporan tersebut juga menyebutkan, sebagian besar kejahatan yang dituduhkan itu sengaja ditutupi oleh komandan patroli, yang biasanya berpangkat kopral atau sersan, sehingga sulit terungkap. Sementara perwira dengan pangkat dan tanggung jawab yang lebih tinggi yang seharusnya bertanggung jawab atas tindak tanduk anak buah mereka dan peristiwa di lapangan biasanya terhindar dari tanggung jawab seperti ini.
Laporan tersebut melukiskan gambaran budaya yang ada di lingkungan kemiliteran Ausralia, seperti tentara bersaing dengan orang-orang dari kesatuan lainnya, laporan kematian dibersihkan atau dipalsukan, ataupun banyak prosedur lain yang merusak integritas militer. ”Mereka yang ingin berbicara diduga diintimidasi dan didiskreditkan,” kata Campbell. (AP/REUTERS)