Tidak sulit memahami mengapa Jepang-Australia menjalin pakta pertahanan. Faktor China, salah satunya. ASEAN perlu meredam ketegangan yang mungkin muncul.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Jalinan pakta pertahanan Jepang-Australia, yang disepakati oleh pemimpin kedua negara, Selasa (17/11/2020), secara kebetulan berlangsung hanya dua hari setelah kedua negara—bersama China—baru saja menandatangani kesepakatan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.
Dua pertemuan itu—satu digelar secara virtual dan merupakan forum multilateral, sedangkan satunya lagi merupakan pertemuan langsung secara bilateral—tidak berhubungan secara langsung. Meski demikian, koinsiden semacam itu perlu dicermati karena menggambarkan realitas dinamika geopolitik di kawasan.
KTT ASEAN kerap digambarkan, dan ini diakui diplomat, sebagai forum yang adem, penuh keguyuban, dan jauh dari konfrontasi. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kepiawaian para pemimpin ASEAN merangkul dan mengajak bicara para pemimpin negara mitra, termasuk mereka yang berseteru, di forum setara. Namun, dua hari setelah menyaksikan penandatanganan RCEP bersama 13 pemimpin negara lain di KTT ASEAN, termasuk PM China Li Keqiang, PM Jepang Yoshihide Suga dan PM Australia Scott Morrison bertemu di Tokyo.
Morrison adalah tamu pertama Suga setelah Suga dilantik sebagai PM, September lalu. Seperti diberitakan koran ini, Rabu (18/11/2020), kedua pemimpin menyepakati pakta pertahanan bilateral, yang disebut Kesepakatan Akses Timbal Balik (Reciprocal Access Agreement). Ini pakta pertahanan pertama Jepang setelah 1960 saat mereka menjalin pakta keamanan dengan AS, yang diimplementasikan dengan penempatan 50.000 tentara AS di Jepang dan sekitarnya.
Melalui kesepakatan ini, militer Jepang dan Australia dapat saling berkunjung, menggelar latihan dan operasi bersama, serta—jika dibutuhkan—dimungkinkan bagi militer Jepang melindungi pasukan Australia. Dalam pernyataan bersama, Suga dan Morrison mengungkapkan kekhawatiran tentang situasi di Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Hong Kong. Meski tidak menyebut negara, cukup jelas sasaran keduanya adalah China.
Di Laut China Selatan, Beijing dituduh melakukan militerisasi di wilayah perairan sengketa; di Laut China Timur, Jepang dan China bersengketa soal Kepulauan Senkaku. Australia juga bersitegang dengan Beijing soal pembatasan ekspor sejumlah produk Australia ke China. Seperti pakta pertahanan lain, kesepakatan ini merupakan hak dan bagian dari kedaulatan untuk menjaga keamanan dan kepentingan mereka. Namun, jika pakta ini akan berujung pada pengerahan kekuatan militer, hal ini dapat membuat panas situasi kawasan.
Adalah peran ASEAN dalam pertemuan yang melibatkan negara itu untuk terus mengingatkan mereka agar—seperti tertera pada Pernyataan Ketua ASEAN di KTT terakhir— ”tidak menggunakan ancaman atau kekuatan” dalam menyelesaikan persoalan di kawasan. Jika berbicara tentang ASEAN, Indonesia masih diakui memegang peran penting.