Calon Vaksin Dikuasai Negara Maju, Negara Miskin-Berkembang Tertinggal
Negara miskin dan berkembang diperkirakan bakal mengantre lama untuk mendapatkan vaksin Covid-19 yang aman dan efektif. Produksi awal vaksin diprioritaskan bagi negara kaya yang sudah memesan dari awal.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Hasil sementara uji klinis fase ketiga calon vaksin Covid-19 dari Pfizer/ BioNTech dan Moderna disambut baik dan menumbuhkan harapan negara-negara di dunia untuk mengakhiri pandemi. Namun, ketika sudah disetujui untuk digunakan secara luas, negara miskin masih harus mengantre lama agar mendapatkan vaksin. Hal ini karena pesanan dari negara-negara kaya akan dilayani terlebih dulu.
Persoalan kesetaraan akses terhadap vaksin Covid-19 telah menjadi kekhawatiran banyak pihak di dunia. Para pakar memperingatkan bahwa sementara negara kaya bisa lancar melakukan vaksinasi Covid-19 sampai akhir 2021, negara miskin dan berkembang bakal menghadapi tantangan besar yang menghambat akses mereka terhadap vaksin.
Dengan harga 40 dollar AS atau sekitar Rp 563.000 untuk dua dosis vaksin Pfizer/BioNTech, negara-negara kaya berebut memesan puluhan hingga ratusan juta dosis di awal. ”Jika kita hanya memiliki vaksin dari Pfizer dan setiap orang butuh dua dosis, jelas itu akan jadi dilema etis yang sulit,” kata Trudie Lang, Direktur The Global Health Network di Nuffield Department of Medicine University of Oxford, Inggris.
Mengantisipasi besarnya permintaan akan vaksin Covid-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membentuk fasilitas Covax pada April lalu. Fasilitas Covax merupakan mekanisme untuk memastikan distribusi vaksin Covid-19 di dunia dilakukan secara merata.
Dalam Covax berhimpun pemerintah, ilmuwan, organisasi masyarakat sipil, swasta, juga filantropi. Namun, sampai saat ini, Pfizer belum termasuk dalam Covax.
Rachel Silverman, peneliti di Center for Global Development, mengatakan bahwa produksi awal vaksin Covid-19 kemungkinan besar tidak akan sampai ke negara miskin dan berkembang.
Berdasarkan kesepakatan pembelian yang ditandatangani Pfizer, Silverman menghitung bahwa 1,1 miliar dosis vaksin telah habis dipesan oleh negara-negara maju. AS, misalnya, sudah memesan 600 juta dosis calon vaksin Covid-19. ”Tidak banyak yang tersisa untuk negara lain,” ujarnya.
Beberapa negara maju yang sudah memesan langsung vaksin Covid-19, seperti Jepang dan Inggris, juga tergabung dalam Covax. Hal ini memungkinkan ada sejumlah kecil dosis yang dapat diterima negara berkembang melalui mekanisme pengadaan bersama. Sementara AS, yang sudah memesan banyak vaksin Covid-19, tidak tergabung dalam Covax meski hal ini bisa saja berubah di bawah pemerintahan Presiden terpilih AS Joe Biden.
Wakil Kepala Program Imunisasi Unicef Benjamin Schreiber menekankan pentingnya semua negara memiliki akses yang setara terhadap vaksin Covid-19. ”Kita sungguh-sungguh harus menghindari situasi negara-negara kaya menyerap habis semua vaksin sehingga tidak cukup dosis vaksin untuk negara miskin,” katanya.
Di luar aspek etik, tingkat pemerataan distribusi vaksin ternyata memiliki hubungan dengan tingkat kematian akibat Covid-19. Para peneliti di Northwestern University, AS, memublikasikan hasil studi mereka yang mengkaji hubungan antara sebaran vaksin dan kematian akibat Covid-19.
Dua skenario
Mereka menghitung dua model skenario. Pertama, skenario ”alokasi tidak kooperatif” yang memprediksi apa yang akan terjadi jika 50 negara kaya memonopoli 2 miliar dosis produksi vaksin Covid-19 pertama yang tersedia di dunia. Skenario kedua adalah vaksin didistribusikan berdasarkan jumlah penduduk, bukan kemampuan keuangan negara.
Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa skenario pertama bisa menurunkan kematian global akibat Covid-19 sebesar 33 persen. Sementara dengan skenario kedua, angka kematian global mampu ditekan hingga 61 persen.
Mengomentari hasil studi itu, aliansi vaksin Gavi, yang juga mengelola Covax bersama WHO, menyebutkan, ”Keuntungan negara-negara kaya memonopoli vaksin lebih kecil dari kerugian yang diderita negara berpenghasilan rendah jika negara-negara tidak bekerja sama.”
Namun, seandainya biaya untuk membeli vaksin bagi negara miskin tersedia sekalipun, keperluan untuk logistik penyimpanan vaksin tetap menjadi tantangan besar.
Vaksin Covid-19 buatan Pfizer harus disimpan di suhu superdingin (sekitar minus 80 derajat celsius). Jika tidak, vaksin tersebut akan rusak. ”Sementara mayoritas lemari pendingin di banyak rumah sakit di dunia minus 20 derajat celsius,” ujar Lang.
Pfizer dan sejumlah negara telah berbulan-bulan menyiapkan protokol penyimpanan vaksin. Namun, ”tak satu pun lokasinya berada di negara miskin dan berkembang”. (AFP)