Unjuk Rasa Warnai Pembahasan Awal Amendemen Konstitusi
Unjuk rasa kembali pecah di Thailand. Kelompok pro-demokrasi kembali memperjuangkan tuntutan mereka, yaitu perubahan konstitusi, PM Prayuth turun dari jabatan, dan reformasi kekuasaan kerajaan.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
BANGKOK, SELASA — Unjuk rasa kembali pecah di Bangkok, Selasa (17/11/2020), saat anggota parlemen tengah memulai diskusi awal perubahan konstitusi. Polisi anti-huru-hara Thailand terpaksa menyemprot pengunjuk rasa antipemerintah dengan meriam air untuk membubarkan massa. Unjuk rasa kelompok antipemerintah itu menuntut amendemen konstitusi, pencopotan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dari jabatannya, serta reformasi kekuasaan monarki.
Polisi sebelumnya telah menegaskan bahwa wilayah di sekitar Gedung Parlemen—sejauh 50 meter—tidak boleh digunakan untuk berunjuk rasa. Dari sejumlah tayangan televisi, para pengunjuk rasa sempat memberikan perlawanan dengan melemparkan kembali granat asap ke arah polisi. Mereka pun berusaha membongkar barikade kawat berduri. Melalui aku Twitter-nya, kelompok Free Youth mengunggah foto-foto polisi anti-huru-hara dengan sebutan ”Anak buah diktator”.
Salah satu isu yang dibahas dalam diskusi awal parlemen adalah isu tentang Senat. Di Thailand, anggota Senat saat ini semuanya dipilih oleh Prayuth. Merekalah yang turut memperlancar kembalinya Prayuth ke kursi perdana menteri pascapemilu yang dinilai oleh sejumlah pihak penuh dengan kecurangan.
Para pengunjuk rasa dari kelompok pro-demokrasi menuduh bahwa Prayuth—yang saat kudeta militer tahun 2014 menjabat sebagai panglima—kembali duduk di kursi Perdana Menteri secara tidak adil. Alasannya, konstitusi telah diubah oleh juncta militer untuk lebih condong mendukung partai pro-militer. Para pengunjuk rasa juga mengatakan konstitusi, yang ditulis dan diberlakukan di bawah pemerintahan militer, tidak demokratis.
Desakan perubahan pada konstitusi itu didukung oleh anggota parlemen dari kelompok oposisi.
Pada hari yang sama, sebelum kelompok antipemerintah berunjuk rasa, para pendukung Kerajaan—ditandai dengan berbaju warna kuning—berunjuk rasa di luar Gedung Parlemen, menyerukan agar parlemen menolak perubahan konstitusi.
”Mengubah konstitusi akan mengarah pada penghapusan monarki,” kata pemimpin kelompok pendukung Kerajaan, Warong Dechgitvigrom. ”Kami tidak ingin mereka mengubah apa pun di monarki,” kata Samutprakan Chum (58), seorang pendukung kerajaan. ”Monarki itu surgawi, kita berada di neraka, kita jauh di bawah mereka, kita harus tahu tempat kita.”
Tantangan
Terkait tuntutan reformasi kekuasaan kerajaan, tampaknya isu itu tidak akan disentuh oleh parlemen. Pertimbangan pada bagian apa pun tentang monarki ditentang keras oleh pemerintah dan pendukungnya, yang menganggap institusi itu tidak tersentuh.
Selain itu, meskipun mendiskusikan perubahan konstitusi, parlemen Thailand tampaknya tidak akan melakukan perubahan spesifik yang akan dituangkan dalam piagam baru. Sebaliknya, parlemen kemungkinan akan membentuk komite perancang konstitusi untuk membuat piagam baru. Langkah ini memungkinkan mereka mengulur waktu hingga berbulan-bulan.
Saat ini setidaknya ada tujuh rancangan amendemen konstitusi yang harus dikaji oleh anggota parlemen Thailand dalam sesi gabungan, yaitu DPR dan Senat. Di Thailand, perubahan konstitusi membutuhkan pemungutan suara bersama dari kedua badan tersebut. Setiap mosi yang lolos harus melalui pembacaan kedua dan ketiga setidaknya sebulan setelah pemungutan suara minggu ini.
Sidang Parlemen merupakan upaya pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha untuk mengambil inisiatif menjauh dari gerakan pro-demokrasi. Apalagi, mereka memiliki tuntutan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu reformasi monarki. Tuntutan tersebut disebut-sebut memicu perdebatan besar di negara itu.
Sejak penghapusan monarki absolut pada 1932 dan diganti dengan monarki konstitusional, Thailand telah melakukan setidaknya 20 perubahan konstitusi. (AP/Reuters)