Milisi TPLF menyerang markas tentara dua pekan lalu. Pemerintah Etiopia membalas dengan serangan besar-besaran. Addis Ababa menolak berdamai dengan TPLF.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
ADDIS ABABA, SELASA — Pemerintah Etiopia mempersiapkan serangan besar-besaran ke kelompok bersenjata etnis Tigray. Addis Ababa menolak imbauan komunitas internasional untuk menghindari penggunaan senjata dalam konflik dengan etnis yang pernah berkuasa di Etiopia itu.
Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed mengumumkan, tenggat sudah lewat bagi milisi Tigray untuk menyerah. ”Karena tenggat sudah selesai, dalam beberapa hari akan dilakukan penegakan hukum,” ujarnya, Selasa (17/11/2020).
Penerima Nobel Perdamaian 2019 itu mengultimatum milisi Tigray pada Jumat lalu. Ia meminta seluruh milisi Tigray menyerah paling lambat Senin (16/11/2020). Sayangnya, milisi tetap terlibat baku tembak dengan militer Etiopia. Militer memulai serangan besar-besaran setelah sejumlah milisi Tigray menyerang markas tantara Etiopia dua pekan lalu.
Selepas serangan itu, sedikitnya 25.000 orang mengungsi ke Sudan yang bersebelahan dengan Provinsi Tigray. Provinsi itu dinamai sesuai dengan nama etnis terbesar di sana. Sebagian pengungsi menuding ada pembersihan etnis oleh kelompok orang yang datang bersamaan dengan kendaraan tempur Etiopia. ”Kalau Anda orang Tigray dan tertangkap pasukan pemerintah, Anda dalam masalah,” kata salah seorang pengungsi, Gerdo Burhan (24).
Seperti banyak pengungsi lain, Burhan terpisah dari keluarga selama perjalanan dari Tigray ke Sudan. Dalam tiga dekade terakhir, sudah berkali-kali Sudan jadi tempat pengungsian orang Etiopia karena perang dan kelaparan.
Perang terus
Dalam 120 tahun terakhir, Etiopia menjadi lokasi sembilan perang, baik perang saudara maupun perang melawan pihak asing. Perang saudara terakhir secara resmi usai pada 2018. Perang antara milisi di Ogaden itu dimulai pada 1994 dan benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Abiy. Perdamaian di Ogaden dan Eritria mengantarkan Abiy memperoleh Nobel Perdamaian 2019.
Selain perdamaian di Ogaden, Abiy juga sibuk menata ulang negaranya yang pernah dikuasai pemerintahan koalisi pimpinan etnis Tigray pada 1991-2018. Etnis Tigray, yang jumlahnya setara 6 persen dari total 110 juta penduduk Etiopia, pernah menempati jabatan penting di negara itu.
Salah satu pejabat etnis Tigray adalah Tedros Adhanom Gebreyesus, yang kini jadi Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia. Tedros pernah jadi menteri kesehatan dan menteri luar negeri. Ia juga pernah jadi Kepala Dinas Kesehatan Tigray.
Pada masa pemerintahan Abiy, orang-orang Tigray disingkirkan dari berbagai posisi penting. Addis Ababa juga menolak memenuhi tuntutan Barisan Pembebasan Orang Tigray (TPLF), kekuatan politik dan bersenjata terbesar di Tigray, untuk menggelar pemilu pada 2020. Addis Ababa beralasan, pemilu harus ditunda di tengah pandemi Covid-19.
Pada September 2020, Tigray menggelar pemilu yang tidak diakui Addis Ababa dan tidak dipantau oleh sejumlah pihak independen. Penolakan atas hasil pemilu dan penyingkiran orang-orang Tigray dari berbagai jabatan penting membuat orang Tigray semakin marah kepada Addis Ababa.
Puncaknya, milisi yang bergabung dengan TPLF menyerang markas tentara pada 3 November 2020. Serangan itu dibalas dengan pengerahan pasukan besar-besaran oleh Addis Ababa ke Tigray. Juru bicara militer Etiopia, Letnan Jenderal Asrat De Niero, menyebut milisi TPLF menyerang pada dini hari kala penghuni markas sedang tidur.
Tidak hanya menyasar pasukan Addis Ababa, TPLF juga menembakkan roket ke Eritrea, negara yang memisahkan diri dari Etiopia. TPLF menuding Eritrea membantu Addis Ababa menyerang Tigray.
Addis Ababa menyebut semua pemimpin TPLF sebagai penjahat. Sejumlah rekening bank yang terkait dengan TPLF telah dibekukan. (AP/AFP/REUTERS)