Perempuan Spanyol Memperjuangkan Hak atas Cara Persalinan di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat ibu hamil sulit untuk melahirkan melalui persalinan normal, seperti dalam kasus di Spanyol ini. Padahal, melahirkan secara normal merupakan hak perempuan yang mesti dihormati dokter dan perawat.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Memori tujuh bulan lalu masih terbayang dalam benak Teresa. Perawat berusia 40 tahun ini saat itu sedang mengalami kontraksi dalam proses persalinan anak ketiganya secara normal. Dokter dan perawat membawanya ke ruang bersalin di sebuah rumah sakit umum di Spanyol utara. Namun, keinginannya untuk melahirkan secara normal pupus saat itu.
Dia baru sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya ketika perawat memasang kain biru untuk menghalangi pandangannya dan mulai memasukkan obat bius, anestesi, melalui cairan infus. Teresa, yang juga seorang perawat dan tahu akan hak pasien, sempat memohon kepada dokter dan perawat agar dibolehkan bersalin secara normal.
”Saya memohon agar mereka tidak melakukan pembedahan. Saya berkata, saya ingin terus mendorong agar bayi keluar secara normal. Tetapi, tidak ada yang berbicara kepada saya atau bahkan menatap mata saya. Sepertinya saya tidak ada artinya,” kata Teresa.
Setelah operasi selesai dan bayi lahir dengan selamat, tim dokter dan perawat tidak membiarkan si jabang bayi dan ibunya melakukan kontak kulit, termasuk meletakkannya di dada sang ibu, mencari puting payudara sebagai proses inisiasi menyusui dini (IMD). Permintaan Teresa untuk melakukan dua hal itu ditolak. Bayi perempuan yang baru saja dilahirkannya dipisahkan, dibawa ke ruang khusus bayi untuk diserahkan kepada suaminya.
Meski sudah lewat setengah tahun, sampai sekarang Teresa masih terus berjuang untuk terikat dengan putrinya itu, termasuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif bagi putri bungsunya. Dia merasa hancur secara psikologis karena tim dokter dan perawat mengabaikan keinginannya.
Kondisi itu juga akhirnya yang membuat Teresa mundur dari rumah sakit tempatnya bekerja, yang juga tempatnya melahirkan. Trauma dan mimpi buruk masih membayanginya.
"Saya hampir tidak mengenali diri saya sendiri secara fisik atau mental,” katanya.
Komplikasi Covid-19
Situasi yang dihadapi Teresa dengan proses persalinannya cukup kompleks. Sebelum hari-H persalinan, Teresa harus menjalani karantina di rumah selama dua pekan karena dia terpapar Covid-19 meski tidak menunjukkan gejala (asimtomatis). Hasil tes menunjukkan, dia mengidap penyakit yang sudah memakan korban lebih dari 1,3 juta orang meninggal secara global itu. Tidak hanya dirinya, sang suami juga mengidap Covid-19.
Teresa memberanikan diri menceritakan hal ini meski memilih menyembunyikan nama aslinya. ”Saya ingin menunjukkan kepada rumah sakit apa yang hilang dari saya dan menghentikannya terjadi pada orang lain,” katanya.
Perempuan lain, Sara, telah 11 tahun mencari keadilan atas serangkaian intervensi yang dilakukan oleh perawat atau dokter tanpa penjelasan atau persetujuannya selama persalinan. Insiden itu terjadi di sebuah rumah sakit di sebuah kota di barat laut Spanyol. Meski tidak mengalami kompleksitas situasi pandemi seperti Teresa, tindakan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya itu membuat Sara menderita gangguan stres pascatrauma. Bayinya juga mengalami infeksi.
”Mereka telah melanggar hak asasi manusia sehingga saya tidak bisa melakukan apa-apa,” katanya.
Francisca Fernandez Guillen, pengacara yang mendampingi Sara dan Teresa, mengatakan bahwa krisis kesehatan karena pandemi Covid-19 telah memperparah masalah lama terkait perlakuan terhadap perempuan saat proses persalinan di Spanyol. Dia menggambarkan, prosedur bersalin yang berbelit-belit, komunikasi yang buruk, dan tidak transparansinya proses pengambilan keputusan bagi perempuan yang tengah menanti persalinan adalah kondisi yang terjadi di negara itu.
Fernandez mengatakan, ada lonjakan keluhan tentang tindakan medis dan pelanggaran hak pasien sejak pandemi melanda di Spanyol. Ia mengaku, setiap minggu dia dihubungi oleh perempuan yang merasa hak-haknya sebagai pasien diabaikan, termasuk tindakan memisahkan sang ibu dengan bayi yang baru dilahirkannya atau dipaksa melahirkan tanpa pendamping karena protokol rumah sakit.
Kini, dia juga tengah mempersiapkan tindakan hukum atas nama Teresa.
Protokol kesehatan
Fernandez dan Teresa mungkin akan menghadapi jalan terjal dalam menuntaskan kasusnya. Dalam dokumen protokol kesehatan rumah sakit tempat Teresa menjalani proses persalinannya yang dilihat oleh Reuters disebutkan bahwa Teresa bisa terhindar dari persalinan secara caesar karena dia sedang dalam tahap kontraksi, mendorong bayi keluar dari tubuhnya.
Pada saat yang sama, dokumen itu juga menjelaskan bahwa persalinan secara caesar sebagai cara terbaik untuk melindungi keselamatan tim perawat dan dokter dari Covid-19.
Akan tetapi, Fernandez mengatakan bahwa keputusan sepihak yang diambil tim dokter dan perawat yang menangani persalinan Teresa bertentangan dengan hak-hak pasien. ”Seorang profesional dapat melindungi diri mereka sendiri, tetapi tidak pernah dengan mengorbankan perempuan atau bayi seperti yang dialami Teresa,” katanya.
Tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Eropa mengakui bahwa kekerasan ginekologi dan kebidanan tersebar luas, mulai dari masalah kekurangan sumber daya di fasilitas kesehatan hingga budaya patriarki. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menekankan bahwa perempuan hamil dan bersiap menjalani proses persalinan, baik yang divonis positif Covid-19 maupun tidak, berhak penuh atas pengalaman persalinan yang positif.
Bahkan, menurut WHO juga, persalinan dengan caesar tidak diperlukan bagi perempuan yang dinyatakan mengidap Covid-19. Tindakan persalinan secara caesar hanya boleh dilakukan jika secara medis dapat dibenarkan.
Sebuah studi terhadap lebih dari 17.000 perempuan Spanyol pada 2018 dan 2019, yang diterbitkan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health pada Oktober 2020, menemukan bahwa 38 persen perempuan dipersepsikan telah mengalami kekerasan kebidanan.
”Menawarkan informasi kepada perempuan dan meminta persetujuan yang diinformasikan hampir tidak dipraktikkan dalam sistem perawatan kesehatan,” demikian disebutkan dalam penelitian itu.
Para pembela hak-hak perempuan menilai, hak ibu mengalami kemunduran di tengah pandemi secara global. Perempuan hamil dan bidan di Perancis telah memprotes tindakan memaksa perempuan mengenakan masker selama persalinan. Di Inggris, pembatasan pasangan yang hadir pada pertemuan antenatal dan selama persalinan telah memicu kemarahan.
Franka Cadee, Presiden Konfederasi Bidan Internasional, menyatakan bahwa banyak bidan dan dokter kandungan berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi terhambat oleh pendekatan kelembagaan. Ia mendorong tim dokter dan perawat menggunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat untuk mengurangi risiko tertular atau menularkan. Akan tetapi, pada saat yang sama, tim dokter dan perawat harus mengutamakan kondisi psikologis ibu dan bayi yang dilahirkan.
”Kelahiran terbaik adalah kelahiran saat calon ibu dapat berkata, ’Saya mengerti apa yang terjadi’. Tindakan itu dilakukan dengan persetujuan saya dan orang-orang yang ada di sekeliling saya adalah orang-orang yang terampil dan penuh kasih,” kata Cadee.
Dia mengatakan, memberi pasien hak-haknya secara penuh adalah investasi masa depan bagi bidan, dokter, dan tenaga medis lain. ”Kita harus berinvestasi untuk masa depan kita, terutama di masa pandemi ini, dengan memastikan bahwa kaum perempuan bisa melahirkan secara sehat, mereka (kaum perempuan) bisa membina, merawat, anak-anak dan keluarganya,” kata Cadee. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)