Kadin AS Khawatir Negaranya Tertinggal karena Tak Ikut RCEP
Kadin AS bagaimanapun tetap menyambut baik manfaat liberalisasi perdagangan dari RCEP. Kalangan eksportir, pekerja, hingga petani AS membutuhkan akses yang lebih besar ke pasar Asia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON DC, SELASA — Kamar Dagang dan Industri Amerika Serikat, Senin (16/11/2020), menyatakan kekhawatirannya bahwa AS akan tertinggal setelah 15 negara Asia-Pasifik, Minggu (15/11/2020), membentuk blok perdagangan bebas terbesar di dunia lewat perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.
Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) itu dinilai akan memperkuat peran dominan China dalam perdagangan regional.
Otoritas Kadin AS bagaimanapun tetap menyambut baik manfaat liberalisasi perdagangan dari RCEP. Dikatakan bahwa kalangan eksportir, pekerja, hingga petani AS membutuhkan akses yang lebih besar ke pasar Asia.
Namun, dikatakan bahwa Washington tidak boleh bergabung dengan blok itu dan berupaya memperkuat kerja sama perdagangan secara bilateral ataupun multilateral lainnya.
Blok dagang RCEP mencakup 30 persen dari total perekonomian global—khususnya nilai produk domestik bruto (PDB)—dan 30 persen populasi global. Di luar 10 negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), turut bergabung pula China, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Lewat perjanjian dagang itu, pada tahun-tahun mendatang aneka tarif perdagangan secara progresif akan diturunkan di banyak sektor perdagangan.
Amerika Serikat absen dari RCEP dan bahkan juga mundur dari pihak inisiator blok dagang Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Langkah itu pun meninggalkan negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu dari dua kelompok perdagangan yang menjangkau kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Wacana kembalinya AS ke TPP/CPTPP yang kini dikendalikan Jepang kembali terbuka setelah Presiden Donald Trump kalah dalam pemiihan presiden awal bulan ini dari lawannya, Joe Biden.
Myron Brilliant, Wakil Presiden Eksekutif Kadin AS, mengatakan, pemerintahan Trump telah memilih cara dan responsnya dalam menghadapi praktik perdagangan yang dinilai Washington tidak adil oleh China. Namun, langkah-langkah Trump dinilai hanya mengamankan peluang baru yang terbatas bagi eksportir AS di bagian lain Asia.
Trump memilih membawa AS keluar dari negosiasi TPP pada awal 2017. Negosiasi itu dimulai dari zaman pendahulunya, Presiden Barack Obama, sebagai bagian dari poros AS ke Asia. Trump belum menyelesaikan kesepakatan perdagangan baru yang komprehensif di Asia sejak itu, kata Brilliant.
Mengingat kekurangan RCEP, kami tidak akan merekomendasikan AS untuk bergabung.
”Mengingat kekurangan RCEP, kami tidak akan merekomendasikan AS untuk bergabung,” kata Brilliant.
Ia menilai perjanjian-perjanjian perdagangan AS baru-baru ini mencakup aturan yang lebih kuat dan dapat mencakup penegakan aturan di berbagai masalah. Sebut saja masalah perdagangan digital, hambatan nontarif, dan perlindungan kekayaan intelektual.
”Amerika Serikat harus, bagaimanapun, perlu mengadopsi upaya strategis yang lebih berwawasan ke depan untuk mempertahankan kehadiran ekonomi AS yang solid di kawasan itu,” katanya.
”Jika tidak, kita berisiko berada di luar dan melihat ke dalam salah satu mesin utama pertumbuhan dunia yang terus berjalan tanpa kita.”
Brilliant mencatat bahwa ekspor AS ke pasar Asia Pasifik terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir, tetapi pangsa pasar perusahaan AS telah menurun. Dia pun menggarisbawahi pentingnya pasar Asia-Pasifik.
Kawasan itu diproyeksikan bakal mengalami pertumbuhan rata-rata lebih dari 5 persen pada 2021 dan ekspansi yang cepat di kalangan kaum kelas menengahnya.
Para analis mengatakan, manfaat ekonomi RCEP relatif kecil dan akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terwujud. Namun, memang dinilai kesepakatan itu adalah kemenangan geopolitik bagi China saat AS tampaknya mundur dari Asia-Pasifik seiring kebijakan luar negeri ”America First” Presiden Trump.
Sebagaimana dikutip CNBC, belum jelas pula sejauh ini apakah AS akan menegosiasikan kesepakatan perdagangan besarnya dengan ekonomi-ekonomi lain di kawasan di bawah Presiden terpilih Joe Biden.
Mereka menjelaskan bahwa kesepakatan besar mencakup beberapa hal dengan latar belakang meningkatnya ketegangan AS-China dan kekhawatiran tentang terjadinya deglobalisasi. Lewat RCEP, misalnya, terlihat bahwa Asia Timur sangat terbuka untuk bisnis dan mengakui manfaat ekonomi dari integrasi perdagangan yang lebih dalam. Hal itu turut mengurangi persepsi bahwa China berbalik lebih ke dalam yang menekankan pasar domestiknya.
Selain itu, lewat blok perdagangan seperti RCEP, ada semacam penanda bahwa ketika menyangkut kebijakan ekonomi, ekonomi Asia-Pasifik tidak ingin memilih antara AS dan China. Hal itu berlaku bahkan untuk negara-negara dengan aliansi keamanan yang kuat dengan AS, seperti Jepang dan Korsel.
Para analis mengatakan, RCEP adalah kesepakatan perdagangan yang lebih lemah dibandingkan dengan TPP/CPTPP. Tarif di antara banyak negara anggota RCEP sudah rendah, mengingat ada kesepakatan perdagangan multilateral bilateral atau lebih kecil di antara mereka sehingga manfaat ekonomi langsungnya, menurut mereka, bakal terbatas. Gareth Leather, ekonom senior Asia di konsultan Capital Economics, misalnya, mengatakan, lebih dari 70 persen perdagangan di antara 10 negara ASEAN telah memberlakukan bebas tarif.
”Pengurangan tarif tambahan di bawah RCEP hanya akan berlaku secara bertahap dan itu akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum perjanjian tersebut beroperasi penuh,” kata Leather dalam sebuah laporan tertulis. (REUTERS)