Pertumbuhan merupakan aliran darah bagi kapitalisme. Persoalannya sekarang ialah bagaimana membuat pertumbuhan dapat dinikmati sebanyak mungkin orang atau publik.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Krisis yang ditimbulkan pandemi Covid-19 sangat luas dan dalam. Semua bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya, terdampak. Pengaruhnya pun sangat menghunjam. Negara yang selama 10 atau 20 tahun terakhir tak pernah mengalami resesi akhirnya mendapati perekonomiannya tumbuh negatif dua triwulan berturut-turut.
Pesimisme muncul akibat krisis karena pandemi itu. Hasil pembangunan bertahun-tahun seperti hilang tak berbekas. Kemiskinan yang mulai berkurang kini malah bertambah.
Namun, dengan mengubah cara pandang, krisis akibat pandemi ini sesungguhnya memberi peluang besar bagi terciptanya pembangunan yang jauh lebih berkeadilan. Tentu saja, syaratnya, otoritas memahami peluang itu dan mewujudkannya lewat berbagai peraturan yang dikeluarkannya.
Gagasan bahwa krisis akibat pandemi Covid-19 sebagai peluang untuk membentuk tatanan ekonomi yang lebih berkeadilan ini disampaikan perempuan profesor dari University College London, Mariana Mazzucato. Dalam tulisannya, ”Capitalism After the Pandemic” di Foreign Affairs, edisi November/Desember 2020, ia menyatakan, seperti halnya krisis keuangan besar tahun 2008, krisis akibat pandemi merupakan kesempatan untuk memperbaiki ekonomi agar lebih berkeadilan. Bedanya, pada 2008, otoritas gagal memanfaatkan krisis untuk membentuk tatanan baru ekonomi, sedangkan krisis akibat pandemi sekarang masih terbuka untuk dimanfaatkan guna mewujudkan cita-cita mulia itu.
Menurut Mazzucato, saat terjadi krisis, seperti pada 2008, uang dalam jumlah besar dari otoritas mengalir ke perusahaan-perusahaan besar, terutama yang bergerak di sektor keuangan. Khusus saat krisis keuangan 2008, ia menulis, pemerintah di seluruh dunia menyuntikkan lebih dari 3 triliun dollar AS ke dalam sistem keuangan.
Praktik inilah yang dikritik Mazzucato, peraih John von Neumann Award 2020. Menurut dia, saat krisis, dana besar, yang berasal dari publik dan dikumpulkan lewat pajak, mengalir ke korporasi-korporasi. Namun, saat suasana normal dan keuntungan menghampiri korporasi, manfaat yang diterima publik hampir tak ada.
Dalam skema ekonomi semacam itu, publik selalu mendapat sisi buruk pertumbuhan ekonomi, seperti lingkungan yang rusak dan tidak sehat. Jadi, mereka tak hanya harus menanggung pajak yang dipakai untuk membayari gaji CEO, tetapi juga kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi.
Kesempatan emas
Pandemi, menurut Mazzucato, seharusnya menjadi kesempatan emas bagi otoritas untuk mengubah skema itu. Otoritas jangan mau begitu saja mengalirkan dana ke korporasi yang terdampak krisis akibat pandemi. Otoritas harus mampu membuat perjanjian bahwa untuk mendapatkan dana bantuan, ada kewajiban yang harus dipenuhi korporasi.
Salah satu syarat itu ialah sebagian besar dana harus bermanfaat bagi publik atau warga. Mazzucato mencontohkan, Denmark menawarkan untuk membayar 75 persen biaya gaji pekerja pada awal pandemi dengan syarat perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Denmark juga menolak menalangi perusahaan yang berusaha menghindari pajak serta melarang penggunaan bantuan untuk dividen dan pembelian kembali (buyback) saham. Di Austria dan Perancis, maskapai penerbangan dibantu dengan syarat mengurangi emisi karbon.
Pertumbuhan merupakan aliran darah bagi kapitalisme. Persoalannya sekarang ialah bagaimana membuat pertumbuhan dapat dinikmati sebanyak mungkin orang atau publik. Ketika negara berperan sangat menentukan selama krisis akibat pandemi, sudah saatnya situasi itu dipergunakan untuk membentuk tatanan baru yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.