Ekonomi Jepang Berhasil Keluar dari Resesi di Triwulan Ketiga
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode Juli-September menjadi kabar baik bagi Pemerintah Jepang. Tokyo telah menghindari langkah-langkah penguncian atau penutupan wilayah yang keras seperti sebelumnya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Ekonomi Jepang berhasil keluar dari resesi pada triwulan III-2020 dengan mencatat pertumbuhan produk domestik bruto 5,0 persen secara triwulanan. Kenaikan permintaan domestik dan ekspor membantu mendorong pertumbuhan ekonomi negara itu secara triwulanan.
Ekonomi Jepang mengalami resesi menyusul rekor kontraksi setelah pandemi Covid-19 dan kenaikan pajak konsumsi membuat ekonomi negara itu berbalik arah di awal tahun. Ekonomi Jepang menyusut 8,2 persen pada triwulan II-2020, lebih dari perkiraan sebelumnya 7,9 persen. Itu adalah angka terburuk bagi Jepang sejak data pembanding tersedia pada 1980, bahkan melebihi dampak krisis keuangan global tahun 2008.
Namun, tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode Juli-September menjadi kabar baik bagi Pemerintah Jepang. Tokyo telah menghindari langkah-langkah pembatasan atau penutupan wilayah yang keras sebagaimana diterapkan beberapa negara lain. Pemerintah Jepang mencoba menyeimbangkan pencegahan penyebaran virus korona baru dengan upaya melindungi ekonominya.
Hasil pertumbuhan ekonomi 5 persen tersebut mengalahkan ekspektasi ekonom, yaitu 4,4 persen. Para analis memperkirakan pemulihan kemungkinan akan berlanjut hingga triwulan terakhir tahun ini. ”Antara Juli dan September, kegiatan ekonomi di Jepang mengalami kembali status yang agak normal karena pemerintah mencabut keadaan darurat di negara itu,” kata Naoya Oshikubo, ekonom senior di Sumitomo Mitsui Trust, dalam sebuah analisis tertulisnya. ”Ke depan, kami percaya bahwa angka PDB pada triwulan berikutnya akan terus menunjukkan tanda-tanda pemulihan meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat.”
Oshikubo memproyeksikan permintaan yang cenderung melambat di bulan-bulan mendatang tetap harus diantisipasi. Perlambatan itu terutama terkait dengan gelombang kedua Covid-19 yang belum mereda di Eropa dan Amerika Serikat.
Jepang sudah berjuang dengan ekonomi yang stagnan dan dampak dari kenaikan pajak konsumsi yang diterapkan tahun lalu sebelum pandemi melanda. Oshikubo memroyeksikan permintaan yang cenderung melambat di bulan-bulan mendatang tetap harus diantisipasi. Perlambatan itu terutama terkait dengan gelombang kedua Covid-19 yang belum mereda di Eropa dan Amerika Serikat.
Jepang mengalami wabah Covid-19 dengan skala yang lebih kecil dibandingkan dengan beberapa negara yang paling parah terkena. Kasus terkonfirmasi Covid-19 di Jepang mendekati 120.000 kasus dan kematian di bawah 2.000 kasus. Namun, Perdana Menteri Yoshihide Suga pada pekan lalu mengeluarkan peringatan atas peningkatan infeksi yang terjadi baru-baru ini. Di sisi lain, Suga mengatakan kampanye pemerintah untuk mempromosikan pariwisata domestik tidak akan dihentikan untuk saat ini.
Jepang memberlakukan keadaan darurat nasional pada April. Kebijakan itu diberlakukan seiring peningkatan jumlah kasus saat itu. Namun, tingkat pembatasan di negara itu jauh lebih longgar daripada di banyak negara. Pemberlakuan pembatasan dilakukan tanpa mekanisme penegakan hukum, misalnya untuk menutup bisnis atau menahan orang tetap berada di rumah.
Keadaan darurat pun kemudian dicabut Pemerintah Jepang pada Juni. Sejak saat itu pemerintah enggan memberlakukan kembali pembatasan. Suga menginstruksikan para menterinya pekan lalu menyusun paket stimulus ekonomi baru guna mendorong ekonomi menghadapi pandemi. Awal tahun ini, pemerintah mengeluarkan pengeluaran besar-besaran, termasuk mengalokasikan 900 dollar AS dana stimulus bagi setiap orang dewasa dan anak-anak di negara itu.
Tom Learmouth, ekonom Jepang di lembaga Capital Economics, mengatakan, efek dari upaya stimulus terlihat jelas dalam data terbaru. Belanja publik, misalnya, naik sekitar 2,2 persen secara triwulanan. ”Kami memperkirakan PDB akan pulih lebih lanjut 1,2 persen secara triwulanan dan untuk mencapai tingkat sebelum virus—meskipun bukan tingkat kenaikan pajak pra-penjualan—pada paruh kedua tahun depan,” tulisnya dalam sebuah catatan. ”Sementara gelombang ketiga virus korona baru yang sekarang menjadi kenyataan menjadi risiko penurunan. Asumsi kami saat ini adalah bahwa itu akan tertahan seperti gelombang kedua, dengan pembatasan minimal pada kegiatan ekonomi.”
Pada bulan Oktober lalu bank sentral Jepang, Bank of Japan, menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi dan inflasi untuk tahun fiskal ini. Namun, dewan gubernur bank sentral mengatakan, para pejabat siap mengungkap langkah-langkah dukungan baru jika diperlukan. Untuk satu tahun hingga Maret 2021, Bank of Japan memperkirakan ekonomi Jepang akan menyusut 5,5 persen. Pada perkiraan Juli lalu, ekonomi pada periode yang sama diperkirakan mengalami kontraksi 4,7 persen. (AP/AFP)