Menlu: Negara Harus Adaptif Atasi Kejahatan Transnasional
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi mengingatkan bahwa kejahatan transnasional, termasuk perdagangan manusia, tetap berlangsung meski pandemi tengah melanda semua negara. Kerja sama diperlukan untuk mengatasinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
JAKARTA, SABTU — Kejahatan terorganisasi di tengah pandemi yang melanda dunia tidak pernah berhenti. Pemalsuan obat, serangan siber, hingga penyelundupan dan perdagangan manusia masih terus terjadi.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengingatkan negara-negara agar mengeluarkan kebijakan yang adaptif untuk menangani kejahatan lintas negara terorganisasi seperti ini.
Hal itu adalah salah satu poin yang disampaikan Menlu Retno dalam pidatonya pada Peringatan 20 Tahun Konvensi PBB Melawan Kejahatan Lintas Negara Terorganisasi (UNTOC) yang diselenggarakan secara virtual dari Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, Jumat (13/11/2020). Hadir dalam kegiatan virtual itu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Presiden Majelis Umum PBB Volkar Bozkir, dan Direktur Eksekutif UNODC Ghada Waly.
Menlu Retno menyatakan, tidak ada satu solusi untuk semua hal (one size fits all) untuk semua tipe kejahatan terorganisasi. Karakteristik kejahatan transnasional yang memiliki kecenderungan berbeda antara satu negara dan negara lain membuat pendekatan yang diambil pun harus bersifat situasional.
Selain itu, dia juga mengingatkan pentingnya membangun dan memelihara kerja sama antarnegara secara global. ”Tidak ada satu negara pun yang dapat mengatasi masalah ini sendirian. Tidak sebelumnya dan tidak dalam masa pandemi Covi-19 ini,” kata Menlu Retno.
Tipe dan karakteristik kejahatan, ditambah dengan situasi di setiap negara yang berbeda satu sama lain, membuat pendekatan dan solusi yang diambil setiap pemerintah dipastikan akan berbeda. Menlu Retno menekankan soal kebijakan dan solusi yang adaptif serta masih relevannya keberadaan UNTOC untuk mengatasi kejahatan lintas negara terorganisasi, baik sekarang maupun di masa depan.
Konvensi PBB Melawan Kejahatan Lintas Negara Terorganisasi (UNTOC) diadopsi di Palermo, Italia, pada tahun 2000. Konvensi tersebut menjadi instrumen hukum internasional utama yang mengatur masalah penanggulangan perdagangan orang, penyelundupan manusia, dan perdagangan gelap senjata api. Indonesia telah menjadi negara pihak pada konvensi tersebut sejak tahun 2009.
Secara khusus, Menlu Retno juga menyinggung masalah pengungsi etnis Rohingya sebagai bentuk kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia terorganisasi di kawasan. Indonesia saat ini menampung lebih dari 900 orang yang telah menjadi korban perdagangan manusia dan telantar di laut lepas. Indonesia kembali menekankan pentingnya penyelesaian masalah Rohingya dari akar masalahnya melalui repatriasi secara sukarela, aman, dan bermartabat. Bagi Indonesia, Myanmar adalah rumah bagi pengungsi Rohingya.
Aung Suu Kyi menang besar
Situasi di Myanmar, negara asal warga Rohingya, masih belum berpihak kepada mereka. Meskipun seperti yang diperkirakan, Aung San Suu Kyi dan partai yang dipimpinnya, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), menang telak dalam pemilihan umum Myanmar, dukungan pada isu Rohingya masih terpinggirkan. Bahkan, sejumlah pihak memiliki catatan serius atas proses pemilu di Myanmar terkait keberadaan warga Rohingya.
LND telah mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan perhitungan sendiri dan hal itu ditentang partai oposisi serta mendapat kritik dari kelompok hak asasi manusia (HAM).
Salah satu hal yang dikritik oleh kelompok pegiat HAM adalah adanya penamaan dua kandidat dari kelompok etnis Rohingya yang oleh komisi pemilu Myanmar dilabeli sebagai Bengali—menyiratkan bahwa mereka migran dari Bangladesh—dalam aplikasi pemilu Myanmar. Sebuah hal yang ditolak oleh warga etnis Rohingya.
Kelompok kampanye HAM Myanmar, Justice for Myanmar, menyatakan, aplikasi itu berisiko mengobarkan nasionalisme dan bertentangan dengan fakta bahwa etnis Rohingya menempati Negara Bagian Rakhine sudah berabad-abad lamanya. Setelah mendapat kritik, pranala yang mengarahkan orang untuk mengunduh aplikasi itu tidak aktif dan aplikasi itu tidak bisa diunduh dari toko aplikasi.
Aplikasi ini dikembangkan oleh komisi pemilu dengan dukungan dari STEP Democracy, proyek yang didanai Uni Eropa dan dilaksanakan di Myanmar oleh Institut Internasional untuk Demokrasi dan Bantuan Pemilihan (International IDEA) yang berbasis di Swedia serta Asia Foundation yang berbasis di AS.
Sampai Jumat (13/11/2020) malam, komisi pemilihan tidak mengeluarkan pernyataan apa pun soal aplikasi itu. Mereka malah mengumumkan hasil pemungutan suara pemilu Myanmar yang menujukkan bahwa LND telah memenangi 396 kursi, lebih dari 60 persen kursi parlemen.
Sementara Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang terafiliasi dengan militer hanya memperoleh 30 kursi. Sampai jelang tengah malam, komisi pemilihan melaporkan, hanya tiga kursi tersisa yang masih harus diperebutkan.
Jepang, India, dan Singapura sudah memberi selamat kepada Suu Kyi dan partainya.
Meski LND sudah mengumumkan kemenangan, analis politik yang berbasis di Yangon, Khin Zaw Win, mengingatkan adanya potensi kekacauan yang timbul di negara itu dalam beberapa bulan mendatang sebagai konsekuensi dari komisi pemilihan umum yang tidak kompeten.
Secara umum para pengamat menyimpukan, pemungutan suara berjalan lancar meski jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya rendah. Pada saat bersamaan, mereka mengritik komisi pemilihan tidak transparan karena adanya pembatalan pemungutan suara di banyak daerah dengan etnis minoritas, seolah-olah karena alasan keamanan.
Langkah itu membuat 1,5 juta pemilih kehilangan haknya, memicu keluhan di daerah-daerah yang sudah bergolak, di mana lapangan pertarungan telah condong mendukung LND.
Dalam komunikasi yang belum pernah terjadi sebelumnya antara musuh, kelompok bersenjata Tentara Arakan meminta militer dan pemerintah mengadakan pemilihan sela sesegera mungkin di daerah-daerah di mana pemungutan suara dibatalkan. Militer Myanmar dalam sebuah pernyataan menyambut baik usulan itu.
Kelompok HAM juga mengecam proses pemungutan suara yang membuat hampir semua Muslim Rohingya dicabut haknya, baik mereka yang mendekam di kamp pengungsi Bangladesh maupun yang dilucuti kewarganegaraannya di Myanmar. (AFP/REUTERS)