Biden Diperkirakan Tetap Sulit Wujudkan Perdamaian Palestina
Dukungan Donald Trump pada Israel lebih karena alasan politis. Sementara dukungan pasangan Joe Biden-Kamala Harris ditengarai lebih karena alasan ideologis.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Timur Tengah akan tetap diperhatikan oleh pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden, presiden terpilih AS. Walakin, perdamaian Palestina-Israel diperkirakan akan tetap sulit diwujudkan.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hamdan Basyar, Jumat (13/11/2020), mengatakan, Timur Tengah penting karena 55 persen cadangan minyak dunia ada di sana. Sampai sekarang, minyak masih menjadi sumber utama dunia.
Dari 15 negara pemilik cadangan minyak terbesar, 7 negara di antaranya ada di Timur Tengah dan Afrika utara. ”Kebijakan AS di Timur Tengah adalah mengamankan akses strategis pada cadangan minyak,” ujar Hamdan dalam diskusi ”Relasi Amerika Serikat dengan Timur Tengah di Era Joe Biden” yang diselenggarakan LIPI, Jumat (13/11/2020), di Jakarta.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kitbiah, juga hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.
Hamdan mengatakan, kebijakan kedua adalah mendukung Israel dan ketiga untuk menjaga pangkalan militer di Timur Tengah. Dukungan AS pada Israel selalu teguh, siapa pun presiden AS.
Pada masa Donald Trump, dukungan diwujudkan dengan cara pengakuan pendudukan Israel terhadap Tepi Barat dan Lembah Jordania. Padahal, komunitas internasional terus menentang pendudukan itu.
Bahkan, Biden sekalipun terus menunjukkan dukungan kepada Israel, baik kala menjadi senator maupun Wakil Presiden AS. Kini, setelah terpilih sebagai Presiden AS, Biden diragukan akan mengubah dukungan pada Israel.
Wakil Biden, Kamala Harris, juga berkali-kali menunjukkan dukungan kepada Biden. ”Jika dukungan masa Trump ditunjukkan secara demonstratif, dukungan di era Biden cenderung akan lebih moderat,” kata Tia.
Menurut Tia, dukungan Trump pada Israel lebih karena alasan politis. Trump membutuhkan suara kelompok pemilih AS yang mendukung Israel. Sementara dukungan Biden dan Harris ditengarai lebih karena alasan ideologis.
Dalam beberapa kesempatan, Biden mengaku sebagai Zionis. Ia mengacu pada gerakan yang memercayai dan mengupayakan pendirian serta kejayaan Israel. ”Dia mengatakan tidak perlu menjadi Yahudi untuk menjadi Zionis,” ujar Tia merujuk Biden.
Karena itu, sulit mengharapkan perdamaian Palestina-Israel akan terwujud di masa Biden. Hal paling maksimum yang bisa dilakukan Biden adalah mendorong Palestina-Israel berunding. Pada periode kedua Barack Obama, kala Biden jadi Wapres AS, Palestina memutuskan berhenti berunding dengan Israel.
Iran
Hamdan mengatakan, pangkalan-pangkalan militer AS kini terutama tersebar di seluruh negara kaya minyak dan gas bumi di Timur Tengah. Hanya Iran yang bebas dari pangkalan militer AS.
Walakin, pangkalan-pangkalan AS praktis mengepung Iran yang dianggap sebagai musuh utama AS. Di barat Iran, AS punya pangkalan di Uni Emirat Arab, Bahrain, Arab Saudi, Irak, hingga Turki. Sementara di timur Iran, AS punya pangkalan di Afghanistan.
Di masa Biden, menurut Tia, AS akan berusaha kembali ke Kesepakatan Nuklir Iran 2015 (Joint Comprehensive Plan on Action/JCPOA). AS keluar secara sepihak dari JCPOA pada Mei 2018, lalu menerapkan serangkaian sanksi keras.
Trump beralasan, rangkaian sanksi untuk memaksa Iran merundingkan program pengembangan peluru kendali dan bom nuklirnya. Washington juga menilai JCPOA gagal mencegah Iran meneruskan campur tangan di negara-negara tetangganya. Campur tangan Iran disebut sebagai salah satu penyebab ketidakstabilan kawasan.
Tia menyebut, AS akan tetap meneruskan tuntutan pada Iran. Walakin, caranya mungkin akan lebih lembut. Bahkan, Biden mungkin akan membawa AS kembali ke JCPOA.
Bagaimanapun, JCPOA ditandatangani AS kala Biden masih menjadi pembuat keputusan di AS. Kala itu, Biden menjadi Wapres AS pada masa pemerintahan Obama.
Bagi AS, menurut Hamdan, Iran adalah salah satu negara musuh dan harus terus dihadapi. AS akan mempertahankan kebijakan relasi musuh-teman di kawasan.
Negara-negara yang dianggap teman, seperti UEA, Arab Saudi, Oman, dan Bahrain, tidak akan diganggu meski pemerintahannya tidak demokratis.
Sementara pemerintahan demokrasi prosedural, seperti Suriah, Iran, dan Irak, terus diganggu. AS juga akan tetap mempertahankan kebijakan di Timur Tengah dalam kerangka perang melawan terorisme.
Sampai sekarang, berbagai kelompok teror masih terus berkembang di Timur Tengah. AS masih harus menjaga kehadiran di kawasan untuk memastikan kekuatan utama kelompok teror bisa ditekan.