Di Bawah Biden, AS Melunak di Indo-Pasifik dan Tidak Konfrontatif pada China
Dibandingkan dengan Presiden Donald Trump, kebijakan luar negeri Joe Biden di kawasan Indo-Pasifik dan Asia Tenggara akan lebih dinamis dan cenderung lunak. Biden tidak akan mencari keunggulan, tetapi keberimbangan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah terpilihnya Joe Biden-Kamala Harris sebagai presiden dan wakil presiden Amerika Serikat, kebijakan AS akan cenderung melunak di wilayah Asia Tenggara khususnya dan kawasan Indo-Pasifik pada umumnya. Meski demikian, bukan tidak mungkin AS bersikap lebih tegas apabila China dipandang melakukan tindakan yang berlebihan untuk mengontrol kawasan ini secara keseluruhan.
Pemerintah AS juga diyakini akan mengalihkan pandangannya ke wilayah Timur Tengah, terutama dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel, yang dinilai memiliki dampak lebih signifikan.
Pandangan tersebut disampaikan peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar dan Siswanto Ahmed, dalam diskusi daring, Kamis (12/11/2020). Dalam diskusi bertema ”Peta Kebijakan AS di Kawasan Asia Tenggara Pasca Terpilihnya Biden”, keduanya memiliki pandangan sama soal kemungkinan adanya perubahan kebijakan luar negeri AS pasca-Trump meski tidak akan terlalu ekstrem.
Dalam pandangannya, Siswanto meyakini Biden tidak akan bersikap terlalu konfrontatif dengan China di kawasan Asia Tenggara, seperti yang dilakukan Donald Trump dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, terutama dalam isu Laut China Selatan. Dia menilai Biden dan kabinetnya akan memilih mencari kesetimbangan baru di kawasan ini meski AS juga tidak menginginkan seluruh pengaruhnya hilang dan tertutup oleh semakin asertifnya sikap China di Asia Tenggara atau bahkan di kawasan Indo-Pasifik.
”Kebijakan Biden adalah antitesis kebijakan Trump yang cenderung ke dalam dan proteksionis. Biden memilih multilateralisme walaupun ada penekanan yang berbeda,” kata Siswanto.
Siswanto menjelaskan, terdapat pandangan yang berbeda dalam menginterpretasikan kawasan Asia Tenggara bagi AS. Meski sama-sama menilai Asia Tenggara sebagai wilayah penting bagi AS, Biden memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan pendahulunya, Barack Obama. Obama memiliki kedekatan historis dengan wilayah ini, khususnya Indonesia. Biden, menurut Siswanto, menilai wilayah Timur Tengah lebih menarik untuk digarap, terutama karena sumber konflik ada di wilayah itu meski pada saat yang sama tidak akan meninggalkan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik.
Dengan pandangan yang lebih terbuka dan tidak konfrontatif, tambah Siswanto, kebijakan luar negeri AS di bawah Biden akan memiliki kesamaan pandangan dengan kebijakan luar negeri Indonesia, khususnya memandang Indo-Pasifik dan Asia Tenggara sebagai kawasan yang terbuka. Indonesia dengan pandangan tentang Sentralitas ASEAN akan memiliki keuntungan lebih saat AS nanti dipimpin Biden dibandingkan dengan AS di bawah Trump.
Adapun Dewi Fortuna Anwar menilai, meski kawasan Asia Tenggara penting bagi AS dan kebijakan luar negerinya, kawasan itu tidak akan menjadi prioritas Negara Paman Sam. Menurut dia, kebijakan luar negeri AS akan sangat dinamis di wilayah ini bergantung pada kondisi dan situasi lingkungan di sekitarnya, terutama soal keamanan.
Pasca-perang dingin, kawasan Asia Tenggara bukan medan pertempuran kebijakan luar negeri AS, terutama perang ideologi. Namun, ketika terorisme meningkat di seluruh dunia, AS menilai wilayah Asia Tenggara menjadi salah satu medan tempur yang utama, di luar wilayah Timur Tengah, khususnya Indonesia dan Filipina.
Perbedaan dengan Trump
Trump, menurut Dewi Fortuna, mencoba mengarahkan rivalitas AS-China ke paradigma lama, yaitu perang ideologi. Hal ini bisa dilihat dalam pernyataan-pernyataan Trump atau Menlu Pompeo yang memilih menggunakan istilah ”Partai Komunis China” dan bukan Beijing atau nama langsung Presiden China Xi Jinping.
Dewi Fortuna mengatakan, Biden tampaknya akan memilih kebijakan nonkonfrontatif untuk mengimbangi keberadaan China di kawasan. Dalam bidang ekonomi, misalnya, Biden kemungkinan akan melanjutkan kerja sama dengan negara-negara yang terletak di tepi Sungai Mekong melalui skema kerja sama Lower Mekong Initiative. Bersama Jepang, AS membantu negara-negara yang terletak di tepi Sungai Mekong, seperti Laos dan Kamboja, untuk mengembangkan perekonomiannya.
Kerja sama dengan negara-negara yang terletak di hilir Sungai Mekong itu diharapkan menjadi salah satu cara agar negara-negara tersebut tidak terjebak dalam perangkap utang program Prakarsa Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang digulirkan China.
Tidak hanya itu, menurut Dewi Fortuna, Pemerintah AS akan menggelontorkan dana cukup besar untuk menambah nilai investasinya di wilayah ini guna membendung pengaruh China di kawasan. Apalagi, dia menilai sektor swasta kurang memiliki ketertarikan untuk menanamkan modalnya di wilayah ini karena setiap negara di kawasan memiliki banyak pekerjaan rumah yang dipandang tidak memberikan keuntungan maksimal bagi swasta.