AS-Eropa Kuasai Vaksin Pfizer, WHO Ingatkan soal Keadilan Akses pada Vaksin
Di tengah kegembiraan ada tambahan calon vaksin Covid-19, WHO menyuarakan dua kerisauan. WHO menekankan akses yang adil atas vaksin. WHO juga mengajak komunitas internasional membantu distribusi vaksin di Asia-Afrika.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
GENEVA, RABU — Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO kembali mengingatkan pentingnya akses dan distribusi yang adil untuk vaksin Covid-19. Lembaga itu juga mengingatkan tantangan yang akan dialami Asia dan Afrika dalam pendistribusian vaksin.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan kembali soal akses yang adil setelah kembali diumumkan calon vaksin yang siap diedarkan. Pengumuman terbaru disampaikan Pfizer yang mengembangkan vaksin bersama BioNtech.
”Seperti diperkirakan, kita akan mempunyai vaksin pada akhir tahun,” ujarnya dalam pertemuan para Menteri Kesehatan anggota WHO, Selasa (10/11/2020) malam waktu Geneva, Swiss.
Kerisauan Tedros soal akses vaksin, antara lain, didasarkan fakta Pfizer sudah mengikat kontrak bernilai miliaran dollar AS dengan Amerika Serikat dan sebagian Eropa. Dengan kontrak itu, AS dan sebagian Eropa akan mendapatkan vaksin lebih dulu.
Keadilan akses atas vaksin tidak hanya disuarakan WHO. Dalam berbagai forum internasional, Indonesia terus menerus mengulangi isu itu.
Selain soal keadilan akses, WHO juga risau soal cara pendistribusian. Vaksin harus disimpan pada suhu minus 70 derajat celsius selama proses pengiriman. Jika suhu lebih hangat dari itu, vaksin akan rusak.
Prosedur tersebut menyulitkan negara-negara Asia dan Afrika yang beriklim hangat. Karena itu, WHO mengajak komunitas internasional menyediakan pula sokongan bagi Afrika untuk mengatasi tantangan distribusi.
Kasus di Brasil
Selain Pfizer, sejumlah perusahaan farmasi lain yang pengembangan vaksinnya semakin mendekati tahap akhir. Salah satunya adalah Sinovac yang menguji coba vaksin di sejumlah negara. Sayangnya, uji coba di Brasil harus dihentikan sementara waktu. Badan Pengawas Kesehatan Brasil, Anvisa, menghentikan uji coba mulai Senin.
Mitra Sinovac di Brazil, Butantan Biomedical Institute, menyebut uji coba dihentikan karena kejadian yang tidak terkait dengan vaksin. Direktur Butantan Dimas Covas mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk menghentikan uji coba.
Ia berharap uji coba bisa segera dimulai lagi. Insiden terkait salah satu relawan uji coba sudah diperiksa dan dipastikan tidak terkait dengan vaksin.
Dalam pernyataan terpisah, Sinovac menyebut sudah berkomunikasi dengan Butantan dan Avinsa. ”Pekerjaan terkait uji klinis di Brazil akan diteruskan secara ketat sesuai syarat tata kelola kesehatan yang baik,” demikian disebut Sinovac.
Sinovac dan Butantan pernah mengumumkan akan ada uji klinis yang melibatkan hingga 130.000 orang di Brasil.
Sementara di China, puluhan ribu orang telah disuntik calon vaksin yang dikembangkan sejumlah perusahaan farmasi di negara itu. Pemerintah China menyetujui vaksinasi massal dalam kerangka program darurat.
Keputusan itu mencemaskan sejumlah pihak. Ada kekhawatiran tentang efek samping yang diketahui pada vaksin yang uji klinisnya dinilai terlalu tergesa-gesa. Pada Oktober 2020, Beijing menyatakan tidak menemukan efek samping serius pada rangkaian uji coba vaksin-vaksin China.
Selain Sinovac, penghentian uji coba juga dialami AstraZeneca yang mengembangkan vaksin bersama Oxford University. Ada sukarelawan uji coba yang menunjukkan gejala misterius setelah mengikuti uji coba. Kini, kasus itu sedang diperiksa. (AP/AFP/REUTERS)