Apakah Penghitungan Ulang akan Mengubah Kekalahan Trump?
Calon presiden petahana Partai Republik, Donald Trump, menolak kemenganan pesaingnya, Joe Biden, dalam pemilu pada 3 November lalu. Dia menuntut penghitungan suara ulang. Apakah tuntutan itu bisa mengubah hasil?
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Tidak lama setelah proses pemungutan suara, 3 November 2020, usai, calon presiden petahana yang didukung Partai Republik, Donald Trump, sudah mengklaim bahwa dirinya memenangi pertarungan menghadapi pesaingnya, Joe Biden, yang didukung Partai Demokrat. Di saat yang sama, Trump juga menuding bahwa ada pihak-pihak yang ingin mencuri keunggulan perolehan suaranya dan, lebih luas, ”mencuri demokrasi” dari para pemilih, yaitu rakyat Amerika.
Kini, Trump dan tim kampanyenya berharap penghitungan ulang akan membantu Joe Biden-Kamala Harris, presiden dan wakil presiden AS terpilih, melangkah masuk ke Gedung Putih.
Namun, walaupun penghitungan ulang adalah sebuah tindakan yang umum dalam sebuah pemilu, terutama untuk pemilihan di negara bagian atau di tingkat lokal, hanya tiga proses penghitungan ulang dalam dua dekade terakhir mengubah hasil. Dan, pemilihan presiden tidak ada di dalamnya.
Apakah pemilihan ulang?
Ahli hukum pada Sekolah Hukum William & Mary, Profesor Rebecca Green, mengatakan, penghitungan ulang adalah sebuah rutinitas biasa dalam proses pemilu. ”Itu adalah hal yang biasa. Tidak ada yang spesial,” kata Profesor Green.
Dia menjelaskan, penghitungan suara pertama yang dilakukan petugas pemungutan suara biasanya cukup akurat. Walau ada perbedaaan, jumlahnya kecil. Perbedaan yang terjadi, menurut dia, lebih disebabkan penilaian yang berbeda tentang cara keabsahan surat suara yang oleh pemilih ditandai dengan tulisan tangan atau lainnya.
Proses pemungutan suara di AS dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara langsung di tempat pemungutan suara atau pemilih yang telah menggunakan hak suaranya mengirimkan surat suara yang telah diisi kepada komite pelaksana pemilihan di tingkat kota atau kabupaten. Atau, di beberapa negara bagian, pemilih bisa memasukkan surat suara yang telah diisi ke kotak suara yang didirikan di tempat-tempat tertentu.
Bagi para pemilih langsung, mereka datang ke tempat pemungutan suara, secara langsung menggunakan sistem pemungutan suara layar sentuh yang kemudian menghasilkan surat suara. Surat suara yang telah diisi oleh pemilih dimasukkan ke dalam kotak suara dan akhirnya, di tangan panitia dalam proses penghitungan suara, dipindai dalam mesin pindai (scanner) dan dihitung. Surat suara pemilih yang menggunakan mekanisme lain juga dipindai dengan alat yang sama.
Saat mesin pemindai tidak dapat menentukan kandidat mana yang dipilih oleh pemilih, sekelompok petugas pemilu bipartisan melihat dan meneliti surat suara yang dimaksud untuk memastikan apakah atau bagaimana cara penghitungannya.
Dalam konteks penghitungan suara di Georgia, pihak berwenang di negara bagian itu bisa mengulangi proses tersebut. Di Georgia, penghitungan suara terbaru menempatkan Biden unggul atas Trump dengan selisih 12.000 suara atau 49,5 persen berbanding 49,3 persen dan 99 persen suara telah dihitung.
Tim kampanye Trump mengklaim tanpa banyak bukti bahwa ia telah menemukan bukti surat suara yang diberikan oleh orang-orang sudah meninggal atau telah pindah dan berganti alamat tempat tinggal. Dia juga mengklaim bahwa tim sukarelawannya dilarang memeriksa penghitungan suara sedekat yang mereka inginkan.
Penghitungan ulang tidak akan membahas masalah-masalah itu. Masalah seperti yang diklaim Trump harus diperjuangkan dalam proses hukum terpisah dan prosesnya bisa memakan waktu berminggu-minggu. Namun, beberapa negara bagian menetapkan tenggat waktu untuk menyelesaikannya.
Bolehkah Trump Mendapatkan Penghitungan Ulang?
Kompleksitas pelaksanaan pemilihan di AS menjadi kendala tersendiri. Setiap negara bagian bisa menetapkan ambang batasnya sendiri untuk bisa menentukan apakah mereka bisa melakukan pemungutan ulang atau tidak.
Di Pennsylvania, misalnya, salah satu negara bagian penting bagi kemenangan Biden mensyaratkan penghitungan ulang diperlukan jika marjin antara kandidat yang menang dan runner-up kurang dari 0,5 persen dari jumlah suara yang diberikan dalam pemilihan. Pada Selasa siang waktu setempat, Biden memimpin perolehan suara atas Trump sekitar 0,67 persen dari hampir 6,8 juta suara yang dihitung.
Para pemilih di distrik pemilihan dapat secara terpisah mengajukan petisi ke daerah mereka untuk menghitung ulang suara di sana dan undang-undang tidak menetapkan ambang batas kapan hal itu harus dilakukan.
Di negara bagian lain, seperti Georgia dan Wisconsin, kandidat yang kalah diizinkan untuk memaksakan penghitungan ulang, tetapi tidak mengharuskannya. Georgia mengizinkan kandidat untuk meminta penghitungan ulang jika marjinnya kurang dari 0,5 persen dan Wisconsin mengizinkannya jika kurang dari 1 persen.
Selasa tengah hari waktu setempat, Biden memimpin Trump di kedua negara bagian itu dengan perolehan suara yang ketat. Hal itu membuat tim kampanye Trump bisa meminta penghitungan ulang.
Biasanya, kandidat membuat permintaan tersebut setelah negara bagian telah mengesahkan penghitungan suara akhir. Namun, hal itu belum terjadi ketika Trump dan tim kampanyenya mengajukan permintaan penghitungan ulang.
Akankah Penghitungan Ulang bisa membuat perbedaan?
Penghitungan ulang jarang mengubah hasil pemilihan atau memberikan kejutan baru dari hasil penghitungan suara yang pertama kali dilakukan. Pun ketika hal tersebut terpaksa dilakukan, itu adalah kasus dengan hanya ada selisih ratusan suara dari para kandidat.
Tahun lalu, sebuah penelitian yang dilakukan kelompok nonpartisan Fair Vote menyimpulkan, antara tahun 2000 dan 2019 terdapat 31 kali penghitungan ulang suara di seluruh negara bagian. Hasilnya, perhitungan suara itu hanya menghasilkan perubahan hasil akhir sebanyak tiga kali.
Penghitungan suara itu sendiri terjadi di Negara Bagian Washington tahun 2014, pemilihan auditor negara bagian di Vermont tahun 2006 dan pemilihan anggota Senat AS di Minnesota tahun 2008.
Dalam catatan Fair Vote, dalam penghitungan ulang, marjin antara pemenang dan runner-up hanya memiliki selisih sangat sedikit, yaitu 0,024 persen, jauh lebih kecil daripada yang dibutuhkan Trump untuk menyalip Biden di salah satu negara bagian.
Wisconsin, tempat kampanye Trump saat mengatakan dia akan mengupayakan penghitungan suara ulang tahun ini, menghitung kembali suara presiden ketika Trump terpilih pada 2016. Kandidat Partai Hijau, Jill Stein, yang memenangi sekitar 1 persen suara, meminta penghitungan ulang. Proses tersebut menambahkan 131 suara ke perhitungan Trump.
Minggu lalu, mantan gubernur Negara Bagian Wisconsin yang juga seorang Republikan, Scott Walker, memperingatkan bahwa Trump menghadapi ”rintangan tinggi” dalam mencoba mengganggu hasil pemilihan. Trump tertinggal 20.000 suara dari Biden di negara bagian itu.
Penghitungan ulang pilpres paling terkenal terjadi di Florida pada 2000 ketika George W Bush unggul 1.784 suara di atas Al Gore di negara bagian yang akan menentukan siapa di antara mereka yang akan menjadi presiden. Setelah penghitungan ulang dan litigasi yang dibawa ke Mahkamah Agung AS, akhirnya dinyatakan bahwa Bush telah menang dengan 537 suara. (REUTERS)