Pemerintah AS memberlakukan sanksi baru bagi 19 individu dan entitas bisnis Suriah. Sanksi ini diharapkan bisa memaksa Presiden Bashar al-Assad menghentikan peperangan dan melaksanakan pemilu di bawah pengawasan PBB.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Pemerintah Amerika Serikat, Senin (9/11/2020), memberlakukan sanksi baru yang menargetkan bisnis minyak dan para pejabat parlemen hingga militer Suriah. Tekanan tambahan ini untuk memaksa rezim Presiden Bashar al-Assad melakukan negosiasi damai di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan mengakhiri konflik yang sudah berlangsung hampir satu dekade di Suriah.
”Departemen Keuangan bertekad untuk terus menerapkan tekanan ekonomi pada rezim Assad dan pendukungnya atas penindasan yang dilakukannya,” kata Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam pernyataannya.
Dalam sanksi terbaru ini, Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri melarang individu dan entitas bisnis mana pun untuk melakukan transaksi dengan 19 individu atau organisasi bisnis terkait serta membekukan seluruh aset yang mereka punyai yang mungkin terdapat di wilayah AS atau institusi bisnis AS. Ini adalah putaran kelima sanksi yang diterapkan oleh AS setelah pemberlakuan Undang-Undang Perlindungan Sipil Suriah atau Caesar Act pertengahan Juni lalu.
Entitas yang dikenai sanksi termasuk dua mitra kementerian perminyakan Suriah, yaitu Arfada Petroleum Private Joint Stock Co dan Sallizar Shipping, perusahaan yang masing-masing berbasis di Suriah dan Lebanon. Keduanya tengah mengerjakan proyek raksasa di Suriah, yaitu pembangunan kilang minyak di Provinsi Raqqa dan pelabuhan di kota pesisir Tartus.
Selain menjatuhkan sanksi pada dua entitas bisnis, Departemen Keuangan dan Deplu AS juga menjatuhkan sanksi pada Jenderal Ghassan Joudat Ismail yang adalah Kepala Intelijen Angkatan Udara Suriah dan Brigadir Jenderal Nasr al-Ali yang mengepalai Direktorat Keamanan Politik, sebuah badan intelejen yang bertugas membungkam individu yang berbeda pendapat dengan Assad atau pemerintah pada umumnya.
Deplu AS mengatakan, pemberlakuan sanksi terbaru merupakan upaya Pemerintah AS mengenang 70 orang lebih warga yang tewas dalam pengeboman sebuah pasar di Douma ada Oktober 2015. Douma adalah sebuah kota di dekat Damaskus yang berada di bawah kendali pemberontak Suriah ketika—menurut tim penyelidik PBB—serangan kimia dilakukan oleh pasukan rezim Assad.
Menlu AS Mike Pompeo, dalam sebuah pernyataan mengatakan, sanksi terbaru itu membuat rezim Assad hanya memiliki dua pilihan, yaitu mengambil langkah menuju resolusi damai atau menghadapi sanksi yang lebih melumpuhkan. Dia juga menyatakan, Gedung Putih mendukung upaya Utusan Khusus PBB untuk Suriah Geir Pedersen yang menyerukan pelaksanaan gencatan senjata secara menyeluruh, pembebasan tahanan politik, penyusunan konstitusi baru, hingga pelaksanaan pemilihan umum yang adil, transparan, dan bebas yang diawasi oleh PBB.
Sanksi terakhir yang diberikan AS pada Suriah mengakibatkan gejolak ekonomi berkepanjangan di negara itu. Bank Sentral Suriah telah mendevaluasi nilai tukar mata uang mereka dari semula 700 pound menjadi 1.250 pound per dollar AS. Langkah terbaru AS ini diyakini akan berdampak pada nilai tukar mata uang yang semakin terjun bebas dan mengakibatkan rakyat Suriah semakin sulit membeli bahan kebutuhan pokok.
Sanksi tersebut juga diperkirakan akan membuat jumlah warga miskin Suriah bertambah. Data lembaga PBB yang menangani masalah bantuan kemanusiaan, UN OCHA, pada 2019, lebih dari 83 persen rakyat Suriah dari jumlah penduduk 17 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 5,5 juta warga Suriah juga di antaranya berstatus pengungsi dan mayoritas berada di Turki. (AFP/REUTERS)