Myanmar untuk kedua kali pada era pemerintahan sipil menggelar pemilu. Beberapa catatan perlu dikemukakan untuk mengamati transisi demokrasi di negara itu.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Sebagai salah satu elemen untuk mengukur demokrasi di sebuah negara, penyelenggaraan pemilu secara reguler lima tahun sekali—seperti yang berlangsung pada 8 November ini—menjadi catatan positif bagi Myanmar. Pemilu pada tahun ini berlangsung di tengah pandemi Covid-19 dan kekerasan yang belum berhasil ditangani pemerintah.
Tak seperti lima tahun lalu, harapan terhadap penyelenggaraan pemilu kali ini tidak terlalu tinggi. Banyaknya partai peserta pemilu, lebih dari 90 partai, bukan gambaran terakomodasinya aspirasi rakyat Myanmar dalam proses demokrasi tersebut.
Sebelum pemilu digelar, muncul kekecewaan terhadap pemerintahan sipil Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Banyak alasan mengapa kekecewaan itu muncul, dan kekecewaan itu bisa dipahami.
Pertama, alih-alih meletakkan fondasi kuat menuju demokratisasi, lima tahun pemerintahan NLD sejak 2015 bergerak sebaliknya. Misalnya, kebebasan pers disorot terkait penangkapan jurnalis dan aktivis, pembungkaman suara kritis terhadap pemerintah, dan ketiadaan perlindungan terhadap warga minoritas dari kekerasan oleh aparat militer ataupun kelompok bersenjata.
Kedua, NLD dikritik karena cenderung memilih ”bersekutu” dengan militer dan terkesan mengamini berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Hal ini memang tidak terlepas dari konstitusi yang sengaja dirancang militer sebelum transisi ke pemerintahan sipil. Dalam konstitusi Myanmar, seperempat kursi parlemen nasional dan daerah dijatah bagi Tatmadaw—sebutan bagi angkatan bersenjata negara itu. Tatmadaw juga berhak atas jabatan menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan menteri perbatasan. Mereka pula yang mengontrol mayoritas kursi Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional.
Ketiga, pemilu kali ini tidak bisa digelar di seluruh wilayah Myanmar karena alasan keamanan. Penyelenggara pemilu beralasan, pembatalan pemilu di wilayah-wilayah itu disebabkan rawan kekerasan dan berbahaya bagi keamanan warga. Namun, menurut pengkritik, tak semua area yang dibatalkan menggelar pemilu itu rawan oleh kekerasan.
Pembatasan itu mengakibatkan tercabutnya hak pilih warga. Human Rights Watch menyebutkan, ada 1,5 juta orang yang tidak bisa memberikan suaranya karena tercabut hak pilihnya. Ini belum termasuk ratusan ribu warga Rohingya yang tak diakui kewarganegaraannya.
Dari hasil pemilu ini, NLD pimpinan Suu Kyi diperkirakan kembali mengendalikan pemerintahan Myanmar. Kita berharap pemerintahan Suu Kyi ke depan memiliki langkah konkret dalam meletakkan fondasi menuju demokratisasi, bersikap tegas terhadap militer, dan—lebih penting lagi—menghadirkan keamanan dan perlindungan bagi warga minoritas, serta membawa kesejahteraan bagi rakyat Myanmar.