Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan partai yang dipimpinnya, Liga Nasional Demokrat, diprediksi tetap unggul dalam pemilu di Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, SENIN — Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi kemungkinan besar akan kembali berkuasa setelah rakyat Myanmar antusias berduyun-duyun datang ke tempat pemungutan suara untuk memberikan hak suaranya, Minggu lalu. Direncanakan, Komite Pemilu Myanmar akan mengumumkan hasil perolehan suara pada Senin (9/11/2020).
Pemilu dini ini dianggap sebagai referendum terhadap pemerintahan demokratis partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi. Baik Suu Kyi maupun NLD masih tetap populer di dalam negeri meski kerap diprotes dan dikecam komunitas internasional karena tuduhan genosida terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya.
Dalam situs resmi NLD di laman Facebook disebutkan, NLD telah memperoleh 15 dari 315 kursi yang diperebutkan di majelis rendah parlemen yang memiliki 425 kursi. ”Kami yakin akan menang dan akan bisa membentuk pemerintahan,” kata juru bicara NLD, Myo Nyun.
Pemilu ini juga akan memilih perwakilan di majelis tinggi parlemen. Para kandidat akan memperebutkan 161 kursi dari 217 total kursi yang ada. Militer yang pernah berkuasa di Myanmar selama 50 tahun dan menarik diri dari politik sipil pada 2011 masih menguasai seperempat kursi di parlemen. Ini diperbolehkan karena sudah diatur di dalam konstitusi yang mereka susun pula. Konstitusi inilah yang hendak diubah oleh Suu Kyi dan sekutu-sekutunya.
NLD membutuhkan 322 kursi untuk bisa membentuk pemerintahan. NLD diprediksi menang lagi, tetapi dengan marjin yang lebih sedikit dibandingkan pemilu sebelumnya, yaitu pada 2015. Hal ini karena banyak partai baru dan partai etnis minoritas yang muncul dan mendapat dukungan kuat di beberapa daerah.
Konflik
Myanmar mengadakan pemilu dini di saat negara itu masih bergelut dengan pandemi Covid-19, krisis ekonomi, dan konflik etnis yang kian parah. Kasus baru Covid-19 di Myanmar rata-rata 1.100 kasus per hari. Namun, tampaknya ini tidak membuat 37 juta pemilih takut untuk datang memberikan suara.
Meski antusias tinggi dan banyak yang datang memilih, masih ada lebih dari 1 juta pemilih yang tidak bisa memberikan hak suaranya. Bukan karena Covid-19, melainkan karena terhalang konflik bersenjata. Banyak tempat pemungutan suara ditutup dan pemilu dibatalkan karena alasan daerah rawan konflik dari kelompok-kelompok perlawanan.
Ratusan ribu warga minoritas Muslim Rohingya yang sedang mengungsi di kamp pengungsian dan tinggal di pedesaan di Negara Bagian Rakhine pun tidak bisa memberikan hak suaranya. Penyebabnya, mereka tidak diberikan hak kewarganegaraan oleh Pemerintah Myanmar.
Partai Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Partai Rohingya, dalam pernyataan tertulisnya menyesalkan keputusan pembatalan pemilu itu dan sangat kecewa karena rakyat Rohingya disingkirkan. Komite Pemilu Myanmar menjelaskan, pemilu di daerah terdampak konflik harus dibatalkan karena alasan keamanan. Selain itu, hanya warga negara Myanmar yang diperbolehkan mengikuti pemilu.
Mayoritas rakyat Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Bangladesh meski mereka sudah tinggal turun- temurun di Myanmar sejak lama. Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, ada upaya genosida terhadap rakyat Rohingya oleh militer. Akibatnya, sedikitnya 730.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi ke Bangladesh.
Myanmar membantah tuduhan itu dan menegaskan pasukan keamanan Myanmar hanya memberantas kelompok-kelompok militan Rohingya. (REUTERS)