Presiden terpilih AS, Joe Biden, dihadapkan pada empat pekerjaan rumah utama terkait pandemi, ekonomi, sosial, dan peran global. Langkahnya tak mudah. Senat diperkirakan masih akan dikuasai Republik.
Oleh
kris mada dan Benny D Koestanto
·6 menit baca
Tanah kelahiran Joe Biden, Pennsylvania, menjadi penentu kemenangan calon Presiden Amerika Serikat itu pada pemilu 2020. Di tengah pandemi Covid-19, ia akan memimpin AS per Januari 2021. Dari sekian banyak persoalan yang harus diselesaikan, ia antara lain harus berhadapan dengan krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis sosial, dan pemulihan posisi serta peran AS di panggung internasional.
Dengan status sebagai negara terkaya dan mempunyai infrastruktur kesehatan jauh lebih baik dibandingkan ratusan negara, AS justru mencatatkan jumlah infeksi dan kematian tertinggi di dunia akibat Covid-19. Pada paruh kedua pekan lalu, beberapa hari pascapemilu AS, jumlah kasus Covid-19 di negara itu menembus rekor penambahan harian di atas 127.000 kasus. Jumlah kematian akibat Covid-19 di negara itu telah mencapai 236.000 dari sedikitnya 9,7 juta kasus.
Pembatasan gerak untuk pengendalian laju inflasi membuat perekonomian melambat. AS mencatat pengangguran tertinggi sejak krisis besar awal abad ke-20. Resesi ekonomi AS sangat buruk. Hal itu telah menghapus lebih dari satu tahun hasil ekonomi dan lebih dari lima tahun pertumbuhan lapangan kerja. Hingga pekan lalu jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih sedikit daripada kondisi setahun sebelum Trump pertama kali menjabat.
Negara itu juga dilanda rangkaian kerusuhan akibat diskriminasi rasial dan ketimpangan sosial. Sementara di luar negeri, AS menghadapi keraguan dari para sekutu dan mitranya.
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Evan Laksmana mengatakan, penyelesaian Covid-19 akan menjadi prioritas Biden. Sebab, jajak pendapat menunjukkan para pendukung Biden menempatkan Covid-19 sebagai masalah utama. Penyelesaian Covid-19 akan menjadi penuntasan janji kampanye.
Penuntasan Covid-19 juga menjadi modal penting untuk pemulihan ekonomi sekaligus menghadapi pemilu 2022 dan 2024. Saat Biden masuk ke Gedung Putih sebagai presiden pada Januari mendatang, dia akan memiliki kesempatan untuk membentuk kembali ekonomi terbesar di dunia itu. Namun, dia harus menjejakkan kaki ke tanah lebih dulu. Biden seperti de javu saat dirinya mendampingi Barack Obama. Obama melangkah ke Gedung Putih kala guncangan ekonomi juga tengah dirasakan AS.
Tim transisi Biden telah bergerak. Mereka mulai menyusun strategi dan langkah dalam memimpin AS. Tim transisi Biden dipimpin ajudan lamanya, Ted Kaufman. Kaufman memimpin upaya untuk memastikan mantan wakil presiden itu segera dapat mulai membangun pemerintahannya.
”Dia memiliki agenda kebijakan yang ambisius, sulit untuk membantahnya,” kata Shai Akabas, Direktur Kebijakan Ekonomi pada Pusat Kebijakan Bipartisan. Dalam kampanyenya, Biden (77) menjanjikan banyak perubahan dari kebijakan yang diberlakukan Trump. Biden berjanji, misalnya, menaikkan upah minimum, menata ulang perpajakan, hingga berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur dan menurunkan emisi karbon negara.
Melalui usulan kebijakan ekonomi ”Bidenomics”, Biden berencana berinvestasi pada infrastruktur senilai 1,3 triliun dollar AS bersama dengan peningkatan upah minimum menjadi 15 dollar AS per jam. Ia juga mengusulkan perluasan cuti medis dan cuti keluarga. Kebijakan ”Buy American” atau membeli produk-produk AS diusulkan untuk meningkatkan manufaktur domestik AS.
Bank investasi JP Morgan mengatakan, Biden mungkin akan fokus pada pelaksanaan kebijakan domestiknya sebelum menangani perang-perang dagang. Ia kemungkinan besar tidak akan segera mengubah kesepakatan perdagangan ”fase satu” tahun ini yang mendinginkan ketegangan Washington dengan Beijing.
Pada saat bertindak kelak, Biden diproyeksikan bakal lebih sejalan dengan Eropa, misalnya. ”Kami berharap pemerintahan Biden akan terus memutuskan hubungan teknologinya dengan China, tetapi akan melakukannya secara sistematis dalam struktur pembuatan peraturan domestik dan internasional,” kata bank tersebut dalam sebuah laporan.
Defisit anggaran yang besar juga menjadi hambatan lain Biden. Defisit meroket menjadi 3,1 triliun dollar AS pada tahun fiskal yang berakhir 30 September. Nilai itu adalah lebih dari dua kali lipat rekor sebelumnya dan dipicu oleh langkah-langkah belanja darurat dalam menghadapi kondisi pandemi Covid-19.
Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserve) Jerome Powell menyebut penanganan Covid-19 adalah kunci bagi pemulihan ekonomi AS. Stimulus baru dibutuhkan untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan di lapangan. Ia menegaskan, prospek pemulihan ekonomi AS sangat tidak pasti selama jumlah kasus Covid-19 terus naik di negara itu.
”Sebuah pemulihan ekonomi penuh tak mungkin sampai orang yakin mereka merasa aman untuk terlibat kembali dalam berbagai kegiatan,” kata Powell.
Konsolidasi Demokrat
Di ranah politik dalam negeri, pada tahun 2023 sebanyak 12 senator Demokrat dan 22 senator Republikan habis masa jabatan. Pemilu 2022 akan menjadi kesempatan Biden dan Demokrat menguatkan kendali di Kongres AS. Kinerja Biden pada Januari 2021-Oktober 2022 akan jadi salah satu pertimbangan utama pemilih yang akan memberikan suara pada pemilu sela AS, 8 November 2022.
Kini, Kongres tidak sepenuhnya dikendalikan Demokrat. Sebab, Senat—yang bersama DPR AS menjadi bagian dari Kongres—hasil pemilu 2020 diperkirakan akan tetap dikuasai Republikan. Paling sedikit 51 kursi Senat akan diduduki Republikan. Jumlah ini cukup untuk membuat apa pun keputusan di Majelis Tinggi AS itu.
Sementara dalam sistem tata negara AS, pengangkatan anggota, pengesahan APBN, pembuatan aneka peraturan, hingga ratifikasi kesepakatan luar negeri membutuhkan persetujuan Senat. ”Peran Senat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri semakin meningkat,” kata Afrimadona, pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta.
Konstitusi AS menempatkan wakil presiden AS otomatis sebagai Ketua Senat. Jabatan itu memang hanya simbolis karena ketua harian yang menjalankan pengelolaan Senat biasanya adalah salah satu dari 100 senator. Wapres bisa memberi suara jika suatu keputusan sama-sama didukung 50 senator. Hal ini amat jarang terjadi.
Dengan kemenangan Biden, jabatan Ketua Senat akan diemban Kamala Harris yang sudah beberapa tahun terakhir jadi senator dari California. Pengalaman di Senat dapat membantu Harris mengelola hubungan Gedung Putih dengan Senat yang dikendalikan Republikan.
”Tidak mudah karena di Demokrat dan Republikan sama-sama banyak faksi. Di Demokrat ada faksi yang sangat progresif, moderat, dan konservatif. Di Republikan ada yang sangat mendukung Trump, ada yang anti,” ujar Afrimadona.
Jaga koalisi
Biden perlu merangkul faksi-faksi berbeda itu untuk melancarkan perwujudan janji kampanyenya. Biden juga perlu menjaga dukungan para pemilihnya yang juga berlatar belakang amat beragam. Koalisi yang luas membuat Biden tidak kekurangan orang untuk menjadi anggota kabinet, tetapi sekaligus menghadirkan tantangan. Pemilih kulit berwarna, kelompok progresif, hingga kelompok moderat membutuhkan kompensasi atas dukungan kepada Biden.
Isu rasial membutuhkan agenda progresif. Selain melalui penunjukan pejabat, pelaksanaan agenda diwujudkan lewat alokasi anggaran dan pengesahan anggaran memerlukan persetujuan Senat. Di bawah kendali Republikan yang cenderung disokong pemilih konservatif dan dari kelompok mapan, tidak mudah bagi Biden untuk mendapat persetujuan bagi agenda-agenda progresif.
Bahkan, menurut Evan, Biden tidak akan bisa begitu saja mengubah struktur kebijakan yang sudah terbentuk dari era-era sebelum masa pemerintahannya. Karena itu, katanya, jangan terlalu banyak berharap segera ada perubahan drastis dari kebijakan AS di dalam dan luar negeri.
Terkait kebijakan luar negeri, perlu ditunggu siapa yang ditunjuk menjadi menteri luar negeri. Di antara orang-orang di sekitar Biden selama proses pencalonan dan mungkin akan masuk tim peralihan kekuasaan, terdapat sosok-sosok pragmatis, seperti Susan Rice, yang digadang jadi salah satu calon menlu. Orang-orang pragmatis akan membuat pemerintahan Biden tidak akan terlalu menekankan pada nilai-nilai seperti HAM atau demokrasi.
Bahkan, Evan ragu Washington akan serta-merta bersikap soal Papua jika menyangkut Indonesia atau isu lain. Sebab, dalam rangkaian kampanyenya, Biden mengisyaratkan akan fokus dulu pada perbaikan di dalam negeri. ”Hal-hal yang dilakukan di era sebelumnya akan diteruskan dengan narasi baru,” ujarnya.
Geraldi Yudhistira dari LP3ES menyebut pemilu 2020 membuat sebagian pihak mempertanyakan kelayakan AS mengajarkan demokrasi kepada negara lain. Sejumlah pihak di AS menolak menerima hasil pemilu, ada intimidasi dan semburan kebohongan, hingga polarisasi tajam. “Biden perlu merekatkan lagi AS yang semakin terbelah,” ujarnya. (AP/AFP/REUTERS)