Pemerintah Myanmar kembali menggelar pemilu demokrasi setelah tumbangnya rezim militer di negara itu. Meskipun mendapat banyak kritik, Aung San Suu Kyi tetap populer. Pemilu di wilayah rawan ditiadakan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
YANGON, MINGGU —Rakyat Myanmar kembali menjalani pemilu yang kedua setelah pemerintahan junta militer tumbang. Pemilu ini dianggap sebagai referendum bagi pemerintahan Pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Namun, reputasi Aung San Suu Kyi yang selama ini tercoreng gara-gara tudingan genosida terhadap Rohingya diprediksi akan kembali memimpin.
Meski dikecam komunitas internasional karena tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, Aung San Suu Kyi (75) masih populer di dalam negeri. Mayoritas rakyat Myanmar masih menganggapnya sebagai pahlawan demokrasi. Namun, dalam pemilu kali ini, perolehan suara untuk Aung San Suu Kyi tidak akan sefenomenal pemilu tahun 2015.
Lebih dari 37 juta orang berhak memilih, Minggu (8/11/2020), tetapi ada kekhawatiran tidak banyak orang akan memilih karena takut dengan Covid-19. Selain itu, pemilu di daerah-daerah yang terdampak kelompok perlawanan dibatalkan. Lembaga Human Rights Watch menyebutkan, ada 1,5 juta orang yang tidak akan bisa memberikan suaranya. Hasil pemilu akan diumumkan pada Senin mendatang.
Komite Pemilu Myanmar menjelaskan, pemilu di daerah-daerah berbahaya itu dibatalkan karena alasan keamanan. Penyelenggaraan pemilu diupayakan bebas, jujur, dan adil. Kelompok pembela Suu Kyi beranggapan, sangat tidak realistis berharap akan ada perubahan cepat di Myanmar setelah hampir setengah abad dikuasai rezim militer. Bahkan, rezim militer sampai sekarang masih mengganjal pembangunan Myanmar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Jumat lalu, berharap pemilu yang damai, tertib, dan tepercaya akan membuka jalan agar semua pengungsi bisa kembali ke Myanmar dengan aman dan bermartabat. Yang dimaksud Guterres adalah ratusan ribu pengungsi etnis Rohingya yang nasibnya terkatung-katung di Bangladesh.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya mengungsi setelah mendapat tekanan dari militer tahun 2017. Namun, militer Myanmar mengklaim melakukan operasi militer melawan kelompok militan yang menyerang pos-pos polisi. Ratusan ribu warga Rohingya masih berada di dalam wilayah Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Namun, mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian dan perdesaan. Banyak dari mereka yang tidak diberi status kewarganegaraan sehingga tidak memiliki hak untuk memilih.
Masih populer
Suu Kyi, penerima Nobel Perdamaian, masih dipanggil dengan nama ”Ibu Suu” dan populer di kalangan rakyat Myanmar. Bahkan, Suu Kyi dianggap sebagai figur paling tepercaya di Myanmar. Namun, dukungan Suu Kyi tidak terlalu kuat di daerah-daerah yang didominasi masyarakat etnis minoritas. Di daerah-daerah ini, masyarakat merasa tidak diperhatikan pemerintahan Suu Kyi yang mayoritas Buddha.
Doi Bu, Wakil Presiden Partai Rakyat Kachin (KSPP), salah satu partai etnis baru, menilai, pemerintah tidak membawa perubahan apa-apa di wilayah mereka karena mereka sering disetir militer. ”Meski lima tahun belum terlalu lama, NLD tidak melakukan apa pun yang berarti. Mestinya mengubah konstitusi,” ujarnya.
Militer Myanmar masih bisa tetap mengendalikan kekuasaan karena didukung konstitusi. Posisi militer juga masih kuat karena menguasai seperempat kursi di parlemen dan bisa memveto perubahan apa pun dalam konstitusi. Ketegangan antara pemerintah dan militer makin tinggi. Jenderal Min Aung Hlaing, pekan lalu, menuding pemerintah melakukan kesalahan yang tidak bisa diterima karena menyelenggarakan pemilu.
Hlaing menambahkan, partai-partai oposisi mengeluhkan adanya pelanggaran, termasuk daftar pemilih yang tidak lengkap dan banyak kesalahan. Kantor kepresidenan khawatir komentar Hlaing itu justru bisa memicu ketakutan dan kerusuhan.
Lebih dari 90 partai politik mengikuti pemilu tahun ini untuk memperebutkan kursi di parlemen. Bersamaan dengan pemilu nasional, sejumlah negara bagian dan daerah juga menyelenggarakan pemilu daerah. Partai-partai kecil mengeluhkan kesulitan untuk berkampanye karena adanya pembatasan terkait Covid-19.
Myint Myint Aye, pedagang makanan di jalanan ibu kota Yangon, mengatakan tidak tahu ada 90 partai politik yang ikut pemilu, apalagi visi-misinya. ”Kita tidak tahu sama sekali soal partai-partai itu. Pilihan kami terbatas karena Covid-19,” ujarnya.
Pengamat politik di Yangon, Richard Horsey, menilai, tidak ada satu pun partai besar yang bisa menjadi pilihan dan dipercaya rakyat. Itulah kenapa posisi Suu Kyi kuat karena rakyat hanya berpegangan pada tokoh yang mereka kenal. ”Rakyat sudah kadung mencintai Suu Kyi. Mereka tidak mempertimbangkan kinerja pemerintah ataupun perekonomiannya,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)