Dengan peningkatan investasi pandemi Covid-19 pada tahun ini, OECD belum memiliki data pengaruh pandemi terhadap pembiayaan iklim.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
BRUSSELS, JUMAT — Negara-negara kaya berkomitmen menambah anggaran untuk membantu negara-negara berkembang demi mengurangi emisi karbon dan mengatasi dampak perubahan iklim. Namun, belum bisa dipastikan apakah mereka akan bisa mencapai target pada tahun ini sebanyak 100 miliar dollar AS.
Dalam pembaruan tahunan pendanaan iklim untuk negara-negara berkembang, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Jumat (6/11/2020), menyatakan negara-negara pendonor menyumbang sebesar 78,9 miliar dollar AS pada 2018. Ada peningkatan sekitar 11 persen dari yang semula 71,2 miliar dollar AS pada 2017.
Dana dari negara-negara maju itu, antara lain, termasuk pinjaman, hibah, ekuitas, dan investasi pihak swasta di mana badan publik ikut membantu memobilisasi dana.
Negara-negara berkembang saat bertemu di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2009 sepakat sama-sama berkontribusi 100 miliar dollar AS setiap tahunnya sampai tahun 2020 untuk pembiayaan iklim negara-negara miskin.
Banyak negara miskin yang bergelut dengan persoalan kenaikan permukaan air laut, topan badai, dan kekeringan yang kian parah akibat perubahan iklim.
Target 100 miliar dollar AS itu, kata OECD, bisa tercapai meskipun upaya memobilisasi dana dari swasta tidak berhasil menambah jumlah dana selama 2017-2018. Jumlah dana yang dimobilisasi dari swasta sekitar 14,6 miliar AS pada 2018.
”Mereka butuh lebih banyak dana publik untuk memenuhi target dana itu. Kalau melihat trennya, target itu bisa tercapai,” kata Kepala Divisi Perubahan Iklim OECD, Simon Buckle, yakin.
Dengan peningkatan investasi pandemi Covid-19 pada tahun ini, OECD belum memiliki data pengaruh pandemi terhadap pembiayaan iklim.
Direktur lembaga kajian Power Shift Africa di Nairobi, Mohamed Adow, mengatakan, negara-negara maju belum memenuhi janji mereka. Ia mendesak agar negara-negara maju membantu upaya beradaptasi dengan iklim.
”Seperti pertahanan terhadap cuaca yang kian tak menentu atau metode adaptasi praktik pertanian selama musim kering dan banjir,” ujarnya.
Pada tahun lalu, sebagian besar bantuan dana difokuskan pada upaya pengurangan emisi gas rumah kaca di negara berkembang. Uni Eropa (UE) dan negara-negara anggotanya selama ini menjadi donatur pembiayaan iklim yang terbesar untuk negara-negara berkembang. Pada pekan lalu, UE mengatakan, mereka menambah kontribusi serupa pada 2019 menjadi 21,9 miliar euro.
Iklim penting
Pendanaan iklim ini, menurut Tracy Carty yang ikut menulis laporan pendamping tentang pembiayaan iklim yang dilakukan tim ahli di lembaga non- pemerintah, Oxfam, merupakan penyelamat bagi negara-negara yang kelabakan menghadapi gelombang panas, badai, dan banjir.
”Meskipun banyak negara sedang bergelut dengan pandemi Covid-19, mustinya jangan sampai hilang kepedulian pada ancaman krisis iklim,” ujarnya.
Bagi Oxfam, setelah pembayaran pinjaman beserta bunganya dihapus dari perhitungan, hanya sekitar 20 miliar dollar AS angka riil bantuan yang tersisa pada 2018. ”Pinjaman yang berlebihan atas nama bantuan iklim ini skandal yang diabaikan,” kata Carty.
Negara-negara miskin tidak boleh dipaksa mengambil pinjaman uang untuk mengatasi krisis iklim karena bukan mereka yang menyebabkan krisis itu. Oxfam menyebutkan, Perancis yang paling parah dalam membantu pendanaan iklim ini.
Sekitar 97 persen dari bantuan iklim bilateral Perancis berbentuk pinjaman dan dana nonhibah. Sebaliknya, mayoritas bantuan dari Swedia, Denmark, dan Inggris diberikan dalam bentuk hibah.
Salah sasaran
Baik OECD maupun Oxfam sama-sama membenarkan betapapun banyaknya bantuan iklim yang dibagikan pada 2018, kenyataannya hanya sedikit yang disalurkan ke negara-negara yang paling membutuhkan.
Menurut OECD, hanya sekitar 14 persen bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkategori negara kurang berkembang dan 2 persen ke negara-negara kepulauan kecil yang terancam kenaikan permukaan air laut. Sementara sekitar 70 persen bantuan diberikan kepada negara-negara berpendapatan menengah.
Laporan OECD tidak mencakup pendanaan iklim publik domestik atau yang disebut sebagai bantuan ”Selatan-Selatan” di antara negara-negara berkembang.
Negara-negara miskin sejak lama mengeluhkan cara pembagian dana bantuan antara mengurangi emisi (mitigasi) dan mengatasi dampak iklim (adaptasi). Sekitar 70 persen dari dana 2018 dialokasikan lebih untuk mitigasi dan hanya 21 persen untuk adaptasi. (REUTERS/AFP)